60 TANYA JAWAB TENTANG HUKUM HAID DAN NIFAS (⮫)




 Kata Pengantar

Segala puji hanya bagi Allah. Selawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada Rasulullah, Muhammad bin Abdullah, beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang meniti di atas jalan beliau hingga hari Pembalasan. Amabakdu:

Saudari Muslimah!

Melihat banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada para ulama seputar hukum haid dalam ibadah, kami menganggap sangat penting untuk mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang selalu berulang tentang hal itu beserta jawabannya. Tanya jawab ini kebanyakan akan dibahas tanpa penjelasan panjang lebar karena lebih menginginkan penjelasan ringkas.

Saudari Muslimah!

Kami berusaha mengumpulkannya dalam tulisan ini supaya selalu menjadi pegangan Anda karena sangat pentingnya memahami syariat Allah dan supaya Anda dapat beribadah kepada Allah atas dasar ilmu dan keyakinan.

Catatan:  Orang yang pertama kali membuka lembaran-lembaran buku ini mungkin akan menyangka bahwa sebagian soal jawabnya berulang. Tetapi, bila ia memperhatikan secara saksama, ia akan menemukan ada tambahan ilmu di sebagian tanya jawab yang tidak terdapat pada tanya jawab lain yang menurut kami tidak bisa dilewatkan.

Semoga selawat dan salam dilimpahkan oleh Allah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan seluruh sahabat beliau.

*


 BEBERAPA HUKUM HAID TERKAIT SALAT DAN PUASA

Soal 1 Bila seorang wanita suci tepat setelah masuk waktu subuh, apakah dia harus menahan diri dari makan minum untuk berpuasa hari itu dan puasanya hari itu dianggap sah untuknya? Atau apakah dia harus mengganti puasa hari itu? Jawab: Bila seorang wanita suci setelah terbit fajar, maka ada dua pendapat para ulama terkait keharusannya menahan diri dari makan dan minum pada hari itu:

Pendapat pertama: dia harus menahan diri dari makan dan minum di sisa hari itu, tetapi hari itu tidak dianggap sebagai puasa yang sah untuknya dan dia harus menggantinya. Inilah pendapat yang masyhur dari mazhab Imam Ahmad -raḥimahullāh-.

Pendapat kedua: dia tidak diharuskan menahan diri dari makan dan minum di sisa hari itu karena hari itu merupakan hari yang tidak sah baginya untuk berpuasa lantaran di pagi harinya dia dalam keadaan haid dan bukan termasuk orang yang boleh berpuasa. Bila puasa hari itu tidak sah baginya, maka tidak ada gunanya dia menahan diri dari makan dan minum. Di samping itu, hari itu bukan hari yang mesti dia muliakan (dengan meninggalkan makan minum), sebab sejak awal pagi dia diperintahkan untuk tidak puasa, bahkan sebaliknya di pagi hari itu dia diharamkan berpuasa. Lagi pula, puasa menurut syariat ialah menahan diri dari berbagai pembatalnya dalam rangka beribadah kepada Allah ﷻ sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.

Pendapat kedua ini -sebagaimana yang Anda lihat- lebih kuat dari pendapat yang mengharuskan menahan diri dari makan dan minum. Hanya saja, kedua pendapat ini mengharuskan adanya puasa kada atau ganti untuk hari itu.

Soal 2 Bila wanita yang haid telah suci (sebelum subuh) dan mandi setelah waktu subuh, lalu salat dan berpuasa pada hari itu, apakah dia harus mengadanya? Jawab: Bila wanita yang haid tersebut yakin telah suci sebelum terbit fajar walaupun hanya satu menit, jika dia berada di bulan Ramadan, maka dia harus berpuasa, dan puasanya hari itu sah serta dia tidak diwajibkan mengadanya karena dia melakukan puasa dalam keadaan suci. Apabila dia tidak mandi wajib kecuali setelah terbit fajar, maka hukumnya boleh. Hal ini seperti laki-laki bila mengalami junub karena jimak atau mimpi, lalu ia makan sahur, dan tidak mandi kecuali setelah terbit fajar, maka hukum puasanya tetap sah. Terkait hal ini, saya ingin mengingatkan perkara lain di kalangan wanita bila dia mengalami haid ketika telah selesai berpuasa pada hari itu. Sebagian wanita mengira bila dia mengalami haid setelah berbuka puasa dan sebelum mengerjakan salat Isya maka puasanya hari itu batal. Keyakinan ini tidak memiliki dasar. Bahkan, bila dia mengalami haid setelah terbenam matahari walaupun sesaat, hukum puasanya tetap sempurna dan sah. Soal 3 Apakah wanita nifas wajib mengerjakan puasa dan salat bila telah suci sebelum 40 hari dari awal nifasnya? Jawab: Ya, bila wanita nifas telah suci sebelum 40 hari, dia wajib mengerjakan puasa jika itu di bulan Ramadan. Selain itu, dia wajib mengerjakan salat serta boleh digauli oleh suaminya karena dia telah suci. Pada saat itu, ia tidak lagi memiliki penghalang untuk melakukan puasa, salat, dan jimak. Soal 4 Bila seorang wanita memiliki kebiasaan menstruasi 8 hari atau 7 hari, kemudian sekali atau dua kali menstruasinya berlanjut lebih dari itu, apa hukumnya? Jawab: Bila kebiasaan haid wanita tersebut 6 hari atau 7 hari, kemudian suatu saat berubah lebih panjang dari masa tersebut; menjadi delapan, sembilan, sepuluh, atau sebelas hari, maka dia tetap tidak salat hingga suci. Alasannya ialah karena Nabi ﷺ tidak pernah menetapkan batasan waktu tertentu untuk masa haid. Allah -Ta'ālā- berfirman,

﴿وَيَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى ...﴾ [البقرة: 222]

"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid, katakanlah ia adalah sesuatu yang kotor." [QS. Al-Baqarah: 222] Kapan pun darah itu masih ada, seorang wanita tetap pada keadaan haidnya hingga ia suci dan mandi, baru kemudian dia dapat mengerjakan salat. Bila di bulan berikutnya ia menstruasi kurang dari jumlah itu, ia tetap harus mandi ketika telah suci, walaupun jangka haidnya tidak sampai sebanyak bilangan hari sebelumnya.

Yang penting ialah kapan pun darah haid tersebut ada pada seorang wanita, maka dia tidak mengerjakan salat, baik haid itu sesuai dengan kebiasaannya sebelumnya ataupun bertambah atau berkurang darinya. Sebaliknya, kapan pun ia suci, maka ia harus salat.

Soal 5 Apakah wanita yang nifas harus beristirahat selama 40 hari, tidak boleh mengerjakan salat maupun puasa? Atau apakah yang menjadi standar adalah darahnya berhenti, sehingga ketika darah telah berhenti, ia harus mandi dan mengerjakan salat? Lalu berapa hari minimal untuk masa suci? Jawab: Wanita nifas tidak memiliki batasan waktu terkait nifasnya. Kapan pun darah nifas ada, ia harus beristirahat, yakni tidak salat, tidak puasa, dan tidak boleh digauli oleh suaminya.

Bila ia telah yakin suci -walaupun sebelum 40 hari dari awal nifas atau walaupun baru mengalami nifas 10 hari atau 5 hari- maka ia harus salat dan puasa, serta boleh digauli oleh suaminya. Semua itu boleh ia lakukan.

Yang penting ialah bahwa nifas itu perkara yang dapat ditangkap indra. Hukum-hukum yang terkait dengannya tergantung pada keberadaan dan ketiadaannya. Kapan pun ia ada, maka hukum-hukumnya ikut ada, sebaliknya kapan pun seorang wanita telah suci darinya, maka dia telah terlepas dari hukum-hukumnya.

Tetapi, kalau masa nifas itu lebih dari 60 hari, maka ia dihukumi istihadah, maka hendaknya dia menunggu sejumlah hari yang sesuai dengan kebiasaan haidnya saja, lalu mandi wajib dan mengerjakan salat.

