POKOK-POKOK KEIMANAN (⮫)


التعليق على أصول الإيمان

 POKOK-POKOK KEIMANAN

    MUKADIMAH PENTAHKIK

Segala puji hanya milik Allah, Tuhan alam semesta. Semoga selawat serta salam tercurahkan kepada rasul yang paling mulia, beserta segenap keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Amabakdu:

Buku di hadapan pembaca ini berjudul: Pokok-pokok Keimanan karya Al-Imām Al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahab. Di dalamnya penulis mencukupkan bahasannya dengan menyebutkan hadis-hadis Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- yang berisikan pokok-pokok keimanan menurut Ahli Sunnah wal Jamaah.

Buku ini termasuk di antara deretan buku-buku penting yang menjelaskan manhaj Ahli Sunnah wal Jamaah dalam mencegah dan memperingatkan kesyirikan yang ironisnya mayoritas umat Islam malah terjerumus ke dalamnya. Di dalam lembaran-lembarannya terdapat banyak pembahasan untuk menjelaskan manhaj agung ini yang banyak dilalaikan -bahkan tidak diketahui- oleh banyak orang, bahkan juga oleh banyak dai yang berdakwah kepada Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- yang hanya menyibukkan diri dengan tema politik dan politikus serta celaan dan tuduhan! Mereka banyak meninggalkan perkara yang paling penting, yaitu kajian mengenal Allah dan menauhidkan-Nya yang selama tiga belas tahun di dakwahkan oleh Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- di Mekah, dan selama itu beliau tidak mendakwahkan perkara lainnya. Bahkan ketika sahabat-sahabat beliau dibunuh dan disiksa, beliau tidak memiliki kuasa apa pun kecuali hanya meminta mereka agar bersabar dengan mengatakan, "Bersabarlah kalian, wahai keluarga Yāsir! Sungguh tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah surga." ([1]) Beliau tidak memerintahkan mereka untuk balas dendam, dan tidak juga berjihad maupun berperang.

Oleh karena itu, wajib bagi para dai pada masa ini untuk memberikan perhatian besar dalam pengajaran tauhid kepada masyarakat umum, baik tauhid rubūbiyyah, ulūhiyyah, ataupun al-asmā` wa aṣ-ṣifāt sebagaimana yang dilakukan oleh Salafus-saleh; karena generasi akhir umat ini tidak akan baik kecuali dengan sesuatu yang telah menjadikan baik generasi awal mereka.

Metode saya dalam melakukan tahkik (penyuntingan) terhadap buku ini ialah menempuh langkah-langkah berikut:

1- Dalam melakukan tahkik ini, saya berpatokan pada cetakan yang telah dicocokkan dengan naskah manuskripnya oleh Syekh Ismā'īl Al-Anṣāriy dan Syekh Abdullah bin Abdullaṭīf Ālu Asy-Syaikh. Mereka berdua mengacu pada tiga naskah manuskrip. Semoga Allah memberi balasan kebaikan kepada mereka.

2- Sebelumnya saya telah melakukan takhrīj terhadap hadis-hadis yang ada dalam buku ini secara panjang lebar. Namun kemudian saya melihat, agar hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari atau Muslim cukup dengan penyebutan mereka berdua saja. Adapun jika hadis itu di luar Aṣ-Ṣaḥīḥain, maka saya melakukan takhrīj terhadapnya secara detail.

3- Jika hadis tersebut di luar Aṣ-Ṣaḥīḥain, saya menyebutkan derajatnya dari sisi; sahih, hasan, dan daif . Bila hadis tersebut di dalam Aṣ-Ṣaḥīḥain atau salah satunya, maka saya tidak menyebutkan derajatnya karena keberadaan sebuah hadis di salah satunya atau kedua-duanya merupakan keterangan hukum atas kesahihannya.

4- Saya memberikan judul untuk hadis-hadis yang disebutkan oleh penulis -raḥimahullāh- karena beliau tidak memberikan judul pada semua hadis tersebut, melainkan hanya menyebutkan sebagian bab saja, dan saya menempatkan judul tambahan tersebut di antara dua tanda kurung siku ([...]).

5- Saya menjelaskan hadis-hadis yang menurut saya butuh penjelasan secara ringkas dengan mengacu pada buku-buku karya para imam terdahulu serta ulama-ulama yang dikenal.

6- Saya memberikan nomor hadis dengan penomoran yang bersambung.

7- Saya menisbahkan ayat kepada setiap surahnya, dengan menyebutkan nama surah dan nomor ayat.

8- Saya menulis biografi ringkas Imam Muhammad bin Abdul Wahab beserta dakwah pembaruan beliau dan sebab pendiskreditan dakwah ini di tengah masyarakat umum.

Terakhir:

Inilah usaha sederhana saya, dengan berharap kepada Allah Yang Mahatinggi lagi Mahakuasa agar dijadikan ikhlas karena wajah-Nya yang mulia.

Saya mengharapkan semua saudara tercinta yang membaca buku ini untuk mendoakan kebaikan bagi orang yang telah mencetak dan menyuntingnya yang telah menjadi sebab penerbitannya dengan rupa yang baru ini.

Kami menutup doa dengan mengucapkan, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Semoga Allah melimpahkan selawat kepada junjungan kita, Muhammad, keluarga dan para sahabat beliau semuanya.


    BIOGRAFI RINGKAS PENULIS

 ·     Nama, Nasab, Kelahiran, dan Pertumbuhan Beliau

Nama beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rāsyid At-Tamīmiy.

Beliau lahir pada tahun 1115 H, bertepatan dengan tahun 1703 M di daerah 'Uyainah yang terletak di utara Kota Riyad. Beliau tumbuh dalam pengasuhan ayahnya di daerah tersebut.

Tanda-tanda kecerdasan telah tampak pada dirinya sejak masa kecil. Beliau telah mengkhatamkan hafalan Al-Qur`ān Al-Karīm sebelum berumur sepuluh tahun, dan telah mencapai usia balig sebelum genap dua belas tahun. Ayahandanya berkata, "Aku melihatnya telah pantas mengimami salat berjamaah dan aku menikahkannya di tahun itu."

 ·     Beliau Menuntut Ilmu

Beliau belajar pada ayahnya fikih hanbali, tafsir, dan hadis. Pada masa kecilnya beliau sangat menyukai buku-buku tafsir, hadis, dan akidah. Beliau sangat memperhatikan dan banyak menelaah buku-buku karya Syaikhul-Islām Ibnu Taimiyah serta muridnya, Al-'Allāmah Ibnul-Qayyim.

 ·     Rihlah Beliau Menimba Ilmu

Beliau melakukan rihlah ke Mekah dengan tujuan berhaji ke Baitullah. Kemudian beliau mengunjungi Masjid Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan di sana bertemu dengan ulama-ulama Madinah Nabawiah serta menimba ilmu dari mereka. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan menuju Basrah, lalu tinggal di sana selama beberapa waktu untuk menimba ilmu pada sejumlah ulama. Setelahnya beliau kembali ke Nejed dengan terlebih dahulu melewati daerah Ahsā` dan menimba ilmu di sana. Dalam perjalanan yang panjang ini, dengan ketajaman penglihatannya, Syekh melihat di Nejed dan kota-kota lainnya yang beliau kunjungi berbagai akidah menyimpang dan budaya yang rusak, sehingga beliau bertekad untuk menegakkan dakwah kepada tauhid serta membasmi khurafat dan kesyirikan. Ketika berkunjung ke Madinah, beliau mendengar istigasah-istgasah syirik kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- serta doa-doa yang dipersembahkan kepadanya, bukan kepada Allah.

Dahulu, wilayah Nejed adalah lahan subur bagi khurafat dan akidah-akidah rusak yang bertentangan dengan pokok-pokok agama yang sahih. Di sana terdapat sebagian kubur yang dinisbahkan kepada sebagian sahabat, orang-orang datang ke sana dan meminta hajat mereka kepadanya serta beristigasah dengannya untuk menghilangkan berbagai kesengsaraan mereka.

Bahkan ada yang lebih aneh dari itu, yaitu tawasul yang dilakukan di distrik Manfūḥah dengan menggunakan pejantan kurma dengan disertai keyakinan bahwa setiap perawan tua yang mendatanginya maka pasti menikah!! Dahulu, mereka mendatanginya dengan berkata, "Wahai pejantannya pejantan! Aku menginginkan seorang suami sebelum berakhirnya tahun ini!!"

Di Hijaz, beliau melihat pengultusan kuburan para sahabat dan Ahli Bait -riḍwānullāhi 'alaihim ajma'in- serta Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- yang tidak pantas diberikan kecuali kepada Allah.

Sebagaimana yang beliau lihat di Basrah -dan yang beliau dengar tentang Irak, Syam, Mesir, dan Yaman- berupa penyembahan berhala jahiliah yang tidak diterima oleh akal serta tidak dibenarkan oleh agama. Kemudian beliau menimbang pemikiran-pemikiran mungkar itu dengan neraca dua wahyu: Kitābullāh dan Sunnah Rasul -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, serta petunjuk sahabat-sahabat beliau yang bertakwa. Ternyata beliau mendapatkan semua itu jauh dari prinsip-prinsip agama dan melihat para pelakunya tidak mengerti apa tujuan Allah mengutus para rasul, dan mengapa Allah mengutus Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- kepada seluruh umat manusia. Beliau melihat mereka tidak mengetahui kondisi masyarakat jahiliah serta penyembahan berhala yang dimurkai yang ada pada mereka. Beliau melihat mereka mengubah dan menukar pokok-pokok agama dan furuknya, kecuali sedikit.

 ·     Awal Dakwah Pembaruan Beliau

Setelah terbukti secara jelas tentang buruknya kondisi agama dan dunia mereka, dan beliau yakin bahwa mereka telah memasukkan ke dalam pokok-pokok Islam sesuatu yang tidak diterima oleh Al-Qur`ān dan tidak dibenarkan oleh Sunnah, serta keyakinan beliau tentang kesalahan mereka dan kecenderungan mereka kepada bidah semakin dikuatkan oleh dalil yang datang dalam Sunnah yang menyatakan bahwa sebagian umat Islam pasti akan mengubah agamanya dan mengikuti jalan orang-orang sebelum mereka([2]) seperti dalam hadis yang sahih: "Sungguh kalian akan mengikuti (meniru) tradisi umat-umat sebelum kalian selangkah demi selangkah sampai kalaupun mereka masuk ke dalam lubang biawak niscaya kalian akan ikut masuk ke dalamnya ..."([3]) Juga hadis: "Islam datang dalam keadaan asing, lalu akan kembali asing sebagaimana bermula." ([4])([5])

Ketika itu, Syekh membulatkan tekadnya untuk mengumumkan pada kaumnya bahwa mereka telah tersesat dari jalan yang lurus dan menyimpang dari manhaj yang benar.

Maka Syekh -raḥimahullāh- segera memulai dakwahnya dengan menjelaskan kepada mereka bahwa tidak ada yang boleh dimintai kecuali Allah, serta tidak boleh menyembelih maupun bernazar kecuali kepada-Nya.

Di antara keyakinan mereka tentang kubur, bebatuan, dan pohon-pohon itu ialah beristigasah dan memberikan nazar kepadanya, serta meyakininya dapat memberikan kebaikan dan keburukan. Maka beliau menjelaskan bahwa itu semuanya adalah kesesatan dan perbuatan dosa, bahwa mereka berada dalam kondisi yang dimurkai Allah, sehingga mau tidak mau harus dibuang dan ditolak.

Beliau menopang ucapannya dengan ayat-ayat Al-Qur`ān, ucapan dan perbuatan Rasul -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- serta petunjuk sahabat-sahabat beliau -riḍwānullāh 'alaihim ajma’īn-.

 ·     Akidah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab -raḥmatullāh 'alaih- dan Beberapa Petikan dari Tulisan dan Akidah Beliau

Akidah Syekh persis seperti akidah Salafus-saleh, yaitu akidah Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- serta sahabat-sahabat beliau, para tabiin, dan imam-imam yang diberi petunjuk seperti Abu Ḥanīfah, Mālik, Asy-Syāfi'iy, Ahmad, Sufyān Aṡ-Ṡauriy, Sufyān bin 'Uyainah, Ibnul-Mubārak, Bukhari, Muslim, Abu Daud, serta semua penulis kitab As-Sunan dan orang-orang semisal mereka yang mengikuti mereka dari kalangan ahli fikih dan ahli hadis seperti Al-Asy'ariy, Ibnu Khuzaimah, Taqiyuddīn bin Taimiyah, Ibnul-Qayyim, Aż-Żahabiy, dan ulama-ulama lainnya. Semoga Allah -Ta'ālā- merahmati mereka semuanya.

 ·     Beberapa Nukilan dari Tulisan dan Akidah Beliau

Di antara tulisan tersebut adalah surat yang beliau tulis ke penduduk daerah Qasim;

Syekh berkata setelah menulis basmalah:

Aku menjadikan Allah sebagai saksi dan para malaikat yang menyaksikanku. Aku juga menjadikan kalian sebagai saksi bahwa aku meyakini apa yang diyakini oleh Ahli Sunnah wal Jamaah berupa iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian, serta iman kepada takdir yang baik dan yang buruk.

Termasuk iman kepada Allah adalah mengimani sifat-sifat yang dengannya Allah menyifati diri-Nya di dalam Kitab-Nya atau melalui lisan Rasul-Nya -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tanpa diselewengkan dan tanpa ditolak. Bahkan aku meyakini bahwa Allah itu "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat."([6]) Aku tidak menolak apa yang dengannya Allah menyifati diri-Nya dan tidak memalingkan firman-Nya dari makna hakikinya. Aku juga tidak menyelewengkan makna nama-nama dan ayat-ayat-Nya, aku tidak memberikannya kaifiat dan tidak menyamakan sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya; karena Allah -Ta'ālā- tidak ada yang semisal dengan-Nya, tidak ada yang mengetahui kaifiat-Nya, tidak ada tandingan-Nya, dan tidak dapat dikiaskan dengan makhluk-Nya. Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- lebih tahu tentang diri-Nya dan tentang selain diri-Nya, paling benar ucapan-Nya, dan paling bagus firman-Nya. Allah telah menyucikan diri-Nya dari penyifatan orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli takyīf (kaum yang menentukan kaifiat sifat-Nya) dan ahli tamṡīl (kaum yang menyamakan-Nya dengan makhluk) terhadap-Nya dan dari penafian yang dilakukan oleh para penolak sifat-Nya dari kalangan ahli taḥrīf (kaum yang menyelewengkan makna sifat-Nya) dan ahli ta'ṭīl (kaum yang menafikan sifat-Nya). Allah -Ta'ālā- berfirman, "Mahasuci Tuhanmu, Tuhan Yang Mahaperkasa dari sifat yang mereka katakan. Dan selamat sejahtera bagi para rasul. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam."([7])

Al-Firqah An-Nājiyah (kelompok yang selamat) bersikap pertengahan (moderat) dalam meyakini perbuatan-perbuatan Allah -Ta'ālā- antara kelompok Qadariyah dan Jabariyah, dan pertengahan dalam hal ancaman Allah antara kelompok Murjiah dan Wa'īdiyah.

Mereka juga bersikap pertengahan dalam pembahasan iman antara kelompok Khawarij dan Muktazilah dengan kelompok Murjiah dan Jahmiyah.

Serta mereka bersikap pertengahan dalam pembahasan tentang sahabat-sahabat Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- antara kelompok Rafidah dan Khawarij.

Aku meyakini bahwa Al-Qur`ān adalah kalam Allah yang diturunkan, bukan makhluk. Al-Qur`ān datang dari Allah dan kepada-Nya akan kembali. Bahwa Allah melafalkannya secara hakiki dan menurunkannya kepada hamba dan rasul-Nya, orang kepercayaan-Nya pada wahyu-Nya serta perantara antara Dia dengan hamba-Nya, yaitu nabi kita, Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-.

Aku beriman bahwa Allah Mahakuasa mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya. Tidak ada sesuatu pun kecuali dengan kehendak-Nya. Tidak ada satupun yang keluar dari kehendak-Nya. Tidak ada sesuatu pun di alam semesta ini yang keluar dari ketetapan-Nya. Tidak ada yang terjadi kecuali berdasarkan pengaturan-Nya. Tidak ada tempat bagi seseorang untuk lari dari takdir yang telah ditetapkan, dan dia tidak akan melampaui apa yang telah dituliskan untuknya dalam Lauḥ Al-Maḥfūẓ.

Aku meyakini semua yang diberitakan oleh Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tentang apa yang ada setelah kematian.

Aku beriman dengan fitnah kubur dan nikmatnya, serta pengembalian ruh ke badan, lantas manusia akan bangkit kepada Tuhan alam semesta dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, dan belum disunat, sementara matahari dekat kepada mereka. Timbangan amalan akan ditegakkan lalu dengannya amal perbuatan hamba akan ditimbang: "Siapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahanam."([8])

Kemudian catatan amal dibagi, sebagian akan mengambil catatan amalnya dengan tangan kanannya dan sebagian yang lain akan mengambil catatan amalnya dengan tangan kirinya.

Aku mengimani adanya telaga nabi kita, Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- di pelataran hari Kiamat. Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, dan bejana-bejananya sebanyak bintang di langit. Siapa yang minum darinya satu kali minum, maka dia tidak akan haus setelahnya, selamanya.

Aku beriman bahwa sirat dibentangkan di atas bibir Jahanam dan manusia akan lewat di atasnya sesuai kadar amal perbuatan mereka.

Aku mengimani adanya syafaat Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-; bahwa beliau adalah orang pertama yang memberi syafaat serta orang pertama yang diberikan izin memberi syafaat.

Tidaklah mengingkari syafaat Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- kecuali orang-orang bidah dan tersesat. Tetapi syafaat itu tidak akan terwujud kecuali setelah ada izin dan rida dari Allah. Sebagaimana firman Allah -Ta'ālā-, "Dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah."([9]) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya."([10]) Dia juga berfirman, "Dan betapa banyak malaikat di langit, syafaat (pertolongan) mereka sedikit pun tidak berguna kecuali apabila Allah mengizinkan (dan hanya) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia ridai."([11]) Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- tidak rida kecuali kepada tauhid, dan tidak akan memberikan izin kecuali bagi orang-orang yang bertauhid.

Adapun orang-orang musyrik, mereka tidak memiliki bagian sedikit pun dalam syafaat; sebagaimana Allah -Ta'ālā- berfirman, "Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat (pertolongan) dari orang-orang yang memberikan syafaat."([12])

Aku beriman bahwa surga dan neraka telah diciptakan, hari ini keduanya sudah ada, dan bahwa keduanya tidak akan fana.

Juga bahwa orang-orang beriman akan melihat Rabb mereka dengan indra mata mereka kelak pada hari Kiamat sebagaimana mereka melihat bulan di malam purnama, mereka tidak saling berdesakan dalam melihat-Nya.

Aku beriman bahwa nabi kita, Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- adalah penutup para nabi dan rasul. Tidak akan sah iman seorang hamba sampai dia mengimani kerasulan beliau dan bersaksi terhadap kebenaran kenabian beliau.

Umat beliau yang paling utama adalah Abu Bakar Aṣ-Ṣiddīq, kemudian Umar Al-Fārūq, kemudian Uṡmān Żun-Nūrain, kemudian Ali Al-Murtaḍā, setelahnya sisa sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, kemudian peserta Perang Badar, kemudian peserta Baiat Ar-Riḍwān, kemudian sahabat-sahabat lainnya -raḍiyallāhu 'anhum-.

Aku memberikan walā` (cinta dan loyalitas) kepada sahabat-sahabat Rasulullah. Aku menyebut kebaikan mereka serta memohonkan ampunan untuk mereka. Aku menahan diri dari keburukan yang terjadi pada sebagian mereka, tidak ikut membahas tentang perselisihan yang terjadi di antara mereka, dan aku meyakini keutamaan mereka sebagai implementasi dari firman Allah -Ta'ālā-, "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, 'Ya Tuhan kami! Ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami! Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.'"

Aku pun mengucapkan doa rida kepada para Ummahātul-Mu`minīn yang telah disucikan dari semua keburukan.

Aku membenarkan adanya keramat para wali, namun mereka tidak berhak mendapat sedikit pun dari hak Allah, seperti istigasah, nazar, permohonan pertolongan, istianah, dan penyembelihan hewan. Aku tidak memastikan seseorang masuk surga maupun neraka, kecuali yang telah diberikan kesaksian oleh Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Namun aku berharap surga bagi orang yang berbuat baik dan khawatir terhadap yang berbuat buruk akan mendapatkan neraka.

Aku tidak mengafirkan seorang pun dari umat Islam lantaran dosanya, dan aku tidak mengeluarkannya dari lingkaran islam.

Aku berpandangan jihad itu dilangsungkan bersama semua penguasa, yang saleh ataupun yang fasik, dan salat berjamaah di belakang mereka diperbolehkan.

Jihad tetap ada semenjak Allah mengutus Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- hingga generasi terakhir umat ini memerangi Dajal; jihad tidak gugur lantaran kezaliman seorang penguasa maupun keadilannya.

Aku berpandangan wajib mendengar dan taat kepada penguasa-penguasa kaum muslimin, yang saleh maupun yang fasik, selama mereka tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah.

Siapa yang diberikan tampuk kekuasaan dan disepakati oleh kaum muslimin serta mereka rida kepadanya, atau dia menaklukkan mereka dengan senjatanya sampai menjadi penguasa, maka dia wajib ditaati dan haram memberontak kepadanya.

Aku berpandangan disyariatkannya memboikot dan meninggalkan ahli bidah sampai mereka bertobat, dan aku menghukumi mereka sesuai yang tampak dari diri mereka dan menyerahkan urusan batin mereka kepada Allah.

Aku meyakini bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam agama adalah bidah.

Aku meyakini bahwa iman itu adalah ucapan lisan, perbuatan anggota badan, dan keyakinan hati; bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Iman itu terdiri dari tujuh puluh sekian cabang; yang paling tinggi adalah syahadat Lā ilāha illallāh dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.

Aku berpandangan wajib mengajak kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar sesuai dengan yang ditunjukkan oleh syariat Nabi Muhammad yang suci.

Inilah akidah ringkas yang aku tulis dalam keadaan hati sedang sibuk agar kalian mengetahui apa yang ada padaku.