Soal 6 Bila keluar sedikit bercak darah dari seorang wanita di siang Ramadan, dan bercak itu berlanjut sepanjang bulan Ramadan sementara dia sedang puasa, apakah puasanya sah? Jawab: Ya, puasanya sah. Adapun bercak itu, ia tidak memiliki hukum karena termasuk kotoran. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Ṭālib -raḍiyallāhu 'anhu- bahwa dia berkata, "Bercak yang berwujud seperti darah hidung (mimisan) bukanlah haid." Seperti itu diriwayatkan dari beliau -raḍiyallāhu 'anhu-. Soal 7 Bila wanita yang haid atau nifas telah suci sebelum subuh, tetapi dia tidak mandi kecuali setelah subuh, apakah puasanya sah atau tidak? Jawab: Ya, puasa wanita yang haid hukumnya sah bila dia telah suci sebelum waktu fajar, meskipun dia tidak mandi kecuali setelah terbit fajar. Hal ini sama dengan wanita yang nifas, karena ketika itu ia termasuk orang yang wajib berpuasa. Keadaannya ini mirip dengan orang yang junub sebelum fajar, ketika terbit fajar dia masih dalam keadaan junub, maka puasanya dianggap sah. Ini berdasarkan firman Allah ﷻ:

﴿... وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ...﴾ [البقرة: 187]

"Maka sekarang gaulilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." [QS. Al-Baqarah: 187] Dalam ayat ini, ketika Allah -Ta'ālā- mengizinkan jimak hingga terbit fajar, maka konsekuensinya ialah seseorang tidak akan mandi kecuali setelah terbit fajar. Ini juga berdasarkan hadis riwayat Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- bahwa Nabi ﷺ memasuki waktu subuh dalam keadaan masih junub karena menggauli istri, sementara beliau tetap berpuasa. Yakni: beliau ﷺ tidak mandi junub kecuali setelah masuk waktu subuh. Soal 8 Bila seorang wanita merasakan adanya darah atau dia merasakan rasa sakit menstruasi, namun darah itu belum keluar sebelum magrib, apakah puasanya hari itu sah, ataukah dia wajib mengadanya? Jawab: Bila seorang wanita yang suci merasakan aliran darah haid ketika sedang berpuasa namun darah itu belum keluar kecuali setelah matahari terbenam, atau dia merasakan rasa sakit menstruasi namun belum keluar kecuali setelah matahari terbenam, maka puasanya hari itu tetap sah dan dia tidak diharuskan mengadanya bila itu merupakan puasa wajib, dan pahalanya tidak batal bila itu merupakan puasa sunah. Soal 9 Bila seorang wanita melihat darah, namun dia tidak dapat memastikannya sebagai darah haid, apa hukum puasanya hari itu? Jawab: Puasanya hari itu sah karena kaidah asal dalam hal ini ialah tidak ada haid sampai jelas baginya bahwa itu adalah darah haid. Soal 10 Terkadang seorang wanita melihat ada sedikit bekas darah atau bercak yang sangat sedikit di waktu-waktu yang terpisah sepanjang hari; terkadang dia melihatnya di waktu kebiasaan haid namun haid tidak keluar, dan di kesempatan yang lain dia melihatnya di luar waktu kebiasaan haid. Apa hukum puasanya di dua keadaan itu? Jawab: Pertanyaan semisal telah dijawab barusan. Akan tetapi, bila dia melihat bercak tersebut di hari-hari kebiasaan haid dan dia melihatnya termasuk haid yang dia kenal, maka bercak itu dihukumi haid. Soal 11 Wanita yang haid dan nifas, apakah boleh makan dan minum di siang Ramadan? Jawab: Ya, mereka boleh makan dan minum di siang Ramadan. Tetapi, dianjurkan supaya dilakukan secara tersembunyi bila dia memiliki anak kecil di rumah, sebab perbuatan itu akan mengundang tanda tanya di benak mereka. Soal 12 Bila wanita yang haid atau nifas sudah suci di waktu asar, apakah dia harus mengerjakan salat Zuhur bersama salat Asar itu, ataukah hanya diharuskan mengerjakan salat Asar itu? Jawab: Pendapat yang kuat dalam masalah ini ialah dia tidak diharuskan kecuali mengerjakan salat Asar saja karena tidak ada dalil yang menunjukkan kewajiban salat Zuhur baginya, sementara kaidah asalnya ialah terbebasnya seseorang dari kewajiban sampai ada dalil yang memerintahkannya. Di samping itu, Nabi ﷺ juga bersabda, "Siapa yang mendapatkan seukuran satu rakaat dari waktu salat Asar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan salat Asar itu." Di sini, beliau tidak menyebutkan bahwa ia mendapatkan Zuhur. Seandainya Zuhur juga diwajibkan, tentu Nabi ﷺ pasti menjelaskannya. Dalil lainnya ialah ketika seorang wanita datang bulan setelah masuk waktu zuhur, dia tidak diwajibkan kecuali mengada salat Zuhur itu tanpa salat Asar, padahal salat Zuhur bisa dijamak ke salat Asar. Kesimpulannya: tidak ada perbedaan antara keadaan ini dengan keadaan yang ditanyakan.

Oleh karena itu, pendapat yang kuat ialah dia tidak diwajibkan kecuali mengerjakan salat Asar saja berdasarkan petunjuk nas dan kias. Demikian halnya bila dia suci sebelum keluar waktu salat Isya, dia tidak diwajibkan kecuali salat Isya saja, dan tidak diwajibkan mengerjakan salat Magrib.

Soal 13 Sebagian wanita yang melakukan aborsi tidak lepas dari dua keadaan;  tindakan aborsi itu dilakukan sebelum janin terbentuk atau dilakukan setelah janin terbentuk dan tampak organnya. Apa hukum puasanya pada hari ia melakukan aborsi itu dan pada hari-hari keluarnya darah setelahnya? Jawab: Bila janin belum terbentuk, maka darahnya bukan darah nifas. Atas dasar itu, maka dia tetap mengerjakan puasa dan salat, dan puasanya sah.

Tetapi, jika janin sudah terbentuk, maka darahnya darah nifas, dan dia tidak boleh mengerjakan salat maupun puasa saat itu.

Kaidah dalam masalah ini ialah: jika janin telah terbentuk maka darahnya darah nifas, tetapi jika belum terbentuk maka darahnya bukan darah nifas. Bila darahnya dihukumi sebagai darah nifas, maka dia diharamkan mengerjakan semua yang diharamkan pada wanita yang nifas. Sebaliknya, jika dihukumi bukan darah nifas, maka semua itu tidak diharamkan padanya.

Soal 14 Darah yang keluar dari wanita yang hamil di siang Ramadan, apakah berpengaruh terhadap puasanya? Jawab: Bila darah haid keluar, sementara dia sedang berpuasa, maka puasanya batal. Ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Bukankah wanita itu tidak mengerjakan salat maupun puasa ketika haid?!" Oleh karena itu, kita menganggap darah haid sebagai pembatal puasa, sama halnya dengan nifas. Keluarnya darah haid dan nifas membatalkan puasa.

Adapun keluarnya darah pada wanita hamil di siang Ramadan, jika darah itu merupakan haid, maka ia sama seperti haidnya selain wanita hamil. Hal itu tentu berpengaruh terhadap kesahan puasanya. Tetapi, jika itu bukan merupakan haid, maka tidak berpengaruh sama sekali.

Haid yang memungkinkan terjadi pada wanita hamil harus haid yang berkelanjutan, tidak terhenti sejak hamil, melainkan ia datang di waktu-waktu kebiasaan haidnya. Menurut pendapat terkuat, kondisi ini dihukumi haid, sehingga berlaku baginya hukum-hukum haid.

Adapun jika darahnya terhenti (di awal-awal masa kehamilan), kemudian setelah itu dia melihat darah yang bukan darah haid biasanya, maka ini tidak berpengaruh pada puasanya karena ia bukan darah haid.

Soal 15 Bila seorang wanita melihat darah satu hari di masa kebiasaan haidnya, dan di hari berikutnya dia tidak melihat darah sepanjang siang, apa yang harus dia lakukan? Jawab: Yang tampak, bahwa keadaan bersih atau kering yang dialaminya pada hari-hari haidnya mengikuti hukum haid sehingga dia tidak terhitung suci. Atas dasar ini, maka dia tetap menahan diri dari semua yang harus ditinggalkan wanita haid. Sebagian ulama berpendapat, siapa yang melihat sehari darah dan sehari lain bersih, maka darah itu adalah haid, sedangkan hari-hari bersihnya adalah masa suci hingga mencapai 15 hari. Bila telah sampai 15 hari, darah setelahnya adalah istihadah. Inilah yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad bin Hanbal -raḥimahullāh-. Soal 16 Di hari-hari terakhir haid dan sebelum suci, seorang wanita tidak melihat bekas darah, apakah hari itu dia berpuasa sementara dia belum melihat lendir putih, atau apa yang harus dilakukannya? Jawab: Bila kebiasaannya tidak melihat lendir putih, sebagaimana ditemukan pada sebagian wanita, maka dia harus berpuasa. Namun bila biasanya dia melihat lendir putih, maka dia jangan berpuasa sampai melihat lendir putih itu. Soal 17 Apa hukum wanita yang haid dan nifas membaca Al-Qur`ān dengan melihat mushaf dan hafalan pada kondisi darurat, misalnya dia sebagai pelajar atau pengajar? Jawab: Tidak masalah jika wanita yang haid atau nifas membaca Al-Qur`ān bila dibutuhkan, sebagaimana seorang pengajar ataupun pelajar yang butuh untuk membaca wiridnya di siang ataupun malam.