Dan hanyalah Allah yang menjadi saksi atas apa yang kami ucapkan.

Saya katakan, "Inilah akidah Imam Muhammad bin Abdul Wahab -raḥimahullāh- dalam risalah ini. Saya nukilkan secara utuh karena merupakan akidah Ahli Sunnah wal Jamaah, tanpa pengurangan ataupun penambahan, dan di dalamnya terkandung banyak faedah besar."

Setiap muslim wajib meyakini akidah ini. Siapa yang tidak meyakini akidah yang benar ini, maka dia tidak termasuk dalam golongan Ahli Sunnah wal Jamaah. Bahkan, kita mengkhawatirkan kesesatan dan penyimpangan padanya.

 ·     Faktor yang Melatarbelakangi Permusuhan dan Perlawanan terhadap Dakwah Imam Muhammad bin Abdul Wahab

1- Barangkali faktor paling tampak yang mengantarkan pada pendiskreditan musuh terhadap Syekh Muhammad bin Abdul Wahab di tengah-tengah bersinarnya dakwah salafiyah -baik dari aspek tulisan ataupun realitas di dunia nyata- adalah kesesatan serta jauhnya musuh-musuh tersebut dan kebanyakan orang yang menisbahkan diri kepada Islam dari jalan yang lurus.

Bahkan kondisi kebanyakan umat Islam -menjelang kemunculan dakwah Syekh- telah sampai ke titik nadir dalam kesesatan dan kerusakan akidah. Yaitu kejahilan merata dan berkuasa. Mayoritas kaum muslimin menyembah Tuhan mereka tanpa dasar ilmu dan petunjuk, dan tanpa bimbingan kitab yang memberikan cahaya petunjuk. Bidah-bidah dan kesyirikan-kesyirikan dengan berbagai macamnya tumbuh subur. Perkara-perkara syirik dan bidah menjadi adat kebiasaan yang dibawa tua oleh orang dewasa dan dibawa dewasa oleh anak kecil; sehingga timbangan dan hakikat pun terbalik; kebenaran menjadi kebatilan, dan kebatilan menjadi kebenaran.

2- Ada lagi faktor lain yang melatarbelakangi perlawanan dan permusuhan terhadap dakwah salafiyah ini, yaitu tuduhan-tuduhan batil serta berbagai kedustaan dan kebohongan yang disematkan terhadap dakwah ini dan juga pembaharu dan para pembelanya. Sejak awal kemunculannya, dakwah ini telah mendapatkan perlawanan terpadu dan keji di semua negeri dan semua orang. Sebagian orang yang mengaku berilmu telah menyematkan kepada dakwah salafiyah ini sesuatu yang bukan darinya! Mereka menuduh bahwa dakwah ini adalah mazhab kelima! Bahwa mereka adalah Khawarij yang menghalalkan darah dan harta kaum muslimin! Bahwa penyerunya mengklaim sebagai nabi dan mengkritik Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-!

Dan berbagai kebohongan-kebohongan lainnya.

Sangat disayangkan, bahwa banyak orang awam menelan mentah-mentah kebohongan dan kedustaan ini dari para pembohong dan pencipta dusta itu tanpa sedikit pun meneliti dan menguji kesahihan berita yang disampaikan. Patokan mereka dalam hal itu hanyalah taklid buta semata!

Patut disebutkan di sini, bahwa sebagian musuh dakwah telah memanfaatkan perilaku ekstrem dan kasar segelintir orang-orang Arab yang memiliki semangat berapi-api -dan di sebagian waktu tertentu- dari kalangan pengikut dakwah ini. Mereka kemudian menghukumi secara tidak adil semua pengikut dakwah ini di sepanjang masa dengan tuduhan yang zalim ini, yaitu mereka juga dituduh bertindak ekstrem dan kasar.

3- Faktor ketiga yang melatarbelakangi permusuhan terhadap dakwah salafiyah adalah faktor politik dan peperangan yang terjadi di antara pengikut dakwah ini dengan bangsa Turki dari satu sisi dan di antara para pengikut dakwah ini dengan para asyrāf (penguasa Hijaz) dari sisi yang lain.

Syekh Muhammad Rasyīd Riḍā -raḥimahullāh- berkata, "Faktor dituduhnya kalangan Wahabi dengan tuduhan bidah dan kafir adalah murni faktor politik yang sengaja dihembuskan untuk menjauhkan kaum muslimin dari mereka; lantaran mereka telah menguasai wilayah Hijaz serta kekhawatiran bangsa Turki bila mereka mendirikan negara Arab. Oleh karena itu, orang-orang menyerang mereka mengikuti kebencian negara lalu mendiamkan mereka bila angin politik sedang tenang."

Syekh Muhammad Rasyīd Riḍā juga menjelaskan dampak permusuhan politik di antara sebagian tokoh Kota Mekah dan pemuka mereka dengan pengikut dakwah ini. Di antara yang beliau sebutkan, bahwa mereka telah menerbitkan sejumlah tulisan di Surat Kabar Al-Qiblah pada tahun 1336 H dan tahun 1337 H yang berisikan tuduhan kafir terhadap kaum Wahabi serta menuduh mereka telah mengafirkan Ahli Sunnah, mencela Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, dan berbagai kedustaan dan kebohongan lainnya.

Kemudian sebagian penduduk Damaskus dan Beirut -dari kalangan sekuler dan nasionalis- mendekatkan diri kepada tokoh-tokoh tersebut dengan mencetak tulisan-tulisan yang berisi pengafiran mereka dan menuduh mereka dengan kebohongan-kebohongan. Kemudian hal itu merembet ke Mesir dan memunculkan pengaruh di sebagian surat kabar.

4- Faktor keempat yang melatarbelakangi ramainya tulisan-tulisan yang menyerang dakwah salafiyah adalah pembelaan musuh-musuh dakwah -khususnya kelompok Sufi dan Rafidah- terhadap akidah mereka yang rusak serta pendapat-pendapat mereka yang batil. Yaitu manakala kondisi kebanyakan kaum muslimin dikuasai oleh dominasi kesyirikan, bidah yang merajalela, tersebarnya khurafat serta sikap guluw (pengultusan berlebihan) terhadap orang mati dan istigasah kepada mereka, permegahan makam dan pembangunan tempat-tempat ziarah di kuburan serta penghiasannya dengan menggelontorkan harta yang banyak untuk hal itu, ketika itu dakwah Syekh -raḥimahullāh- bangkit melawan itu semuanya.

Dengan realitas seperti ini, kelompok Sufi dan Rafidah menemukan lahan yang subur untuk menebar racun akidah mereka. Ketika cahaya dakwah ini muncul menyingkap gulita gelap dan menyingkirkan kotoran syirik serta mengajak manusia untuk merealisasikan tauhid dengan kejernihannya, musuh-musuh dakwah menyadari bahwa munculnya dakwah salafiyah adalah alarm kuat akan lenyapnya akidah batil mereka, sehingga musuh-musuh dakwah segera menyatukan kekuatan mereka dan bangkit untuk mendiskreditkan dakwah ini berikut para pengikutnya, sembari menyampaikan akidah Sufi atau akidah Rafidah mereka, serta menghiasnya di hadapan manusia dan mengklaimnya sebagai kebenaran.

Kita dapatkan kaum Sufi ini, ketika membantah dakwah salafiyah, mereka membanggakan akidah Sufi mereka serta membanggakan afiliasi mereka kepada tarekat-tarekat Sufi dan membela tasawuf dan ajaran-ajarannya.

Begitu juga kelompok Rafidah, ketika membantah dakwah salafiyah, mereka membela semua yang dikenal tentang mereka berupa kedustaan dan pemutarbalikan fakta tentang akidah mereka.

Hal itu kita jelaskan dengan kelakuan mereka ketika para ulama di Kota Madinah Nabawiah, tepatnya pada tahun 1344 H, menulis fatwa seputar haramnya membuat bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai masjid, serta mereka menjawab dengan kebenaran yang ditopang oleh dalil. Ketika fatwa ini muncul dan petunjuknya diamalkan serta kubah-kubah dan bangunan-bangunan di atas kubur dihilangkan, maka ulama-ulama Rafidah bangkit dan ribut serta menulis di koran-koran dan selebaran-selebaran dalam rangka menyerang fatwa ini dan memberikan bela sungkawa kepada kaum muslimin atas hilangnya kubah-kubah dan situs-situs yang dikunjungi tersebut.

Inilah sebagian faktor yang tampak terhadap tingginya tensi permusuhan musuh dakwah terhadap dakwah salafiyah -pada masa Syekh Muhammad bin Abdul Wahab- serta banyaknya tulisan-tulisan yang memusuhi dakwah yang benar ini.

 ·     Penamaan Dakwah Salafiyah Sebagai Dakwah Wahabi

Adapun tentang kata "Wahabi", kebanyakan musuh dakwah menyematkan gelar ini kepada pengikut dakwah salafiyah dengan tujuan menggiring opini masyarakat bahwa dakwah Wahabi adalah mazhab baru atau terpisah dari semua mazhab-mazhab dalam Islam. Oleh karena itu, pada dasarnya kita menjauhi gelar ini dan tidak menyebutnya.

Namun, Allah mewujudkan pada mereka -yaitu musuh-musuh dakwah- kebalikan dari tujuan mereka, yaitu mereka menyematkan gelar Wahabi dengan tujuan untuk mencela mereka (dakwah salafiyah), bahwa mereka adalah kelompok bidah dan tidak mencintai Rasul -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, sebagaimana yang mereka klaim! Tetapi sekarang, gelar ini -alḥamdulillāh- menjadi gelar bagi semua yang mengajak kepada Al-Qur`ān dan Sunnah, ajakan memegang dalil, dan ajakan kepada amar makruf nahi mungkar, melawan bidah dan khurafat, serta berpegang teguh dengan manhaj Salafus-saleh -raḍiyallāhu 'anhum-.

 ·     Kebohongan-kebohongan yang Disematkan kepada Dakwah Syekh dan Bantahannya

Banyak sekali kebohongan yang disematkan kepada dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab -raḥmatullāh ‘alaih- dan dipercayai oleh banyak orang sehingga dakwah yang penuh berkah ini tercoreng. Sehingga gelar Wahabi dalam pandangan orang-orang jahil memiliki konotasi kebencian kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, atau Wahabi dalam asumsi mereka adalah mazhab kelima, yang mengingkari adanya keramat para wali, serta gemar mengafirkan kaum muslimin, menghalalkan darah mereka, dan berbagai tuduhan dusta lainnya ...

Saya akan sebutkan di sini beberapa di antaranya disertai bantahannya.

Kebohongan pertama:

Tuduhan bahwa Syekh merendahkan Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, membenci beliau, atau tidak suka berselawat kepada beliau!

Saya katakan, buku-buku karya ulama hebat ini yang beredar di tengah-tengah kita membuktikan bahwa tuduhan ini sangat jauh dari beliau, bahkan beliau adalah orang yang paling menjunjung dan mencintai Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- pada masanya.

Syekh berkata di salah satu tulisannya yang beliau kirim kepada Abdurrahman As-Suwaidiy -salah seorang ulama Irak- untuk membantah tuduhan ini,

"Sungguh sangat aneh! Bagaimana tuduhan ini masuk di logika orang yang berakal? Apakah ucapan seperti ini diucapkan oleh seorang muslim atau kafir, orang yang berakal atau gila?"

Di antara yang ditulis oleh putra Syekh, Abdullah, ketika menyebutkan tuduhan-tuduhan ini kemudian mengomentarinya:

"Siapa yang menyaksikan realitas kami, menghadiri majelis-majelis kami, dan mengklarifikasikannya dengan kami, akan mengetahui dengan pasti bahwa semua itu sengaja dibuat dan dituduhkan kepada kami oleh musuh-musuh agama dan saudara-saudara setan untuk menghalau manusia dari mendengarkan ajakan memurnikan tauhid kepada Allah -Ta'ālā- dalam ibadah dan meninggalkan semua bentuk kesyirikan."

Kemudian beliau berkata, "Yang kami yakini, bahwa kedudukan Nabi kita, Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- paling tinggi di antara kedudukan makhluk secara mutlak. Bahwa beliau hidup dalam kuburnya dengan kehidupan barzakh yang lebih tinggi dari kehidupan syuhada yang disebutkan dalam Al-Qur`ān, karena beliau lebih utama dari mereka, tanpa ada keraguan. Bahwa beliau mendengar salam orang yang mengucapkan salam kepadanya.

Disunahkan untuk menziarahi kuburnya, namun tidak disunahkan melakukan perjalanan jauh kecuali untuk mengunjungi Masjid (Nabawi) dan salat di sana. Kemudian, bila bersama itu dia meniatkan berziarah ke kubur beliau, maka tidak mengapa. Dan siapa yang menggunakan waktunya dengan menyibukkan diri dengan berselawat kepada beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dengan selawat yang beliau ajarkan, maka dia telah meraih kebahagiaan dunia dan akhirat."

Saya katakan, inilah akidah Syekh dan para pengikutnya tentang junjungan kita dan junjungan semua manusia, Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Semua yang mengatakan selain itu, maka dia pendusta dan pembohong.

Kebohongan kedua:

Tuduhan mengingkari adanya keramat para wali.

Di antara tuduhan yang disematkan kepada Syekh Muhammad bin Abdul Wahab -raḥimahullāh- bahwa beliau mengingkari adanya keramat para wali.

Saya katakan, Syekh -raḥimahullāh- tidak mengingkari adanya keramat para wali, sebagaimana yang mereka tuduhkan. Sebaliknya, beliau menetapkan keramat-keramat tersebut dengan syarat dia seorang wali yang benar dan hakiki -yaitu orang yang mengikuti Al-Qur`ān dan Sunnah- serta jauh dari bidah dan khurafat. Syarat kedua, bahwa keramat para wali berlaku di masa hidup mereka, bukan setelah mereka mati. Adapun orang yang telah mati, setelah kematiannya, dia butuh kepada doa orang yang hidup, bukan kebalikannya.

Akidah tentang wali seperti ini adalah akidah Ahli Sunnah wal Jamaah, dan Syekh tidak menyelisihi mereka dalam hal itu.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahab berkata di salah satu bukunya dalam rangka menetapkan keramat wali, "Aku menetapkan adanya keramat wali dan adanya firasat mereka. Hanya saja mereka tidak memiliki hak sedikit pun di antara hak Allah -Ta'ālā- dan tidak boleh meminta kepada mereka sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah."

Beliau juga berkata, "Kewajiban bagi kita adalah mencintai mereka, mengikuti mereka, dan menetapkan keramat mereka. Tidaklah mengingkari keramat para wali kecuali ahli bidah dan orang-orang sesat. Agama Allah -Subḥānahū wa Ta'ālā- pertengahan antara dua sisi, petunjuk antara dua kesesatan, serta kebenaran antara dua kebatilan."

Akidah ini juga ditegaskan dan ditetapkan oleh para pengikut dakwah ini sepeninggal Syekh Muhammad bin Abdul Wahab.

Salah seorang pengikut Syekh -raḥimahullāh- berkata, "Demikian juga, di antara hak wali-wali Allah ialah agar mereka dicintai dan dimohonkan rida serta membenarkan adanya keramat mereka, bukan berdoa kepada mereka agar memberikan orang yang berdoa berupa kebaikan yang tidak mampu diberikan kecuali oleh Allah -Ta'ālā- atau untuk mengangkat dari mereka sebuah keburukan yang tidak mampu ditolak kecuali oleh Allah -'Azza wa Jalla-. Karena yang demikian itu adalah ibadah yang murni untuk Allah Yang Mahamulia dan Mahasuci. Hal ini bilamana kewalian itu telah terbukti atau diharapkan pada orang tertentu, seperti tampak padanya sikap mengikuti Sunnah dan mengamalkan ketakwaan di semua keadaannya. Jika tidak demikian, maka wali menurut terminologi masa ini ialah orang yang memanjangkan tasbihnya, melebarkan lengan gamisnya, menjulurkan sarungnya, mengulurkan tangannya untuk dicium serta memakai pakaian model tertentu, mengumpulkan rebana dan bendera, memakan harta hamba-hamba Allah secara zalim dan pengklaiman, disertai kebencian terhadap Sunnah Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan hukum-hukum agama yang dibawanya!"

Putra Syaikh Muhammad -yang bernama Abdullah- berkata, "Kami tidak mengingkari keramat para wali. Kami membenarkan mereka secara benar, bahwa mereka di atas petunjuk dari Rabb mereka selama mereka berjalan di atas jalan yang disyariatkan dan aturan Islam yang diterapkan. Hanya saja, mereka tidak memiliki hak sedikit pun di antara macam-macam ibadah, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah mereka mati. Melainkan diperbolehkan meminta doa kepada salah seorang mereka di masa hidupnya, bahkan juga kepada semua muslim."

Ini adalah beberapa nas dari ucapan Syekh dan pengikutnya yang menetapkan bahwa Syekh membenarkan adanya keramat para wali dan tidak mengingkarinya. Namun beliau -raḥimahullāh- mengingkari perbuatan istigasah dan meminta hajat kepada mereka serta tindakan mempersembahkan ibadah kepada mereka di samping Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-.

Inilah akidah Ahli Sunnah wal Jamaah, dan Syekh tidak menyelisihi mereka dalam hal ini.

Kebohongan ketiga:

Di antara syubhat paling berat yang didengungkan terhadap dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab -raḥimahullāh- adalah syubhat pengafiran kaum muslimin, penghalalan darah mereka, dan pelegalan pembunuhan mereka!

Tuduhan dusta ini telah sampai kepada Imam Muhammad bin Abdul Wahab -raḥimahullāh- sehingga beliau memiliki sejumlah sanggahan dan jawaban atasnya; karena tuduhan bahwa beliau mengafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka telah tersiar luas di sebagian besar negeri kaum muslimin dan tersebar cepat seperti sebaran api di tanah yang kering kerontang. Sehingga Syekh -raḥimahullāh- berjuang keras untuk menegaskan bantahan ini dan mengumumkan keberlepasan beliau dari tuduhan yang disematkan kepadanya tersebut. Beliau mengirim bantahan-bantahan tersebut ke berbagai negeri:

Di salah satu suratnya beliau berkata, "Adapun yang disebutkan oleh musuh-musuh dakwah bahwa aku mengafirkan (seseorang) atas dasar prasangka dan loyalitas, atau aku mengafirkan orang jahil yang tidak tegak padanya hujah, ini adalah kebohongan besar yang mereka tujukan untuk menjauhkan manusia dari agama Allah dan Rasul-Nya."

Di surat yang lain beliau berkata dalam rangka membantah sebagian para pendusta, "Demikian juga tuduhan yang dilontarkannya di tengah-tengah orang awam bahwa Ibnu Abdul Wahab mengatakan: orang yang tidak masuk di bawah ketaatan kepadaku adalah kafir.

Kami katakan, 'Mahasuci Engkau, ya Allah, Ini adalah kebohongan yang besar!' Kami jadikan Allah sebagai saksi atas apa yang diketahui-Nya dari hati kami, bahwa siapa yang mengamalkan tauhid dan berlepas diri dari kesyirikan serta pelaku kesyirikan, maka dia adalah seorang muslim, di masa kapan pun dan di tempat mana pun. Kami hanya mengafirkan orang yang berbuat syirik kepada Allah dalam ulūhiyyah-Nya setelah nyata baginya hujah atas kebatilan syirik tersebut."

Salah seorang murid Syekh -raḥmatullāh ‘alaih- berkata, "Syekh Muhammad -raḥimahullāh- adalah orang yang paling berhati-hati dan menahan diri dari melontarkan tuduhan kafir secara mutlak. Bahkan beliau tidak berani memastikan kafirnya orang jahil yang berdoa kepada selain Allah berupa penghuni kubur dan lainnya bila tidak ada orang yang menasihatinya dan menyampaikan kepadanya hujah yang pelakunya dihukumi kafir."

Dia juga berkata di tempat yang lain tentang akidah Syekh dalam masalah pengafiran,

"... sungguh tidak boleh menghukumi kafir kecuali pada apa yang disepakati pengafiran pelakunya oleh kaum muslimin; misalnya syirik besar dan mengingkari ayat-ayat Allah dan rasul-rasul-Nya, atau sebagiannya, setelah hujah tegak dan sampai secara benar. Seperti pengafiran orang yang menyembah orang-orang saleh serta berdoa kepada mereka di samping berdoa kepada Allah dan menjadikan mereka sebagai sekutu bagi Allah pada ibadah-ibadah dan perkara ketuhanan yang merupakan hak Allah atas makhluk-Nya."

Dia juga berkata, "Semua orang berakal yang mengetahui perjalanan hidup Syekh Muhammad bin Abdul Wahab -raḥimahullāh- mengetahui bahwa beliau adalah orang yang paling menjunjung ilmu dan orang berilmu, dan yang paling keras melarang dari mengafirkan mereka, merendahkan dan menyakiti mereka. Bahkan beliau adalah orang yang memiliki prinsip beragama berupa menjunjung orang-orang berilmu, memuliakan mereka, membela mereka serta mengajak untuk mengikuti jalan mereka.

Syekh -raḥimahullāh- tidak mengafirkan kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta disepakati oleh kaum muslimin tentang pengafirannya; seperti orang yang menciptakan sesembahan dan sekutu bagi Allah Rabbul-'Ālamīn."

Inilah sebagian nukilan dari Syekh dan para pengikutnya dalam masalah pengafiran kaum muslimin.

Terlihat dengan jelas dari nukilan-nukilan yang gamblang ini tentang terbebasnya Syekh dan juga para pengikut dan pembela dakwahnya dari tuduhan-tuduhan serta kebohongan musuh-musuh dakwah dalam masalah pengafiran.

Siapa saja yang menelaah kitab-kitab mereka serta membaca tulisan-tulisan mereka akan melihat dengan jelas kebenaran akidah mereka serta kelurusan pemahaman mereka dalam masalah pengafiran; bahwa keyakinan mereka dalam masalah itu adalah seutuhnya keyakinan Salafus-saleh.

 ·     Kematian Syekh -Raḥimahullāh-

Setelah kehidupan yang penuh dengan ilmu, jihad, dan dakwah kepada Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-, akhirnya Syekh -raḥimahullāh- wafat di distrik Dir'iyyah pada tahun 1206 H.