Adapun membaca Al-Qur`ān demi mendapatkan pahala membaca semata, maka sebaiknya tidak dilakukan, karena banyak atau bahkan kebanyakan ulama berpendapat bahwa wanita haid tidak boleh membaca Al-Qur`ān.

Soal 18 Apakah wanita yang haid harus mengganti pakaiannya setelah suci walaupun diketahui bahwa pakaian itu tidak terkena darah maupun najis? Jawab: Hal itu tidak harus dia lakukan, karena haid itu tidak menjadikan badan bernajis. Darah haid hanya menjadikan apa yang dikenainya saja bernajis. Oleh karena itu, Nabi ﷺ memerintahkan para wanita mencuci pakaian mereka bila terkena darah haid lalu salat dengan pakaian itu. Soal 19 Seorang wanita tidak berpuasa di bulan Ramadan selama 7 hari karena nifas dan belum mengadanya hingga datang Ramadan berikutnya, sehingga dia pun melewatkan 7 hari itu di Ramadan kedua dalam keadaan menyusui, dan dia belum mengerjakan kada dengan alasan sakit yang dideritanya. Karena Ramadan ketiga sudah hampir masuk, apa yang harus dia lakukan? Mohon berikan kami jawaban, semoga Allah memberikan pahala kepada Anda. Jawab: Bila kondisi wanita itu sebagaimana yang dia ceritakan tentang dirinya, yaitu dia sakit dan tidak mampu melakukan kada, maka dia boleh mengada puasa itu kapan dia mampu karena dia memiliki uzur, walaupun Ramadan berikutnya telah masuk. Adapun jika dia tidak memiliki uzur, melainkan pura-pura sakit dan melalaikan kewajiban itu, maka dia tidak boleh menunda kada Ramadan hingga lewat Ramadan kedua. Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- berkata, "Saya pernah punya hutang puasa, lalu saya tidak bisa mengadanya kecuali di bulan Syakban."

Oleh karena itu, wanita tersebut harus introspeksi diri. Bila dia tidak memiliki uzur, maka dia berdosa, harus bertobat kepada Allah, dan segera mengada hutang puasa yang ada dalam tanggungannya. Namun bila dia memiliki uzur, maka tidak ada dosa baginya, walaupun tertunda setahun ataupun dua tahun.

Soal 20 Sebagian wanita, ketika masuk Ramadan berikutnya belum mengada hutang puasa beberapa hari dari Ramadan sebelumnya, apa yang wajib mereka lakukan? Jawab: Kewajiban mereka ialah bertobat kepada Allah dari perbuatan itu karena orang yang memiliki hutang puasa Ramadan tidak boleh menundanya tanpa uzur hingga melewati Ramadan berikutnya. Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā-, "Saya pernah punya hutang puasa, lalu saya tidak bisa mengadanya kecuali di bulan Syakban."

Ini menunjukkan bahwa kada Ramadan tidak bisa diakhirkan ke setelah Ramadan berikutnya. Sebab itu, dia wajib bertobat kepada Allah ﷻ dari apa yang telah dia perbuat serta harus mengada sejumlah hari yang dia tinggalkan setelah Ramadan kedua.

Soal 21 Bila seorang wanita mengalami haid pada pukul satu siang, misalnya, sementara dia sama sekali belum mengerjakan salat Zuhur, apakah dia harus mengada salat itu setelah suci? Jawab: Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Sebagian mereka berpendapat dia tidak diwajibkan mengada salat itu karena dia tidak lalai dan tidak berdosa lantaran boleh mengakhirkan salat ke akhir waktunya. Sebagian yang lain berpendapat dia diharuskan mengada salat itu, berdasarkan keumuman sabda Nabi ﷺ: "Siapa yang mendapatkan suatu salat seukuran satu rakaat, maka ia telah mendapatkan salat itu."

Adapun sikap kehati-hatian baginya ialah dia tetap mengadanya, sebab itu hanya satu salat dan tidak berat untuk dikada.

Soal 22 Bila wanita yang hamil melihat darah sehari atau dua hari sebelum melahirkan, apakah dengan sebab itu dia meninggalkan puasa dan salat, atau bagaimana? Jawab: Bila wanita hamil melihat darah sehari atau dua hari sebelum melahirkan dan disertai kontraksi, maka itu adalah darah nifas, dan dia meninggalkan salat dan puasa lantaran itu. Namun, jika tidak disertai kontraksi, maka itu hanya darah kotor dan tidak menghalanginya dari puasa dan salat. Soal 23 Apa pendapat Anda tentang mengonsumsi obat pencegah menstruasi supaya dapat berpuasa bersama orang banyak? Jawab: Saya melarang dari hal ini karena obat-obatan ini mengandung bahaya besar. Hal ini valid menurut saya berdasarkan penjelasan para dokter. Disampaikan kepada wanita tersebut: Haid adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kalangan wanita. Terimalah apa yang menjadi ketetapan Allah ﷻ. Berpuasalah ketika tidak ada penghalang. Namun bila penghalang itu ada, maka tinggalkanlah puasa. Bersikap ridalah dengan apa yang Allah ﷻ takdirkan. Soal 24 Setelah 2 bulan sejak nifas dan kembali suci, seorang wanita melihat beberapa bercak kecil darah, apakah dia meninggalkan puasa dan salat? Atau apa yang harus dia kerjakan? Jawab: Problematika wanita terkait haid dan nifas seperti laut yang tidak bertepi. Di antara penyebabnya ialah penggunaan obat pencegah kehamilan dan pencegah menstruasi. Dahulu, orang-orang tidak mengenal permasalahan-permasalahan yang banyak seperti ini. Memang benar bahwa permasalahan selalu ada sejak diutusnya Rasulullah ﷺ, bahkan sejak wanita ada. Tetapi, jumlah problem yang begitu banyak seperti ini dan membuat setiap orang bingung untuk mengurai permasalahannya adalah perkara yang disayangkan. Namun ada kaidah umum, yaitu bahwa seorang wanita bila telah suci serta telah melihat kesucian yang pasti pada haid maupun nifas -yang saya maksud dengan kesucian yang pasti ialah keluarnya qaṣṣah baiḍā`, yaitu lendir berwarna putih yang dikenal di kalangan wanita-, maka semua yang keluar setelah kesucian itu berupa darah keruh atau kecoklatan, ataupun bercak dan lendir, itu semuanya bukan haid, sehingga tidak menghalangi salat dan puasa, serta tidak menghalangi seorang suami menggauli istrinya karena itu bukan haid. Ummu 'Aṭiyyah berkata, "Dahulu, sedikit pun kami tidak memperhitungkan darah kecoklatan dan keruh." HR. Bukhari. Abu Daud menambahkan lafal, "... setelah suci." Hadis ini sanadnya sahih. Atas dasar itu kita katakan: semua yang terjadi di antara perkara-perkara ini setelah kesucian yang pasti tidak berdampak buruk kepada seorang wanita serta tidak menghalanginya untuk mengerjakan salat dan puasa maupun digauli oleh suaminya. Akan tetapi, dia tidak boleh terburu-buru sampai melihat kesucian itu; karena sebagian wanita bila darahnya telah kering, dia segera mandi sebelum melihat tanda suci. Oleh sebab itu, dulu para wanita sahabat mengirim kapas yang ada darahnya ke Ummul Mukminin Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā-, maka beliau berkata, "Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat lendir putih." Soal 25 Sebagian wanita darahnya berlanjut, kadang berhenti sehari atau dua hari, kemudian kembali lagi. Dalam kondisi seperti ini, apa hukumnya terkait puasa, salat, dan ibadah-ibadah lainnya? Jawab: Yang masyhur di kalangan banyak ulama adalah bahwa seorang wanita bila memiliki kebiasan masa menstruasi, dan masa itu telah berlalu, maka dia harus mandi, salat, dan berpuasa. Adapun darah yang dilihatnya setelah dua atau tiga hari maka itu bukan darah haid karena minimal masa suci menurut ulama-ulama tersebut ialah 13 hari.