Kita memohon kepada Allah agar beliau dirahmati dan diridai serta mengumpulkan kita bersama beliau di kamar-kamar surga dengan rahmat Tuhan kita yang Mahaagung lagi Maha Pemurah.([13])

    BAB MENGENAL ALLAH -'AZZA WA JALLA- DAN BERIMAN KEPADA-NYA

 ·     Membantah Kesyirikan

1- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, Allah berfirman, "Aku adalah Zat yang paling tidak butuh kepada sekutu. Siapa yang mengerjakan amalan yang di dalamnya dia menyekutukan-Ku dengan yang lain, maka Aku tinggalkan dia bersama perbuatan syiriknya itu."([14])

(HR. Muslim).

1- HR. Muslim, Kitāb Az-Zuhd (4/2289 no. 2985).

Syirik kepada Allah terbagi menjadi dua:

Sirik besar, dan ini adalah dosa yang paling besar karena Allah -Ta'ālā- telah mengabarkan bahwa ia tidak akan diampuni kecuali dengan bertobat. Di antara syirik ini ialah berdoa kepada selain Allah, melakukan istigasah kepada selain Allah, menyembelih untuk selain Allah, dan bernazar kepada selain Allah.

Jenis syirik yang kedua adalah syirik kecil. Di antaranya: sifat ria, bersumpah dengan selain Allah, dan ucapan seseorang "kehendak Allah dan kehendakmu", "aku tidak memiliki penolong kecuali Allah dan kecuali engkau", serta "aku berserah diri kepada Allah dan kepadamu".

Syekh -raḥimahullāh- berkata dalam kitab Al-Qawā'id Al-Arba',

"Saudaraku, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya. Ketahuilah bahwa agama Islam yang lurus yang merupakan agama Nabi Ibrāhīm -'alaihissalām- adalah engkau beribadah kepada Allah semata dengan memurnikan agama hanya kepada-Nya; sebagaimana Allah -Ta'ālā- berfirman, 'Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.' ([15]) (QS. Aż-Żāriyāt: 56). Bila engkau telah mengetahui bahwa Allah menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, ketahuilah bahwa sebuah ibadah tidak akan sah disebut sebagai ibadah kecuali bersama tauhid sebagaimana salat tidak sah disebut sebagai salat kecuali bersama taharah. Bila kesyirikan masuk dalam sebuah ibadah, maka ibadah tersebut menjadi rusak sebagaimana bila hadas masuk pada taharah. Bila engkau telah mengetahui bahwa bila kesyirikan bercampur dalam ibadah maka ia akan merusak ibadah tersebut serta membatalkannya dan pelakunya kekal dalam neraka, maka engkau dapat mengetahui bahwa perkara terpenting yang wajib atasmu ialah mengetahui yang demikian itu. Semoga Allah menyelamatkanmu dari perangkap ini, yaitu kesyirikan kepada Allah, yang diterangkan oleh Allah -Ta'ālā- dalam firman-Nya, 'Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.' ([16]) (QS. An-Nisā`: 116).

Yaitu dengan mempelajari empat kaidah yang Allah -Ta'ālā- sebutkan dalam Kitab-Nya,

Kaidah pertama:

Hendaklah engkau mengetahui bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengakui bahwa Allah -Ta'ālā- adalah pencipta dan pengatur (alam semesta), namun hal itu tidak serta merta memasukkan mereka ke dalam Islam.

Dalilnya adalah firman Allah -Ta'ālā-, "Katakanlah (Muhammad), 'Siapakah yang memberi rezeki kepada kamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka mereka akan menjawab, 'Allah.' Maka katakanlah, 'Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?'”([17]) (QS. Yūnus: 31).

Kaidah kedua:

Bahwa orang-orang kafir itu mengatakan, "Kami tidak berdoa kepada mereka dan tidak mendekatkan diri kepada mereka kecuali untuk mencari kedekatan (kepada Allah) dan syafaat (dari mereka)."

Dalil mereka mencari kedekatan (kepada Allah) ialah firman Allah -Ta'ālā-, "Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), 'Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.' Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar."([18]) (QS. Az-Zumar: 3).

Dalil mereka mencari syafaat ialah firman Allah -Ta'ālā-, "Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata, 'Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah.'”([19]) (QS. Yūnus: 18).

Syafaat terbagi menjadi dua: syafaat yang dinafikan dan syafaat yang ditetapkan.

Syafaat yang dinafikan adalah syafaat yang diminta kepada selain Allah pada perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah.

Dalilnya adalah firman Allah -Ta'ālā-, "Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang kafir itulah orang yang zalim."([20]) (QS. Al-Baqarah: 254).

Sedangkan syafaat yang ditetapkan ialah syafaat yang diminta kepada Allah. Pemberi syafaat dimuliakan dengan syafaat tersebut, sementara orang yang diberikan syafaat ialah orang yang Allah ridai ucapan dan perbuatannya setelah ada izin dari-Nya; sebagaimana Allah -Ta'ālā- berfirman, "Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya."([21]) (QS. Al-Baqarah: 255).

Kaidah ketiga:

Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- muncul pada lingkungan orang-orang yang berbeda-beda dalam peribadatan mereka. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, sebagiannya menyembah para nabi dan orang-orang saleh, sebagian yang lain menyembah pepohonan dan bebatuan, sementara yang lainnya menyembah matahari dan bulan, dan Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- memerangi mereka semuanya tanpa membeda-bedakan mereka.

Dalilnya adalah firman Allah -Ta'ālā-, "Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah dan agama hanya bagi Allah semata."([22]) (QS. Al-Anfāl: 39).

Dalil mereka menyembah matahari dan bulan ialah firman Allah -Ta'ālā-, "Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah kalian bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu hanya menyembah kepada-Nya."([23]) (QS. Fuṣṣilat: 37).

Dalil mereka menyembah malaikat ialah firman Allah -Ta'ālā-, "Dan tidak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai tuhan."([24]) (QS. Āli 'Imrān: 80).

Dalil mereka menyembah para nabi ialah firman Allah -Ta'ālā-, "Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, 'Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, 'Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?' (Isa) menjawab, 'Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.'"([25]) (QS. Al-Mā`idah: 116).

Dalil mereka menyembah orang-orang saleh ialah firman Allah -Ta'ālā-, "Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah); mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya."([26]) (QS. Al-Isrā`: 57).

Dalil mereka menyembah pepohonan dan bebatuan ialah firman Allah -Ta'ālā-, "Maka apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap (berhala) al-Lāta dan al-'Uzzā, dan Manāh, yang ketiga dan paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?!"([27]) (QS. An-Najm : 19-20). Juga hadis Abu Wāqid Al-Laiṡiy -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menuju Hunain, sedangkan kami baru saja meninggalkan kekafiran (masuk Islam). Orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon bidara yang mereka kelilingi dan dijadikan sebagai tempat mereka menggantungkan senjata-senjata perang mereka. Pohon tersebut dikenal dengan żātu anwāṭ. Lantas kami melewati pohon bidara tersebut, lalu kami berkata, 'Wahai Rasulullah! Buatkanlah untuk kami żātu anwāṭ sebagaimana mereka memiliki żātu anwāṭ ...([28]) '”([29])

Kaidah keempat:

Kesyirikan orang-orang musyrik di zaman kita lebih berat daripada kesyirikan orang-orang terdahulu; karena orang-orang terdahulu melakukan kesyirikan ketika kondisi lapang dan mereka bertauhid ketika kondisi susah, sedangkan pelaku kesyirikan di zaman kita kesyirikannya terus-menerus ketika lapang dan ketika susah.

Dalilnya adalah firman Allah -Ta'ālā-, "Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh rasa pengabdian (ikhlas) kepada-Nya (agar diselamatkan), tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, malah mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)."([30]) (QS. Al-'Ankabūt: 65).

 ·     Allah Tidak Tidur

2- Abu Mūsā -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- berpidato kepada kami menyampaikan lima kalimat, beliau bersabda,

"Sesungguhnya Allah -Ta'ālā- tidak tidur, dan tidak pantas bagi-Nya untuk tidur, Allah merendahkan al-qisṭ (timbangan) dan mengangkatnya, kepada-Nya amalan malam dinaikkan sebelum amalan siang dan amalan siang sebelum amalan malam. Tirai-Nya adalah cahaya, sekiranya Allah membukanya niscaya sinar wajah-Nya akan membakar seluruh makhluk sejauh penglihatan-Nya."([31])

(HR. Muslim).

2- HR. Muslim, Kitāb Al-Īmān (1/161 no. 179).

Al-Bagawiy berkata,

Sabda Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Allah merendahkan al-qisṭ (timbangan) dan mengangkatnya"([32]); dikatakan bahwa yang beliau maksudkan dengan "al-qisṭ" ialah timbangan; sebagaimana Allah -Ta'ālā- berfirman, "Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat ..."([33]) (QS. Al-Anbiyā`: 47). Maksudnya, yang memiliki "al-qisṭ", yaitu keadilan. Timbangan disebut dengan "al-qisṭ" karena dengannya keadilan pembagian dapat terwujud. Maksud beliau bahwa Allah merendahkan timbangan dan mengangkatnya dengan apa yang ditimbang berupa amalan hamba yang dinaikkan kepada-Nya serta apa yang ditimbang berupa rezeki mereka yang turun dari-Nya ...

Sebagian yang lain berpendapat bahwa yang beliau maksudkan dengan "al-qisṭ" ialah rezeki yang merupakan qisṭ (bagian) setiap makhluk, yaitu Allah sesekali merendahkannya dengan menyempitkannya dan pada kali yang lain mengangkatnya dengan melapangkannya. Maksudnya, bahwa Allah yang menentukan dan membagi rezeki; sebagaimana Dia berfirman, "Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki)."([34]) (QS. Ar-Ra'd: 26).

Sabda beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-: (سبحات وجهه), yaitu cahaya wajah-Nya.

Al-Khaṭṭābiy berkata, "Maksud hadis ini bahwa makhluk tidak mengetahui hakikat keagungan-Nya kecuali seukuran yang mampu dipikul oleh hati mereka serta kekuatan mereka. Sekiranya Allah memperlihatkan kepada mereka hakikat keagungan-Nya niscaya hati mereka akan copot dan ruh mereka akan melayang. Sekiranya cahaya-Nya menerangi bumi dan gunung-gunung niscaya semua itu akan terbakar dan meleleh, sebagaimana Allah berfirman dalam kisah Nabi Mūsā -'alaihissalām-, "Maka ketika Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan."([35]) (QS. Al-A'rāf: 143).

 ·     Menetapkan Allah Memiliki Tangan Kanan

3- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan secara marfū':

"Tangan kanan Allah penuh([36]), tidak akan dikurangi([37]) oleh suatu nafkah, senantiasa memberi sepanjang siang dan malam. Terangkanlah kepadaku, apa yang telah Allah infakkan semenjak menciptakan langit dan bumi? Sungguh tidak berkurang apa yang ada di tangan kanan-Nya. Sementara timbangan di tangan-Nya yang lain, Dia mengangkat dan merendahkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya)."

(HR. Bukhari dan Muslim).

3- HR. Bukhari, Kitāb At-Tafsīr (8/352 no. 4684), di dalamnya terdapat lafal tambahan, dan Kitāb At-Tauḥīd (13/393 no. 7411); dan Muslim, Kitāb Az-Zakāh (2/690 no. 993).

Semua ulama yang meriwayatkan hadis ini membawakannya dengan huruf "yā`", kecuali dalam Ṣaḥīḥ Bukhari di Kitāb At-Tafsīr. Namun di syarahnya dibawakan dengan "yā`". Adapun dalam pembahasan Kitāb At-Tauḥīd di dua tempat, maka dibawakan dengan "yā`".

لَا يَغِيْضُهَا (lā yagīḍuhā): tidak menguranginya. Diambil dari kalimat "gāḍal-mā`u"; artinya: air lenyap dari bumi.

سَحَّاء (saḥḥā`): as-saḥḥ ialah tuangan yang terus-menerus, maksudnya terus-menerus memberi.

Hadis ini -di samping menetapkan sifat tangan kanan bagi Allah- menunjukkan kekayaan yang melimpah, keluasan yang sempurna, serta puncak kedermawanan dan kelapangan dalam memberi.

 ·     Ilmu Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-

4- Abu Żarr -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- pernah melihat dua ekor kambing saling menanduk. Beliau bersabda, "Tahukah engkau lantaran apa mereka saling menanduk, wahai Abu Żarr?" Aku menjawab, "Saya tidak tahu." Beliau bersabda, "Tetapi Allah mengetahuinya dan kelak Allah akan memutuskan perkara antara keduanya."([38]) (HR. Ahmad).

4- Imam Ahmad meriwayatkannya -dalam Al-Musnad (5/162)-: Muhammad bin Ja'far menceritakan kepada kami; dia berkata, Syu'bah menceritakan kepada kami; dari Sulaimān, dan Munżir Aṡ-Ṡauriy; dari guru-guru mereka; dari Abu Żarr.

Beliau juga meriwayatkannya dari Ibnu Mu'āwiyah; dia berkata, Al-A'masy menceritakan kepada kami; dari Munżir bin Ya'lā; dari guru-guru mereka; dari Abu Żarr. Tetapi di dalam sanadnya terdapat rawi yang majhūl.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad (5/173) dan Al-Bazzār sebagaimana dalam Kasyful-Astār (4/162 no. 3450 & 3451) dari jalur Ḥammād bin Salamah; dia berkata, Laiṡ bin Abu Sulaim telah mengabarkan kepada kami; dari Abdurrahman; dari Ṡarwān; dari Al-Hużail bin Syuraḥbīl; dari Abu Żarr, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sedang duduk sementara dua ekor kambing saling pepet, lalu salah satunya menanduk yang lain dan membantingnya. Abu Żarr berkata, "Maka Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tertawa." Ada yang bertanya, "Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Aku takjub melihatnya. Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya! Sungguh akan diberikan hak kisas baginya kelak pada hari Kiamat."([39])

Di dalam sanadnya terdapat Laiṡ bin Abu Sulaim, dan dia dihukumi daif.

Namun hadis ini memiliki beberapa syāhid (hadis penguat). Silakan dilihat dalam Majma' Az-Zawā`id (10/352). Di antaranya ialah yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/235) dari jalur Ibnu Abi 'Adiy, dari Syu'bah, dari Al-'Alā`, dari ayahnya. Juga diriwayatkan oleh Ahmad (2/235, 301) dari jalur Muhammad bin Ja'far, dari Syu'bah, dari Al-'Alā`, dari ayahnya,

dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda, "Sungguh, hak-hak itu akan ditunaikan kepada pemiliknya pada hari Kiamat, sampai-sampai seekor kambing tanpa tanduk pun diberi hak membalas kepada kambing bertanduk yang menanduknya."([40])

Al-Haiṡamiy (10/352) berkata, "Diriwayatkan oleh Ahmad dan perawi-perawinya adalah perawi Aṣ-Ṣaḥīḥ."

 ·     Menetapkan Sifat Pendengaran dan Penglihatan bagi Allah

5- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- membaca ayat ini: "Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya..."([41]) Sampai firman Allah, "Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat."([42]) [QS. An-Nisā`: 58] Beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sambil meletakkan kedua ibu jarinya di telinganya dan kedua telunjuknya di matanya.

(HR. Abu Daud, Ibnu Ḥibbān, dan Ibnu Abi Ḥātim).

5- HR. Abu Daud, Kitab As-Sunnah (4/233 no. 4728); Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauḥīd (1/97 no. 46); Ibnu Ḥibbān (1/498 no. 265); Al-Baihaqiy dalam Al-Asmā` waṣ-Ṣifāt (hal. 179); dan Al-Ḥākim (1/24); seluruhnya dari jalur Abdullah bin Yazīd Al-Muqri`, dia berkata, Ḥarmalah bin 'Imrān telah bercerita kepada kami, dari Abu Yunus maulā Abu Hurairah -bernama Sulaim bin Jubair-, dari Abu Hurairah.

Al-Ḥākim berkata, "Sahih", dan disepakati oleh Aż-Żahabiy.

Perihal beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- meletakkan jarinya di kedua telinga dan kedua matanya ketika membaca "سَمِيعًا بَصِيرًا" (Maha Mendengar, Maha Melihat), bermaksud menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- menurut yang pantas dengan kemuliaan Allah dan keagungan-Nya. Allah memiliki pendengaran dan penglihatan, namun tidak sama dengan pendengaran ataupun penglihatan kita. Allah -Ta'ālā- berfirman, "Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya. Dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat."([43]) (QS. Asy-Syūrā: 11).

Ibnu Abil-'Izz berkata dalam Syarḥ Al-'Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwiyyah (1/57), "Ahli Sunnah bersepakat bahwa tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan Allah, baik di dalam zat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Akan tetapi kata tasybīh (menyerupai) dalam percakapan manusia telah menjadi lafal mujmal yang diperuntukkan untuk makna yang benar, yaitu sesuatu yang yang dinafikan oleh Al-Qur`ān serta ditunjukkan oleh akal bahwa sifat-sifat yang khusus bagi Allah -Ta'ālā- tidak boleh disematkan pada makhluk; karena tidak ada sesuatu pun di antara makhluk yang semisal dengan-Nya dalam sebagian sifat-Nya.

Lafal 'Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya'([44]) adalah bantahan terhadap kelompok Musyabbihah (kaum yang menyerupakan sifat Allah dengan makhluk) ... 'Dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat'([45]) (Asy-Syūrā: 11) adalah bantahan terhadap kelompok Mu'aṭṭilah (kaum yang menafikan sifat-sifat Allah). Siapa saja yang menjadikan sifat Allah semisal dengan sifat makhluk, maka dia adalah Musyabbihah yang tersesat dan tercela. Dan siapa yang menjadikan sifat makhluk semisal dengan sifat Allah, maka dia semisal dengan orang-orang Nasrani dalam hal kekufuran mereka."

Al-'Allāmah Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bāz -raḥimahullāh- berkata,

"Termasuk iman kepada Allah ialah mengimani nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang luhur sebagaimana yang disebutkan di dalam Kitab-Nya yang agung serta yang sahih dari Rasul-Nya yang terpercaya tanpa diselewengkan maupun ditolak, dan tanpa diberikan kaifiat maupun penyerupaan. Namun wajib dipahami sebagaimana datangnya tanpa diberikan kaifiat, disertai dengan mengimani makna-makna agung yang ditunjukkannya yang merupakan sifat-sifat bagi Allah -'Azza wa Jalla-. Allah wajib disifati dengan sifat-sifat tersebut menurut yang pantas dengan-Nya tanpa menyerupakannya dengan makhluk-Nya di sebagian sifat-sifat-Nya; sebagaimana Allah -Ta'ālā- berfirman, 'Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya. Dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.'([46]) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, 'Maka janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah. Sungguh, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.'"([47])

Inilah akidah Ahli Sunnah wal Jamaah dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Akidah inilah yang dinukilkan oleh Imam Abul-Hasan Al-Asy'ariy -raḥimahullāh- dalam kitabnya, Al-Maqālāt dari Ahli Hadis dan Ahli Sunnah, sebagaimana juga dinukilkan oleh ulama-ulama lainnya."

Al-Auzā'iy -raḥimahullāh- berkata, "Az-Zuhriy dan Mak-ḥūl pernah ditanya tentang ayat-ayat sifat, maka keduanya menjawab, 'Pahamilah sebagaimana adanya ia datang.'"

Al-Walīd bin Muslim -raḥimahullāh- berkata, "Mālik, Al-Auzā'iy, Al-Laiṡ bin Sa'ad, dan Sufyān Aṡ-Ṡauriy -raḥimahumullāh- pernah ditanya tentang hadis-hadis yang mengandung tentang sifat-sifat Allah. Mereka semuanya menjawab, 'Pahamilah sebagaimana adanya ia datang tanpa diberikan kaifiat.'"

Al-Auzā'iy -raḥimahullāh- berkata, "Dahulu ketika para tabiin masih banyak kami mengatakan, 'Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- di atas Arasy-Nya.' Kami mengimani sifat-sifat yang datang dalam Sunah."

Ketika Rabī'ah bin Abu Abdirrahman, guru Imam Malik -raḥmatullāh ‘alaihimā- ditanya tentang sifat istiwā` (meningginya Allah di atas Arasy), dia menjawab, "Istiwā` itu bukan hal majhūl (yang tak diketahui), sedangkan kaifiatnya tidak diketahui. Agama ini berasal dari Allah dan Rasul yang berkewajiban menyampaikannya, sedangkan kita hanya berkewajiban mengimaninya."

Manakala Imam Mālik -raḥimahullāh- ditanya tentang hal itu, beliau menjawab, "Istiwā` (meningginya Allah di atas Arasy) itu maknanya diketahui namun kaifiatnya tidak diketahui. Mengimaninya adalah wajib sedangkan menanyakan kaifiatnya adalah bidah." Kemudian beliau berkata kepada penanya itu, "Aku tidak melihatmu melainkan seorang yang buruk!" Lantas beliau memerintahkannya supaya dikeluarkan. Maka orang itu pun dikeluarkan.

Yang semakna dengan ini juga telah diriwayatkan dari Ummul-Mu`minīn Ummu Salamah -raḍiyallāhu 'anhā-.

Imam Abu Abdirrahman Abdullah bin Al-Mubārak -raḥmatullāh ‘alaih- berkata, "Kita mengetahui Rabb kita -Subḥānahu wa Ta'ālā- berada di atas langit, di atas Arasy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya."