Sebagian ulama berpendapat bahwa setiap kali dia melihat darah, maka itu haid. Sebaliknya, kapan pun dia bersih dari darah itu maka dia dihukumi suci walaupun jarak antara kedua haid itu tidak sampai 13 hari.

Soal 26 Manakah yang lebih utama bagi seorang wanita: mengerjakan salat di malam-malam Ramadan di rumahnya ataukah di masjid, khususnya jika di masjid ada nasihat dan kajian singkat? Apa nasihat Anda bagi wanita yang salat di masjid? Jawab: Yang paling utama ialah dia salat di rumahnya, berdasarkan keumuman sabda Nabi ﷺ: "Rumah mereka (kaum wanita) lebih baik bagi mereka." Juga karena keluarnya para wanita tidak selamat dari fitnah di banyak keadaan. Jadi, menetapnya seorang wanita di rumahnya lebih baik bagi mereka daripada keluar untuk salat di masjid. Sedangkan nasihat dan kajian dapat diperoleh dengan perantara kaset atau rekaman.

Arahan saya bagi wanita-wanita yang salat di masjid supaya mereka keluar dari rumah mereka tanpa tabarruj (berpenampilan menor) dan tidak juga memakai minyak wangi.

Soal 27 Apa hukum seorang wanita mencicipi makanan di siang Ramadan sedangkan ia sedang berpuasa? Jawab: Hukumnya tidak mengapa karena hal itu diperlukan, namun makanan yang dicicip harus dibuang, tidak ditelan. Soal 28 Seorang wanita mengalami kecelakaan sementara dia sendiri masih di awal kehamilan, hal itu mengakibatkan janinnya gugur setelah pendarahan hebat. Apakah dia boleh membatalkan puasanya, ataukah dia harus melanjutkan puasa? Bila tidak puasa, apakah dia berdosa? Jawab: Kita katakan: wanita hamil tidak haid, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad, "Perempuan itu mengetahui kehamilan dengan berhentinya haid." Haid -sebagaimana dikatakan oleh para ahli- diciptakan oleh Allah ﷻ sebagai asupan bagi janin di dalam kandungan ibunya, sehingga ketika kehamilan terbentuk maka haid terhenti.

Tetapi, sebagian wanita hamil kadang tetap mengalami haid sesuai kebiasaannya sebelum kehamilan. Yang seperti ini haidnya dihukumi haid yang hakiki karena haidnya berlanjut dan tidak terpengaruhi oleh kehamilan. Jadi, haid ini menjadi penghalang semua yang dihalangi oleh haid di selain wanita hamil, mengharuskan apa yang diharuskannya, dan menggugurkan apa yang digugurkannya.

Kesimpulannya ialah bahwa darah yang keluar dari wanita hamil terbagi dua:

Pertama: darah haid; yaitu darah yang berlanjut sebagaimana sebelum kehamilan, artinya kehamilan tidak menghentikan haid, maka ia dihukumi sebagai haid.

Kedua: darah tidak biasa yang muncul pada saat kehamilan; entah disebabkan suatu kejadian, beban berat, jatuh, dan semisalnya, maka darah itu bukan darah haid, melainkan darah penyakit. Atas dasar ini, maka darah itu tidak menghalanginya untuk mengerjakan salat maupun puasa, melainkan dia masuk kategori wanita suci.

Namun jika kejadian itu mengakibatkan kandungannya gugur, maka hukumnya seperti yang dikatakan oleh para ulama; jika janin gugur dan telah tampak padanya bentuk manusia, maka darahnya setelah keguguran itu terhitung nifas sehingga dia harus meninggalkan salat dan puasa serta tidak boleh digauli oleh suaminya hingga suci.

Sebaliknya, jika janin keluar belum terbentuk, maka darah itu tidak terhitung darah nifas, melainkan dihukumi darah rusak yang tidak menghalanginya untuk mengerjakan salat maupun puasa dan lainnya.

Para ulama mengatakan bahwa waktu minimal kehamilan agar janin terbentuk ialah 81 hari, karena janin itu ada dalam kandungan ibunya, sesuai riwayat Abdullah bin Mas'ud -raḍiyallāhu 'anhu-, dia menyebutkan: Rasulullah ﷺ bercerita kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan, beliau bersabda, "Sesungguhnya salah seorang kalian dikumpulkan (penciptaannya) dalam perut ibunya 40 hari, kemudian menjadi segumpal darah semisal itu, kemudian menjadi segumpal daging semisal itu, kemudian dikirim padanya malaikat dan diperintahkan dengan empat perkara: menulis rezekinya, ajalnya, amalnya, dan takdirnya sengsara atau bahagia." Janin tidak mungkin berbentuk sebelum itu. Pada umumnya pembentukan janin belum tampak sebelum usia 90 hari, sebagaimana diterangkan sebagian ahli. Soal 29 Saya wanita yang mengalami keguguran di bulan ketiga kehamilan pada tahun lalu dan saya tidak mengerjakan salat hingga saya suci. Pernah dikatakan kepada saya: kamu harusnya salat. Apa yang harus saya lakukan, sedangkan saya tidak tahu pasti jumlah harinya? Jawab: Yang diketahui di kalangan ulama bahwa seorang wanita yang mengalami keguguran setelah 3 bulan kehamilan maka dia tidak mengerjakan salat, sebab wanita yang janinnya gugur dan telah tampak padanya bentuk manusia, maka darah yang keluar adalah darah nifas dan saat itu dia tidak mengerjakan salat.

Para ulama mengatakan bahwa bentuk janin memungkinkan terlihat bila telah sempurna berusia 81 hari, dan ini kurang dari 3 bulan. Bila dia yakin janinnya gugur sebelum genap tiga bulan, maka darah yang menimpanya adalah darah kotor, dan dia tidak meninggalkan salat dengan sebab itu.

Penanya tersebut harus mengingat-ingat kembali; jika janinnya gugur sebelum 80 hari maka dia harus mengada salat yang ia tinggalkan. Bila dia tidak tahu berapa yang dia tinggalkan? Maka dia mengira-ngira dan mencari kemungkinan yang lebih dekat lalu melakukan kada sesuai jumlah salat yang dia duga kuat tidak mengerjakannya. Soal 30 Seorang penanya wanita menuturkan bahwa sejak wajib berpuasa dia selalu berpuasa Ramadan, tetapi dia tidak mengada hari-hari yang ditinggalkannya pada saat menstruasi, dan juga karena ketidaktahuannya tentang berapa jumlah hari yang dia tidak berpuasa. Sebab itu, dia meminta petunjuk tentang apa yang harus dia kerjakan sekarang. Jawab: Kita sangat menyayangkan hal seperti ini terjadi di tengah kaum wanita beriman. Perbuatan meninggalkan kada puasa wajib ini kadang disebabkan kejahilan atau kadang disebabkan kelalaian, dan keduanya adalah musibah. Kejahilan obatnya belajar dan bertanya. Sedangkan kelalaian, obatnya ialah bertakwa kepada Allah ﷻ, yakin dalam pengawasan-Nya, takut terhadap siksa-Nya, serta segera mengejar apa yang mengandung rida-Nya.

Wanita ini harus bertobat kepada Allah dari perbuatannya, memohon ampunan-Nya, dan berusaha maksimal mengetahui jumlah hari puasa yang ditinggalkannya lalu mengadanya. Hanya dengan seperti ini jiwanya akan bebas dari tanggungan hutang puasa. Kita berharap semoga Allah menerima tobatnya.