Ucapan para imam dalam masalah ini sangat banyak sekali, tidak memungkinkan bila dibawakan di tempat ini. Bagi yang ingin melihat lebih banyak lagi ucapan-ucapan itu silakan merujuk ke buku-buku tulisan ulama Sunnah tentang masalah ini. Misalnya kitab As-Sunnah karya Abdullah putra Imam Ahmad, At-Tauḥīd karya Imam Muhammad bin Khuzaimah, As-Sunnah karya Abul-Qāsim Al-Lālakā`iy Aṭ-Ṭabariy, dan As-Sunnah karya Abu Bakar bin Abi 'Āṣim. Termasuk di antaranya, jawaban Syaikhul-Islām Ibnu Taimiyah (tentang akidah) kepada penduduk Ḥamāh (Kota Hamat), yang merupakan sebuah jawaban agung yang memiliki banyak faedah. Di dalamnya Syekh -raḥimahullāh- menjelaskan akidah Ahli Sunnah dengan membawakan banyak ucapan mereka serta dalil-dalil syariat (wahyu) dan 'aqliyyah (logika) yang menunjukkan kebenaran mazhab Ahli Sunnah serta batilnya mazhab lawan-lawan mereka. Begitu juga risalah beliau yang diberi judul At-Tadmuriyyah. Di dalamnya beliau membuat penjelasan yang luas serta menerangkan akidah Ahli Sunnah dengan dalil-dalilnya; naqliyyah (wahyu) dan 'aqliyyah (logika), serta bantahan terhadap kelompok-kelompok yang menyelisihinya dengan bantahan yang mampu menerangkan kebenaran dan membungkam kebatilan bagi semua orang berilmu yang mau menelaahnya dengan niat yang benar dan keinginan mengetahui yang hak. Semua orang yang menyelisihi Ahli Sunnah dalam keyakinan mereka tentang Al-Asmā` waṣ-Ṣifāt, mau tidak mau akan terjatuh ke dalam penyelisihan terhadap dalil-dalil naqliyyah dan 'aqliyyah disertai kontradiksi yang nyata pada semua yang ditetapkannya maupun yang dinafikannya.

Adapun Ahli Sunnah wal Jamaah, mereka menetapkan bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- apa yang Allah tetapkan bagi diri-Nya di dalam Kitab-Nya yang mulia atau yang ditetapkan bagi-Nya oleh Rasul-Nya, Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- di dalam Sunnah beliau yang sahih dengan penetapan yang tidak mengandung penyerupaan dengan makhluk. Mereka pun menyucikan Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- dari menyerupai makhluk-Nya dengan penafian yang jauh dari penolakan. Sehingga mereka berhasil selamat dari kontradiksi, serta mereka berhasil mengimplementasikan semua dalil tentangnya.

Ini adalah sunatullah bagi orang-orang yang berpegang teguh pada kebenaran yang dengannya Allah mengutus rasul-rasul-Nya serta dia mengerahkan usaha untuk itu dan meniatkan pencarian kebenaran itu murni untuk Allah, yaitu Allah akan membimbingnya kepada kebenaran serta memperlihatkan hujah-Nya; sebagaimana Dia berfirman, "Sebenarnya Kami melemparkan yang hak (kebenaran) kepada yang batil (tidak benar) lalu yang hak itu menghancurkannya, maka seketika itu (yang batil) lenyap."([48]) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh (syubhat), melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik."([49])

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Kaṡīr -raḥimahullāh- di dalam tafsirnya yang masyhur ketika membahas firman Allah -'Azza wa Jalla- "Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy ...", beliau membawakan sebuah penjelasan yang bagus dalam masalah ini, sangat bagus untuk disebutkan di sini bila melihat faedah yang besar; beliau -raḥimahullāh- berkata, "Umat Islam dalam pembahasan ini memiliki banyak sekali pendapat. Namun bukan di sini tempat memaparkannya. Dalam pembahasan ini kita harus mengikuti mazhab Salafus-saleh; Mālik, Al-Auzā'iy, Aṡ-Ṡauriy, Al-Laiṡ bin Sa'ad, Asy-Syāfi'iy, Ahmad, Isḥāq bin Rāhawaih, dan imam-imam kaum muslimin lainnya, baik yang dahulu maupun sekarang. Yaitu kita memahaminya sebagaimana adanya ia datang, tanpa diberikan kaifiat, tanpa diserupakan, dan tanpa ditolak. Makna lahir yang segera tergambarkan di pikiran kelompok Musyabbihah harus dinafikan dari Allah, karena tidak ada sesuatu pun di antara makhluk Allah yang menyerupai Allah, sementara Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Perkaranya adalah seperti yang diterangkan oleh para imam semisal Nu'aim bin Ḥammād Al-Khuzā'iy, guru Bukhari, dia berkata, 'Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya maka dia telah kafir. Juga siapa yang menolak sifat yang dengannya Allah menyifati diri-Nya maka dia telah kafir. Tidak ada pada sifat yang dengannya Allah menyifati diri-Nya atau oleh Rasul-Nya yang mengandung penyerupaan.' Sehingga siapa yang menetapkan bagi Allah -Ta'ālā- apa yang dibawakan oleh ayat-ayat yang jelas serta hadis-hadis yang sahih menurut yang pantas dengan kemuliaan Allah, sembari menafikan sifat-sifat kekurangan dari Allah -Ta'ālā-, maka dia telah menempuh jalan petunjuk."

 ·     Lima Kunci Gaib yang Tidak Diketahui Kecuali Oleh Allah

6- Ibnu Umar -raḍiyallāhu 'anhumā- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Kunci-kunci gaib itu ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Yaitu, tidak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi besok kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui apa yang disembunyikan oleh rahim kecuali Allah, tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan hujan akan datang kecuali Allah, tidak ada seorang jiwa pun yang mengetahui di bumi mana dia akan meninggal kecuali Allah, dan tidak ada yang mengetahui kapan kiamat terjadi kecuali Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi."([50])

(HR. Bukhari dan Muslim).

6- HR. Bukhari, Kitāb Al-Istisqā` (2/524 no. 1039), Kitāb At-Tafsīr (8/375 no. 4697), dan Kitāb At-Tauḥīd (13/362 no. 7379). Aku belum menemukan hadis ini dari riwayat Ibnu Umar dalam Ṣaḥīḥ Muslim. Melainkan yang semisal dengannya telah diriwayatkan oleh Muslim (1/39 no. 9) dari Abu Hurairah.

Penjelasan Hadis:

Hadis yang mulia ini merupakan bantahan bagi para dukun dan penyihir yang mengklaim mengetahui gaib.

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar -raḥimahullāh- menukilkan dalam Fatḥul-Bārī (8/514), Syekh Abu Muhammad bin Abu Ḥamzah berkata,

"Diungkapkan dengan kata "kunci" bertujuan memahamkan perkara ini pada pendengar secara mudah. Karena semua sesuatu yang dibuatkan pembatas antara engkau dengannya, berarti ia disembunyikan darimu. Untuk bisa mengetahuinya, biasanya melalui pintu. Bila pintu tersebut terkunci, maka kunci dibutuhkan. Maka, bila sesuatu yang perkara gaib tidak akan diketahui kecuali dengan perantaranya tidak diketahui tempatnya, maka bagaimana mungkin perkara yang disembunyikan (gaib) akan diketahui?!" Dinukil secara ringkas.

Ibnu Kaṡīr -raḥimahullāh- berkata dalam tafsir surah Luqmān (3/455),

"Qatādah berkata (menafsirkannya), 'Yaitu perkara-perkara yang Allah sembunyikan, yang tidak Dia perlihatkan kepada seorang malaikat yang didekatkan maupun kepada seorang nabi yang diutus.

Sehingga tidak seorang pun manusia yang mengetahui kapan kiamat akan terjadi; pada tahun berapa, atau di bulan apa, di malam atau siang yang mana. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan hujan akan turun; apakah malam ataukah siang. Tidak seorang pun mengetahui apa yang ada dalam rahim; laki-laki ataukah perempuan, putih ataukah hitam. Wahai anak Adam! Engkau tidak mengetahui kapan akan meninggal; barangkali engkau meninggal besok, atau barangkali engkau tertimpa musibah besok.'"

Saya katakan, adapun orang yang mengatakan telah ada alat yang dapat mengungkap jenis janin dalam perut ibunya; laki-laki atau wanita, maka hal ini tidak masuk dalam ilmu gaib karena untuk mengetahuinya dilakukan dengan perantara alat. Bila ada yang mengatakan, aku dapat mengetahui janin yang ada dalam perut seorang ibu, lalu dia membelah perut ibu tersebut sehingga dia mengetahui janin yang ada di dalamnya, apakah kita bisa mengatakan bahwa dia mengetahui ilmu gaib? Tentu tidak! Kemudian, peralatan ini tidak akurat seratus persen, bahkan sering kali salah. Betapa banyak wanita yang hamil, dikatakan, janin yang ada dalam perutmu ini laki-laki, tapi ternyata perempuan!!

 ·     Penetapan Sifat Gembira bagi Allah

7- Anas bin Mālik -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Sungguh Allah lebih gembira dengan tobat hamba-Nya ketika ia bertobat kepada-Nya daripada kegembiraan salah seorang kalian yang mengendarai tunggangannya di padang luas kemudian tunggangannya itu lepas meninggalkannya, padahal bekal makan dan minumnya ada di atasnya. Dia pun putus asa untuk mendapatkannya, lalu dia datang ke sebuah pohon dan berbaring di bawah bayangnya. Dia benar-benar putus asa untuk mendapatkan kembali tunggangannya. Ketika ia dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba ia mendapatkan tunggangannya berdiri di sisinya. Dia pun mengambil tali kekangnya, kemudian berujar karena kegirangan, 'Ya Allah! Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu.' Dia keliru karena teramat gembira."([51])

(HR. Bukhari dan Muslim).

7- HR. Bukhari, Kitāb Ad-Da'awāt (11/102 no. 6309) dan Muslim (4/2105 no. 2747).

Hadis ini menetapkan sifat gembira bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- disertai keyakinan bahwa Dia disucikan dari sifat-sifat makhluk.

Tobat menurut pengertian syariat ialah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesal karena telah mengerjakannya, lalu bertekad untuk tidak mengulanginya, serta mengembalikan kezaliman bila masih ada atau meminta pembebasan dari pemiliknya, dan ini adalah bentuk permintaan maaf yang paling tinggi.

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (11/108):

'Iyāḍ berkata mengomentarinya,

"Perkataan seperti ini yang diucapkan oleh seseorang dalam keadaan kaget dan lupa, dia tidak akan dihukum dengannya. Begitu juga mengulang ceritanya dalam rangka keilmuan dan untuk faedah agama, bukan untuk bermain-main, meniru-niru, dan usil."

 ·     Penetapan Sifat Tangan bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-

8- Abu Mūsā -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Sesungguhnya Allah -Ta'ālā- membentangkan tangan-Nya pada waktu malam agar orang yang berbuat dosa di waktu siang bertobat, dan Allah membentangkan tangan-Nya di waktu siang agar orang yang berbuat dosa di waktu malam bertobat, hingga matahari terbit dari arah terbenamnya."

(HR. Muslim).

8- HR. Muslim, Kitāb At-Taubah (4/2113 no. 2759).

Hadis ini menetapkan sifat tangan bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-. Tangan Allah ini tidak sama seperti tangan kita, melainkan tangan yang sesuai dengan keagungan Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- tanpa diserupakan, tanpa disamakan, dan tanpa ditolak.

Hadis ini juga menetapkan bahwa penerimaan tobat tidak dibatasi pada waktu tertentu kecuali pada batas yang ditetapkan oleh Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, yaitu sebelum sekarat dan sebelum matahari terbit dari arah tempat terbenamnya.