Soal 31 Apa hukumnya bila seorang wanita mengalami haid setelah masuk waktu salat? Apakah dia wajib mengadanya ketika suci? Demikian juga apa hukumnya bila dia suci sebelum keluar waktu salat? Jawab: Pertama: bila seorang wanita mengalami haid setelah masuk waktu salat, ketika suci dia wajib mengada salat yang di waktu itu dia datang haid bila dia belum mengerjakannya sebelum haidnya datang. Hal ini berdasarkan sabda Rasul ﷺ: "Siapa yang mendapatkan salat seukuran satu rakaat, maka ia telah mendapatkan salat itu." Bila seorang wanita mendapatkan waktu salat seukuran satu rakaat kemudian dia mengalami haid sebelum mengerjakan salat itu, maka dia harus mengadanya setelah suci. Kedua: bila dia suci dari haid sebelum waktu salat habis, dia wajib mengada salat itu. Seandainya dia suci sebelum matahari terbit seukuran satu rakaat, maka dia wajib mengada salat Subuh itu. Seandainya dia suci sebelum matahari terbenam seukuran satu rakaat, maka dia wajib mengada salat Asar itu. Seandainya dia suci sebelum pertengahan malam seukuran satu rakaat, maka dia wajib mengada salat Isya itu. Namun, jika dia suci setelah tengah malam, maka dia tidak diwajibkan untuk mengerjakan salat Isya itu, dan kewajibannya ialah mengerjakan salat Subuh ketika waktunya telah masuk. Allah ﷻ berfirman,

﴿فَإِذَا قَضَيۡتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمۡۚ فَإِذَا ٱطۡمَأۡنَنتُمۡ فَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَۚ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبٗا مَّوۡقُوتٗا١٠٣﴾ [النساء: 103]

"Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." [QS. An-Nisā`: 103] Maksudnya, salat ialah kewajiban yang telah dibatasi waktunya dengan waktu tertentu; tidak boleh bagi seseorang untuk mengerjakan salat setelah waktunya lewat dan tidak boleh pula memulainya sebelum waktunya masuk. Soal 32 Menstruasi datang ketika saya sedang salat, apa yang harus saya kerjakan? Apakah saya harus mengada salat selama masa haid? Jawab: Bila haid datang setelah masuk waktu salat -misalnya: haid ada setelah masuk waktu salat Zuhur seukuran setengah jam sementara ia belum salat Zuhur-, maka nanti setelah suci dari haid dia harus mengada salat tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah ﷻ:

﴿... إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبٗا مَّوۡقُوتٗا١٠٣﴾ [النساء: 103]

"Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." [QS. An-Nisā`: 103] Dia tidak perlu mengada salat selama masa haid, berdasarkan sabda Nabi ﷺ dalam hadis yang panjang: "Bukankah wanita itu tidak mengerjakan salat maupun puasa ketika haid?!" Semua ulama sepakat bahwa seorang wanita tidak mengada salat yang luput dikerjakannya selama masa haid. Adapun jika dia suci sementara waktu salat masih tersisa seukuran satu rakaat atau lebih, maka dia mengerjakan salat pada waktu yang dia suci padanya tersebut, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Siapa yang mendapatkan seukuran satu rakaat dari waktu asar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan salat Asar itu." Sebab itu, ketika dia suci di waktu asar atau sebelum matahari terbit, yaitu masih tersisa waktu sebelum matahari terbenam atau terbit seukuran satu rakaat, maka dia harus mengerjakan salat Asar di kasus pertama dan salat Subuh kasus kedua. Soal 33 Saya memiliki ibu berumur 65 tahun. Sudah selama 19 tahun belum dikaruniai anak. Sekarang dia mengalami pendarahan dan telah berjalan 3 tahun, sepertinya itu penyakit yang dialaminya selama masa itu. Karena dia akan menghadapi puasa, bagaimana nasihat Anda kepada kami? Bagaimana orang yang semisalnya bertindak? Jawab: Hukum wanita yang mengalami pendarahan seperti itu ialah dia meninggalkan salat dan puasa selama kebiasaan haidnya yang lalu sebelum peristiwa itu menimpanya. Bila kebiasaan haidnya datang di awal setiap bulan selama enam hari, maka dia istirahat di awal setiap bulan selama enam hari tanpa mengerjakan salat maupun puasa. Bila enam hari itu lewat, maka dia mandi, salat, dan puasa.

Tata cara salat bagi wanita itu dan yang semisalnya ialah dia membersihkan kemaluannya secara sempurna dan memakai pembalut lalu berwudu. Dia melakukan itu setelah masuk waktu salat wajib. Dia juga hendaknya melakukan itu ketika akan mengerjakan salat sunah di luar waktu-waktu salat wajib.

Dalam kondisi ini -disebabkan kesulitan yang dialaminya- dia diperbolehkan menjamak salat Zuhur dengan Asar dan menjamak salat Magrib dengan Isya, sehingga dia melakukannya sekali untuk kedua salat Zuhur dan Asar; sekali untuk kedua salat Magrib dan Isya; dan sekali untuk salat Subuh. Dia tidak harus melakukannya 5 kali, namun dia bisa melakukannya 3 kali saja. Saya katakan sekali lagi bahwa ketika dia ingin bersuci, maka dia membersihkan kemaluannya dan memakai pembalut kain atau yang semisalnya supaya darah yang keluar lebih sedikit, lalu dia berwudu dan mengerjakan salat Zuhur 4 rakaat, Asar 4 rakaat, Magrib 3 rakaat, Isya 4 rakaat, dan Subuh 2 rakaat. Dia tidak melakukan qasar, sebagaimana yang disangka sebagian awam. Namun, dia boleh menjamak antara salat Zuhur dan Asar serta antara Magrib dan Isya. Zuhur dan Asar dapat dijamak di akhir (pada waktu Asar) ataupun di awal (pada waktu Zuhur). Demikian juga Magrib dengan Isya, dapat dijamak di awal (pada waktu Magrib) maupun di akhir (pada waktu Isya). Tidak mengapa bila dia hendak mengerjakan salat sunah dengan wudu tersebut. Soal 34 Apa hukum keberadaan wanita yang sedang haid di Masjidilharam untuk mendengarkan hadis dan khotbah? Jawab: Tidak diperbolehkan bagi wanita haid untuk diam di dalam Masjidilharam maupun di masjid lainnya. Namun dia boleh lewat di masjid, mengambil keperluan di dalamnya, dan yang semisalnya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ kepada Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- ketika beliau memerintahkannya untuk mengambil al-khumrah (sajadah)[1], lalu dia menjawab, "Sajadah itu di masjid sedangkan saya sedang haid." Beliau lantas bersabda, "Sungguh, haidmu tidak di tanganmu." Bila wanita yang haid lewat di dalam masjid, sementara dia merasa aman tidak akan ada darah yang jatuh ke masjid, maka tidak mengapa.

Adapun kalau dia hendak masuk dan duduk, maka itu tidak boleh.

Dalilnya bahwa Nabi ﷺ memerintahkan para wanita (gadis remaja, wanita yang dipingit, dan wanita yang haid) ketika salat Id untuk keluar ke lapangan Id, hanya saja beliau memerintahkan supaya wanita-wanita yang haid berada di luar lapangan. Itu menunjukkan bahwa wanita haid tidak boleh diam di dalam masjid untuk mendengarkan khotbah atau mendengarkan pelajaran dan hadis.

*


 BEBERAPA HUKUM BERSUCI DALAM SALAT

Soal 35 Apakah cairan yang keluar dari wanita -baik berwarna putih ataupun kekuningan- suci atau najis? Apakah hal itu membatalkan wudu sementara cairan itu keluar terus-menurus? Bagaimana hukumnya kalau terputus-putus, khususnya kebanyakan wanita -terutama kalangan terpelajar- menganggap itu sebagai lendir alami yang tidak membatalkan wudu? Jawab: Yang lebih tampak bagi saya setelah penelitian ialah bahwa cairan yang keluar dari wanita, bila tidak keluar dari saluran kencing, melainkan keluar dari rahim, maka cairan itu suci. Akan tetapi, ia membatalkan wudu walaupun suci karena tidak disyaratkan pada pembatal wudu harus berupa najis. Lihatlah kentut yang keluar dari anus, ia tidak memiliki wujud yang terlihat, kendati demikian ia membatalkan wudu.

Atas dasar itu, bila cairan itu keluar dari seorang wanita sedangkan dia dalam keadaan telah berwudu, maka hal itu membatalkan wudunya dan dia harus memperbaruinya.

Namun bila cairan itu keluar terus-menurus, maka ia tidak membatalkan wudu. Namun, dia hendaknya berwudu untuk mengerjakan salat ketika waktunya sudah masuk. Dia dapat mengerjakan salat di waktu dia melakukan wudu itu, baik salat-salat fardu maupun sunah, juga membaca Al-Qur`ān serta mengerjakan perbuatan mubah apa saja yang diinginkannya. Hal ini sama dengan yang diterangkan oleh para ulama pada kasus orang yang kencing terus-menerus. Itulah hukum cairan tersebut; dari sisi kesucian hukumnya suci, sedangkan dari sisi membatalkan wudu hukumnya membatalkan wudu, kecuali ia mengalaminya terus-menerus. Adapun kalau hal itu terus-menerus, maka ia tidak membatalkan wudu. Hanya saja wanita tersebut tidak berwudu untuk salat kecuali setelah masuk waktu dan memakai pembalut.

Adapun kalau cairan itu terputus-putus, dan biasanya ia berhenti di waktu-waktu salat, maka hendaknya dia mengakhirkan salat itu hingga datang waktu berhentinya selama tidak dikhawatirkan waktu salat itu habis. Bila ia khawatir kehabisan waktu, maka dia berwudu dan memakai pembalut lalu mengerjakan salat.

Tidak berbeda antara yang sedikit maupun banyak, karena semuanya keluar dari jalur kotoran, sehingga ia membatalkan wudu baik sedikit maupun banyak. Berbeda dengan kotoran yang keluar dari bagian tubuh lainnya, seperti darah dan muntah, hukumnya tidak membatalkan wudu, baik yang sedikit maupun banyak.

Sedangkan keyakinan sebagian wanita bahwa cairan itu tidak membatalkan wudu, maka itu tidak saya ketahui memiliki dasar kecuali dari pendapat Ibnu Ḥazm -raḥimahullāh-, beliau berkata, "Ini tidak membatalkan wudu." Namun, beliau tidak menyebutkan dalilnya. Seandainya ada dalilnya dari Al-Qur`ān dan Sunnah ataupun perkataan sahabat, tentu itu menjadi hujah.

Seorang wanita wajib bertakwa kepada Allah dan gigih menjaga wudunya karena salat tidak akan diterima tanpa wudu, walaupun dia salat 100 kali. Bahkan, sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang salat tanpa wudu telah kafir, karena perbuatan itu termasuk mengolok-olok ayat-ayat Allah ﷻ.

Soal 36 Bila seorang wanita yang keluar cairan secara terus-menerus telah berwudu untuk suatu salat fardu, apakah dia dibolehkan mengerjakan salat-salat sunah yang dia inginkan ataupun membaca Al-Qur`ān dengan wudu salat fardu tersebut hingga salat fardu berikutnya? Jawab: Bila dia berwudu untuk salat fardu di awal waktu, dia boleh mengerjakan salat apa saja, baik salat fardu maupun sunah, serta membaca Al-Qur`ān hingga masuk waktu salat berikutnya. Soal 37 Apakah wanita tersebut boleh mengerjakan salat Duha dengan wudu salat Subuh? Jawab: Itu tidak dibenarkan karena salat duha memiliki batasan waktu, sehingga harus berwudu untuknya setelah waktunya masuk. Hal ini disebabkan karena hukum wanita tersebut sama dengan hukum wanita istihadah, yaitu Nabi ﷺ memerintahkan wanita yang istihadah untuk berwudu pada setiap salat.

Sedangkan waktu Zuhur dari matahari tergelincir hingga masuk waktu Asar.

Waktu Asar dari akhir waktu Zuhur hingga matahari memerah, dilanjutkan waktu darurat hingga matahari terbenam.

Waktu Magrib dari matahari terbenam hingga mega merah hilang.

Waktu Isya dari waktu hilangnya mega merah hingga pertengahan malam.

Soal 38 Apakah wanita tersebut boleh mengerjakan salat tahajud setelah lewat tengah malam menggunakan wudu Isya? Jawab: Tidak boleh. Bila telah lewat tengah malam, dia harus memperbarui wudu. Ada pendapat lain bahwa dia tidak diharuskan memperbarui wudu, dan itu yang kuat. Soal 39 Kapan akhir waktu salat Isya? Bagaimana cara mengetahuinya? Jawab: Akhir waktu salat Isya ialah tengah malam. Itu dapat diketahui dengan membagi dua waktu antara terbenam matahari dan terbit fajar; setengah pertama adalah akhir waktu salat Isya, sedangkan sisa setengah malam berikutnya bukan waktu Isya, melainkan jeda antara salat Isya dan Subuh. Soal 40 Bila wanita yang cairannya keluar secara putus-putus telah berwudu, tetapi setelah berwudu dan sebelum salat, cairan itu keluar lagi, apa yang harus dia lakukan? Jawab: Bila cairannya keluar putus-putus, maka dia harus menunggu sampai datang waktu putusnya. Adapun kalau ia tidak memiliki keadaan jelas, kadang keluar dan kadang tidak, maka dia berwudu setelah masuk waktu lalu mengerjakan salat, dan tidak ada keharusan apa pun atasnya setelah itu. Soal 42 Apa yang harus dilakukan pada badan atau pakaian yang terkena cairan tersebut? Jawab: Jika cairan tersebut suci maka tidak ada keharusan apa pun. Tetapi, kalau cairan tersebut najis, yaitu yang keluar dari saluran kencing, maka dia wajib mencucinya. Soal 42 Terkait dengan wudu yang disebabkan oleh cairan tersebut, apakah cukup dengan membasuh anggota wudu saja? Jawab: Ya. Cukup dengan itu jika cairan tersebut suci, yaitu yang keluar dari rahim, bukan dari saluran kencing. Soal 43 Apa penyebab tidak terdapat riwayat satu hadis pun dari Nabi ﷺ yang menunjukkan batalnya wudu dengan cairan tersebut, padahal para wanita sahabat sangat gigih untuk menanyakan urusan agama mereka? Jawab: Karena cairan tersebut tidak dialami oleh setiap wanita. Soal 45 Sebagian wanita tidak berwudu karena tidak tahu hukumnya, apa yang harus dia lakukan? Jawab: Dia harus bertobat kepada Allah ﷻ dan menanyakannya kepada ulama. Soal 45 Ada yang menisbahkan kepada Anda pendapat tidak berwudu dari cairan tersebut? Jawab: Yang menisbahkan pendapat itu kepada saya tidak jujur. Tampaknya ia memahaminya dari perkataan saya: hukumnya suci, bahwa ia tidak membatalkan wudu. Soal 46 Apa hukum darah keruh yang keluar pada wanita sehari sebelum haid ataupun lebih maupun kurang? Terkadang yang keluar berbentuk benang bening kehitaman, atau kecoklatan, atau semisalnya? Apa hukumnya bila ia keluar setelah haid? Jawab: Itu semuanya, jika merupakan mukadimah haid, maka hukumnya haid. Itu dapat diketahui dengan rasa sakit dan mulas yang biasa dialami wanita haid.

Adapun darah keruh setelah haid, maka ditunggu hingga selesai karena darah keruh yang bersambung dengan haid adalah haid, berdasarkan perkataan Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā-: "Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat lendir putih." Wallāhu a'lam.

*

 BEBERAPA HUKUM HAID TERKAIT IBADAH HAJI DAN UMRAH

Soal 47 Bagaimana wanita yang haid mengerjakan salat dua rakaat sebelum ihram? Apakah dibolehkan bagi wanita yang haid untuk melantunkan ayat-ayat Al-Qur`ān secara lirih ataukah tidak? Jawab: Pertama: harus kita ketahui bahwa ihram itu tidak memiliki salat karena tidak diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau mensyariatkan salat ihram bagi umatnya, baik melalui perkataannya, perbuatannya, maupun persetujuannya terhadap amalan sahabatnya. Kedua: wanita yang mengalami haid sebelum berihram diperkenankan untuk melakukan ihram sekalipun sedang haid. Hal ini karena Nabi ﷺ memerintahkan kepada Asmā` binti 'Umais, istri Abu Bakar -raḍiyallāhu 'anhumā-, ketika mengalami nifas di Zulhulaifah supaya mandi dan memakai pembalut lalu berihram. Demikian juga wanita yang haid. Dia tetap dalam ihramnya hingga suci, lalu tawaf di Ka'bah serta melakukan sai.

Adapun pertanyaannya: apakah dia boleh membaca Al-Qur`ān? Jawabannya: iya. Wanita yang haid diperkenankan untuk membaca Al-Qur`ān ketika ada kebutuhan atau kemaslahatan. Adapun tanpa ada kebutuhan maupun kemaslahatan, namun hanya ingin membacanya dalam rangka beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka sebaiknya dia tidak melakukannya.

Soal 48 Seorang wanita melakukan perjalanan haji dan dia kedatangan menstruasi sejak 5 hari dari tanggal keberangkatannya. Setelah sampai mikat, dia mandi dan meniatkan ihram, tetapi dia belum suci dari menstruasinya. Ketika sampai di Makkah al-Mukarramah, dia tidak masuk ke dalam Masjidilharam dan tidak melakukan satu pun di antara manasik haji atau umrah, lalu tinggal selama dua hari di Mina. Kemudian dia suci dan mandi serta menunaikan semua manasik umrah dalam keadaan suci. Kemudian dia kembali mengalami keluarnya darah ketika sedang tawaf ifadah untuk haji. Akan tetapi, dia merasa malu dan terus menyempurnakan manasik haji dan tidak mengabari walinya kecuali setelah sampai di negaranya. Apa hukum perbuatan itu? Jawab: Hukum dalam masalah ini ialah bahwa bila darah yang keluar darinya ketika tawaf ifadah merupakan darah haid yang dikenalinya lewat karakternya ataupun rasa sakitnya, maka tawaf ifadah itu tidak sah dan dia harus kembali ke Makkah untuk melakukan tawaf ifadah, yaitu dia berihram umrah dari mikat dan menunaikan umrah lengkap dengan tawaf, sai, dan cukur rambut, lalu melakukan tawaf ifadah.

Adapun jika darah itu bukan darah haid, melainkan darah alami biasa yang keluar akibat desak-desakan atau ketakutan yang tinggi maupun penyebab lainnya yang semisal, maka tawafnya sah menurut ulama yang tidak mensyaratkan kesucian dari hadas untuk tawaf.

Pada masalah pertama di atas, bila dia tidak memungkinkan untuk kembali ke Makkah karena berdomisili di negara yang jauh, maka hajinya dianggap sah sebab dia tidak mampu lebih dari yang telah dia lakukan.

Soal 49 Seorang wanita datang berihram umrah, tetapi setelah sampai Makkah dia mengalami haid, sedangkan mahramnya harus pulang segera dan dia tidak memiliki seorang pun yang bisa membantunya di Makkah. Apa hukumnya? Jawab: Dia ikut pulang bersama mahramnya dan tetap dalam ihramnya, lalu kembali lagi bila telah suci. Ini jika dia berdomisili di Arab Saudi karena untuk kembali lagi ke Makkah relatif mudah serta tidak butuh administrasi yang melelahkan maupun paspor dan semisalnya.

Adapun kalau dia berasal dari luar Arab Saudi dan sulit baginya kembali lagi, maka dia diharuskan memakai pembalut, lalu melakukan tawaf dan sai serta mencukur rambut, dan menyelesaikan umrahnya dalam safar tersebut karena tawafnya ketika itu menjadi darurat sedangkan larangan dapat menjadi boleh dengan sebab darurat.

Soal 50 Apa hukum wanita muslimah yang mengalami menstruasi di hari-hari hajinya. Apakah hajinya itu sah? Jawab: Pertanyaan ini tidak mungkin dijawab sampai diketahui kapan dia haid? Karena sebagian ritual haji tidak dihalangi oleh haid dan sebagiannya ada yang dihalangi olehnya. Tawaf tidak mungkin dia lakukan kecuali dia suci. Sedangkan manasik yang lainnya dapat dikerjakan meskipun mengalami haid. Soal 51 Saya telah menunaikan kewajiban haji tahun lalu. Saya telah melaksanakan semua manasik haji kecuali tawaf ifadah dan tawaf wada disebabkan karena saya dihalangi uzur. Saya pun pulang ke rumah saya di Madinah dengan catatan suatu hari saya akan kembali lagi untuk mengerjakan tawaf ifadah dan tawaf wada. Tetapi disebabkan kejahilan saya tentang urusan agama, saya telah menghalalkan segala sesuatu serta mengerjakan semua yang haram dikerjakan di tengah-tengah ihram. Saya kemudian menanyakan waktu kembali untuk mengerjakan tawaf, maka dikatakan ke saya, "Kamu tidak sah melakukan tawaf karena kamu telah merusaknya dan kamu harus mengulang lagi di tahun depan disertai menyembelih seekor sapi atau unta." Apakah ini benar? Apakah ada solusi lain? Bila ada, maka apa solusinya? Apakah haji saya batal? Apakah saya harus mengulanginya? Harap terangkan pada kami tentang apa yang harus dikerjakan. Bārakallāhu fīkum. Jawab: Ini juga termasuk musibah yang diakibatkan oleh fatwa tanpa ilmu. Anda dalam keadaan ini wajib kembali ke Makkah dan mengerjakan tawaf ifadah saja. Adapun tawaf wada, Anda tidak wajib mengerjakannya selama Anda sedang haid ketika akan keluar dari Makkah karena wanita yang haid tidak diharuskan tawaf wada. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā-: "Jemaah haji diperintahkan agar menjadikan akhir amalan mereka ialah (tawaf wada) di Baitullah, hanya saja diberikan keringanan bagi wanita yang sedang haid (untuk tidak melakukannya)." Dalam riwayat lain pada Abu Daud: "Tawaf (wada) menjadikan akhir amalan mereka di Baitullah." Juga, karena Nabi ﷺ ketika dikabari bahwa Ṣafiyyah telah mengerjakan tawaf ifadah, beliau bersabda, "Jika demikian, hendaklah dia langsung keluar (dari Makkah tanpa tawaf wada)." Ini menunjukkan bahwa tawaf wada gugur dari wanita yang sedang haid. Adapun tawaf ifadah maka Anda harus mengerjakannya. Adapun tindakan Anda dalam menghalalkan segala larangan ihram sebab tidak tahu hukumnya, maka perbuatan itu tidak berdampak keburukan. Sebab orang yang jahil bila melakukan sebagian larangan ihram, maka ia tidak diwajibkan apa pun. Hal ini berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-,

﴿... رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ ...﴾ [البقرة: 286]

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan." [QS. Al-Baqarah: 286]. Allah -Ta'ālā- berfirman, "Telah Aku lakukan." Juga firman Allah:

﴿...لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٞ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡۚ ...﴾ [الأحزاب: 5]

"Tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi yang ada dosanya apa yang disengaja oleh hatimu." [QS. Al-Aḥzāb: 5] Semua larangan yang dilarang oleh Allah -Ta'ālā- bagi orang yang sedang dalam ihram, jika dilakukannya karena tidak tahu atau lupa atau terpaksa, maka tidak ada kewajiban apapun atasnya. Namun ketika uzurnya hilang, ia harus segera meninggalkan larangan yang dia langgar itu. Soal 52 Apabila wanita mulai mengalami nifas di hari tarwiah (8 Zulhijah) dan dia telah menyelesaikan semua rukun haji kecuali tawaf dan sai, hanya saja dia mengamati bahwa dia telah suci untuk sementara setelah 10 hari; apakah dia boleh bersuci dan mandi serta menunaikan rukun tersisa yang merupakan tawaf haji? Jawab: Dia tidak diperbolehkan untuk mandi dan tawaf sampai benar-benar yakin telah suci. Yang dipahami dari pertanyaan ini ketika dia mengatakan "untuk sementara" ialah bahwa dia belum melihat kesucian itu secara sempurna. Jadi, dia harus melihat kesucian secara sempurna lebih dahulu. Maka kapan dia suci, dia langsung mandi serta menunaikan tawaf dan sai.

Sekiranya dia mengerjakan sai sebelum tawaf, maka tidak mengapa karena Nabi ﷺ pernah ditanya tentang orang yang mengerjakan sai sebelum tawaf, beliau bersabda, "Tidak mengapa."

Soal 53 Seorang wanita berihram haji dari as-Sail (Qarnul-Manāzil) dalam keadaan sedang haid. Setelah sampai di Makkah dia pergi ke Jeddah untuk suatu keperluan. Ternyata dia suci di Jeddah lalu mandi dan menyisir rambutnya dan menyempurnakan hajinya. Apakah hajinya sah? Apakah dia diwajibkan sesuatu? Jawab: Hajinya sah dan dia tidak diwajibkan apa pun. Soal 54 Saya pergi untuk berumrah, lalu saya melewati mikat dalam keadaan haid sehingga saya tidak melakukan ihram. Saya lalu tinggal di Makkah hingga saya suci lalu berihram dari Makkah. Apakah ini boleh? Atau apa yang harus saya lakukan? Dan apa yang wajib atas saya? Jawab: Perbuatan ini tidak boleh. Seorang wanita yang hendak berumrah tidak boleh melewati mikat kecuali telah berihram walaupun sedang haid. Dia tetap berihram ketika sedang haid, dan ihramnya sah. Dalilnya bahwa Asmā` binti 'Umais, istri Abū Bakar -raḍiyallāhu 'anhumā-, melahirkan sementara Nabi ﷺ sedang singgah di Zulhulaifah untuk melakukan haji wada. Dia lalu mengirim utusan kepada Nabi ﷺ menanyakan, "Bagaimana aku harus berbuat?" Beliau bersabda, "Mandilah, lalu pakailah pembalut (istiṡfār) dengan kain dan berihramlah." Tentunya, darah haid sama dengan darah nifas. Sebab itu, kita katakan kepada wanita yang haid bila melewati mikat sedangkan dia hendak menunaikan umrah ataupun haji, "Mandilah, lalu pakailah pembalut dengan kain dan berihramlah." Al-Istiṡfār artinya dia meletakkan kain pembalut pada kemaluannya, lalu berihram, baik haji maupun umrah. Akan tetapi, bila dia telah melakukan ihram dan sampai di Makkah, dia tidak pergi ke Baitullah dan melakukan tawaf hingga dia suci. Oleh karena itu, Nabi ﷺ bersabda kepada Aisyah tatkala dia haid pada saat umrah, "Kerjakan semua yang dikerjakan jemaah haji, hanya saja engkau belum boleh tawaf di Baitullah hingga engkau suci." [HR. Bukhari dan Muslim] Dalam Ṣaḥīḥ Bukhāriy juga Aisyah menyebutkan bahwa setelah suci dia melakukan tawaf di Baitullah dan sai antara Safa dan Marwa. Ini menunjukkan bahwa bila seorang wanita melakukan ihram haji ataupun umrah dalam keadaan haid, atau dia mengalami haid sebelum tawaf, maka dia tidak melakukan tawaf maupun sai sampai dia suci dan mandi.

Adapun kalau dia tawaf dalam keadaan suci, lalu setelah selesai tawaf dia mengalami haid, maka dia tetap lanjut dengan tetap melakukan sai walaupun sedang haid, serta memotong rambut dan menyelesaikan umrahnya karena sai antara Safa dan Marwa tidak disyaratkan padanya suci.

Soal 55 Saya dan istri saya datang dari Yanbu' untuk berumrah, tetapi ketika sampai di Jeddah, istri saya mengalami haid. Namun, saya tetap melanjutkan umrah sendiri tanpa istri saya. Maka apa hukum yang terkait dengan istri saya? Jawab: Hukum yang terkait istri Anda ialah dia hendaknya tetap berada di Makkah hingga suci lalu menyelesaikan umrahnya. Hal itu karena tatkala Ṣafiyyah -raḍiyallāhu 'anhā- mengalami haid, Nabi ﷺ bersabda, "Apakah dia akan menahan kita?" Para sahabat menjawab, "Dia telah melakukan tawaf ifadah." Beliau bersabda, "Hendaklah dia langsung keluar (tanpa tawaf wada), jika demikian." Sabda beliau ﷺ: "Apakah dia akan menahan kita?" adalah dalil bahwa seorang wanita harus menetap di Makkah bila mengalami haid sebelum tawaf ifadah hingga dia suci, lalu melakukan tawaf.

Demikian halnya tawaf umrah sama dengan tawaf ifadah karena merupakan rukun umrah. Sebab itu, ketika seorang wanita mengalami haid sebelum tawaf, dia harus menunggu hingga suci lalu melakukan tawaf.

Soal 56 Apakah jalur sai termasuk Masjidilharam? Apakah wanita yang haid boleh masuk ke sana? Apakah orang yang masuk Masjidilharam dari jalur sai wajib mengerjakan salat Tahiyat Masjid? Jawab: Yang lebih tampak ialah bahwa jalur sai tidak termasuk bagian dari masjid. Oleh karena itu, mereka membuat dinding pemisah antara keduanya berupa tembok pendek. Tidak diragukan bahwa ini lebih baik bagi umat Islam karena sekiranya ia dimasukkan ke dalam masjid dan dijadikan sebagai bagian dari masjid, maka wanita yang mengalami haid antara tawaf dengan sai tidak akan bisa melakukan sai.

Hal yang saya fatwakan ialah bahwa seorang wanita bila mengalami haid setelah tawaf dan sebelum sai, silakan dia mengerjakan sai karena jalur sai tidak termasuk bagian dari masjid.

Adapun salat Tahiyat Masjid, maka dapat dikatakan bahwa bila seseorang melakukan sai setelah tawaf lalu kembali lagi ke masjid, maka silakan dia mengerjakannya. Sekiranya dia meninggalkan salat Tahiyat Masjid, maka tidak mengapa. Namun yang paling utama ialah memaksimalkan kesempatan dengan mengerjakan salat dua rakaat lantaran besarnya keutamaan salat di tempat itu. Soal 57 Saya berhaji dan saya mengalami menstruasi, tetapi saya malu untuk memberitahukannya kepada seseorang. Saya tetap masuk Masjidilharam lalu mengerjakan salat, tawaf, dan sai. Apa yang harus saya lakukan, dengan catatan itu terjadi setelah nifas? Jawab: Bila seorang wanita sedang haid atau nifas ia tidak dibenarkan mengerjakan salat, baik di Makkah, di negaranya, maupun di tempat mana saja. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ tentang wanita: "Bukankah bila dia sedang haid, maka dia tidak mengerjakan salat maupun puasa?!" Kaum muslimin pun telah ijmak bahwa wanita yang sedang haid tidak dibenarkan untuk mengerjakan puasa maupun salat.

Bagi wanita tersebut yang telah melakukan hal ini, dia wajib bertobat kepada Allah dan memohon ampun atas apa yang dilakukannya.

Adapun tawaf yang dilakukannya saat sedang haid, maka itu tidak sah. Sedangkan sainya sah karena pendapat yang kuat bahwa boleh mengerjakan sai lebih awal sebelum tawaf dalam haji. Atas dasar ini, dia wajib mengulang tawaf karena tawaf ifadah merupakan salah satu rukun haji, dan tahalul yang kedua tidak terwujud kecuali dengannya.

Oleh karena itu, bila wanita tersebut telah bersuami, ia belum boleh digauli oleh suaminya sampai dia mengerjakan tawaf. Bila dia belum bersuami, maka belum boleh dinikahkan sampai dia mengerjakan tawaf. Wallāhu ta'ālā a'lam.

Soal 58 Bila seorang wanita mengalami haid di hari Arafah, apa yang harus dia lakukan? Jawab: Bila seorang wanita mengalami haid di hari Arafah, dia tetap melanjutkan manasik haji dengan ikut mengerjakan apa yang dilakukan oleh jemaah haji, tetapi dia tidak melakukan tawaf di Ka'bah sampai suci. Soal 59 Bila seorang wanita mengalami haid setelah melontar jamrah aqabah dan sebelum tawaf ifadah sedangkan dia dan suaminya terikat dengan sebuah rombongan, apa yang harus dia lakukan? Untuk diketahui dia tidak mungkin kembali lagi setelah pulang. Jawab: Jika tidak memungkinkan untuk kembali lagi, dia boleh memakai pengaman (pembalut) lalu melakukan tawaf disebabkan karena darurat. Dia tidak dikenakan dam apa pun, lalu menyelesaikan semua manasik haji yang tersisa. Soal 60 Bila seorang wanita yang nifas telah suci sebelum 40 hari, apakah hajinya sah? Jika dia belum melihat kesucian, apa yang harus dia lakukan karena dia telah berniat haji? Jawab: Bila wanita yang nifas telah suci sebelum 40 hari, dia mandi dan salat serta mengerjakan semua yang dikerjakan oleh wanita yang suci termasuk tawaf, sebab nifas tidak memiliki batasan minimal. Adapun kalau dia belum melihat kesucian, hajinya juga tetap sah, tetapi dia jangan tawaf di Ka'bah sebelum suci. Hal itu karena Nabi ﷺ melarang wanita yang haid untuk tawaf di Ka'bah, sedangkan nifas sama dengan haid dalam masalah ini.

 Indeks

60 TANYA JAWAB TENTANG HUKUM HAID DAN NIFAS. 2

Kata Pengantar. 4

BEBERAPA HUKUM HAID TERKAIT SALAT DAN PUASA. 6

BEBERAPA HUKUM BERSUCI DALAM SALAT. 29

BEBERAPA HUKUM HAID TERKAIT IBADAH HAJI DAN UMRAH.. 34

Indeks. 44




[1] Al-Khumrah: sajadah alas sujud orang salat; ia disebut khumrah (artinya: penutup) karena ia menutup muka.