 ·     Penetapan Sifat Rahmat bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-

9- Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Umar -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, "Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- pernah dibawakan beberapa tawanan dari Hawāzin. Ternyata ada seorang wanita dalam tawanan itu berkeliling. Ketika dia menemukan anak kecil dalam rombongan tawanan tersebut, dia mengambil dan mendekapnya di perutnya lalu menyusuinya. Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, 'Menurut kalian, apakah wanita ini tega melemparkan anaknya ke dalam api?' Kami menjawab, 'Tidak akan, demi Allah!' Beliau bersabda, 'Sungguh, Allah itu lebih sayang (bersifat rahmat) kepada hamba-Nya melebihi sayangnya perempuan ini kepada anaknya.'"([52])

9- HR. Bukhari, Kitāb Al-Adab (10/426 no. 5999) dan Muslim, Kitāb At-Taubah (4/2109 no. 2754).

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (11/430),

"Dari konteks hadis ini diketahui, bahwa wanita itu telah kehilangan anaknya dan dia merasa terganggu dengan penumpukan air susu di payudaranya. Bila menemukan seorang anak maka dia menyusuinya untuk meringankan air susunya. Ketika dia menemukan anak yang dicarinya, dia mengambilnya dan mendekapnya ..."

Di dalam hadis ini terkandung isyarat bahwa seseorang sepatutnya menggantungkan diri di semua urusannya kepada Allah saja. Bahwa semua orang yang diasumsikan memiliki kasih sayang tertentu sehingga ia dijadikan sebagai tempat menaruh harapan, maka Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- lebih banyak memiliki kasih sayang (rahmat) darinya. Oleh karena itu, hendaknya orang yang berakal meminta kebutuhannya pada Zat yang lebih berkasih sayang kepadanya.

 ·     Keluasan Rahmat Allah -'Azza wa Jalla-

10- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Ketika Allah menciptakan semua makhluk, Allah menulis di dalam sebuah kitab yang ada di sisi-Nya di atas Arasy: 'Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.'"([53])

(HR. Bukhari).

10- HR. Bukhari, Kitāb Bad`ul-Khalq (6/289 no. 3194), Kitāb At-Tauḥīd (13/404 no. 7422 - 13/440 no. 7453) dan Muslim, Kitāb At-Taubah (4/2107 no. 2751).

Abu Sulaimān Al-Khaṭṭābiy berkata,

"Maksud beliau dengan kata "kitab" adalah salah satu dari dua hal. Pertama, yaitu ketetapan yang telah Allah tetapkan dan telah Allah putuskan; sebagaimana firman Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-: "Allah telah menetapkan, 'Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.'"([54]) (QS. Al-Mujādilah: 21). Maksudnya, Allah telah menetapkan. Sehingga makna sabda beliau, "... yang ada di sisi-Nya di atas Arasy" yaitu ilmu tentang itu ada di sisi Allah di atas Arasy; Allah tidak akan melupakannya, tidak menasakhnya, dan tidak menggantinya; sebagaimana firman Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-: "Dia (Musa) menjawab, 'Pengetahuan tentang itu ada pada Tuhanku, di dalam sebuah kitab, Tuhanku tidak akan salah ataupun lupa.'"([55]) (QS. Ṭāha: 52). Atau "kitab" yang dimaksudkan adalah Lauḥ Al-Maḥfūẓ, tempat catatan makhluk dan penjelasan urusan mereka serta pencatatan ajal mereka, rezeki mereka, dan takdir-takdir yang berlaku pada mereka serta akhir kesudahan urusan mereka."

Saya katakan,

Hadis ini juga menetapkan adanya Arasy, bahwa Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- berada di atas Arasy, di atas langit. Juga menetapkan adanya sifat rahmat dan murka bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-.

 ·     Allah Menjadikan Rahmat ke Dalam Seratus Bagian

11- Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Allah telah menjadikan rahmat itu seratus bagian. Sembilan puluh sembilan Allah tahan di sisi-Nya, sedangkan satu bagian Allah turunkan ke bumi. Dari satu bagian itulah semua makhluk saling menyayangi hingga seekor binatang mengangkat kakinya karena khawatir akan menginjak anaknya."([56])

11- HR. Bukhari, Kitāb Al-Adab (10/431 no. 6000) dan Muslim, Kitāb At-Taubah (4/2108 no. 2752).

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (10/431),

"Al-Qurṭubiy berkata, 'Hadis ini menunjukkan bahwa Allah memberitahukan bahwa jumlah nikmat yang akan diberikan kepada hamba-Nya adalah seratus macam, lalu Allah memberikan mereka di dunia ini satu macam saja yang dengannya seluruh maslahat dan keperluan mereka terpenuhi. Kemudian kelak pada hari Kiamat, Allah akan menyempurnakan sisanya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman hingga genap seratus. Seluruhnya hanya bagi orang beriman. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah -Ta'ālā-, 'Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.'([57]) (QS. Al-Aḥzāb: 43). Kata "raḥīm" (Maha Penyayang) ialah bentuk mubālagah (hiperbola) yang paling tinggi, tidak ada lagi di atasnya. Dapat dipahami dari hal ini bahwa orang-orang kafir tidak mendapatkan sisa bagian dari rahmat, baik dari jenis rahmat di dunia maupun yang lainnya bila telah sempurna semua rahmat yang ada dalam ilmu Allah bagi orang-orang mukmin. Inilah yang diisyaratkan dengan firman Allah -Ta'ālā-, "Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertakwa."([58]) (QS. Al-A'rāf: 156).

12- Muslim juga meriwayatkan yang semakna dengannya dari jalur Salmān, di dalamnya disebutkan,

"Setiap satu rahmat sepenuh apa yang ada antara langit dan bumi."([59]) Juga disebutkan, "Bila hari Kiamat tiba, maka Allah akan menyempurnakan rahmat-Nya dengan seratus rahmat ini."([60])

12- HR. Muslim (4/2109 no. 2753).

 ·     Penyegeraan Ganjaran Kebaikan bagi Orang Kafir di Dunia

13- Anas -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Sesungguhnya apabila orang kafir melakukan satu kebaikan, maka dia langsung diberi balasan sebagian rezeki di dunia. Sedangkan orang mukmin, Allah akan menyimpankan baginya balasan kebaikan-kebaikannya di akhirat serta dia diberi rezeki di dunia karena ketaatannya."([61])

(HR. Muslim).

13- HR. Muslim, Kitāb Ṣifāt Al-Munāfiqīn (4/2162 no. 2808) dari jalur Sulaimān At-Taimiy, dari Qatādah, dari Anas.

An-Nawawiy berkata dalam Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (17150),

"Para ulama telah berijmak bahwa orang kafir yang mati di atas kekafiran tidak akan mendapat balasan pahala di akhirat, bahkan dia tidak akan diberikan pahala di akhirat atas sebagian amalan yang dia kerjakan di dunia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah -Ta'ālā-.

Ditegaskan dalam hadis ini bahwa orang kafir akan diberi makan di dunia sebagai balasan kebaikan yang dia kerjakan, yaitu kebaikan yang dia kerjakan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah -Ta'ālā, khususnya yang tidak membutuhkan niat seperti silaturahmi, jujur, memerdekakan sahaya, menjamu tamu, memudahkan kebaikan, dan semisalnya. Adapun orang beriman, maka kebaikannya dan pahala amalnya akan disimpankan untuknya di akhirat, dan bersama itu dia akan diberikan balasannya juga di dunia. Dan tidak menutup kemungkinan balasannya juga diberikan kepadanya di dunia dan akhirat, karena telah ditunjukkan oleh dalil sehingga wajib diyakini.

Adapun bila seorang kafir mengerjakan kebaikan-kebaikan yang seperti ini kemudian dia masuk Islam, maka dia akan diberikan balasannya di akhirat, menurut mazhab yang sahih."

 ·     Penetapan Sifat Rida bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-

14- Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfū',

"Sesungguhnya Allah meridai seorang hamba yang ketika menyantap makanan dia memuji Allah atas makanan itu, atau ketika minum dia memuji Allah atas minuman itu."([62])

14- HR. Muslim dalam Kitāb Aż-Żikr wad-Du'ā` (4/2095 no. 2734)

Di dalam hadis ini Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menetapkan bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- sifat rida. Ahli Sunnah wal Jamaah menetapkan sifat ini bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- tanpa diberikan kaifiat dan tanpa disamakan dengan makhluk; sesuai dengan rambu-rambu firman Allah -Ta'ālā-, "Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya. Dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat."([63]) (QS. Asy-Syūrā: 11). Maka kita menetapkan sifat bahagia yang sesuai dengan kemuliaan wajah Allah -'Azza wa Jalla- serta keagungan kekuasaan-Nya.

(Silakan lihat Majmū' Al-Fatāwā (5/26) karya Imam Ibnu Taimiyah).

 ·     Keagungan Allah -Subhānahu wa Ta'ālā-

15- Abu Żarr -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Langit berbunyi karena menahan beban, dan wajar saja langit berbunyi. (Sebab) tidak tersisa satu tempat pun di langit seukuran empat jari melainkan ada satu malaikat meletakkan keningnya bersujud kepada Allah -Ta'ālā-. Demi Allah! Seandainya kalian tahu apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis serta kalian tidak akan bersenang-senang dengan wanita di atas ranjang. Tetapi kalian pasti akan keluar ke jalan-jalan memohon pertolongan kepada Allah -Ta'ālā- dengan sepenuh hati."([64])

(HR. Tirmizi dan dia berkata, "Hadis hasan").

Sabda beliau, "Seandainya kalian tahu apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis"([65]) terdapat dalam Aṣ-Ṣaḥīḥain([66]) dari riwayat Anas.

15- HR. Tirmizi, Kitāb Az-Zuhd (4/481 no. 2312); Ibnu Majah, Kitāb Az-Zuhd (2/1402 no. 4190); Ahmad (5/173); Aṭ-Ṭaḥāwiy dalam Musykil Al-Āṡār (2/44); Abu Asy-Syaikh Al-Aṣbaḥāniy dalam Al-'Aẓamah (4/982 no. 507); Al-Ḥākim dalam Al-Mustadrak (2/510); Abu Nu'aim dalam Dalā`il An-Nubuwwah (hal. 379); dan Al-Baihaqiy dalam Syu'ab Al-Īmān (1/484 no. 783 & 784); semuanya dari jalur Isrā`īl, dari Ibrāhīm bin Muhājir, dari Mujāhid, dari Muwarriq, dari Abu Żarr.

Di sebagian mereka terdapat tambahan.

Tirmiżī berkata, "Hasan garīb."

Al-Ḥākim berkata, "Sanadnya sahih."

Al-Būṣīriy menyatakan, Saya katakan, "Di dalam sanadnya terdapat Ibrāhīm bin Muhājir, ṣadūq layyinul-ḥifẓ."

Hadis ini memiliki mutābi' (penguat dari jalur lain), yaitu diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Al-Ḥilyah (6/269) dari jalur Zā`idah bin Abu Ar-Riqād, dia berkata, Ziyād An-Numairiy telah bercerita kepada kami, dari Anas; lalu ia menyebutkannya secara ringkas.

Zā`idah ini hadisnya munkar, sedangkan Ziyād An-Numairiy seorang rawi yang daif.

أَطَّتِ السَّمَاءُ: al-aṭīṭ ialah suara pelana. Dikatakan "Aṭīṭ al-ibil" artinya: suara rintihan unta. Maknanya: langit berbunyi karena banyaknya malaikat yang ada padanya yang sangat membebaninya hingga ia pun berbunyi.

لَخَرَجْتُمْ: niscaya kalian keluar dari rumah-rumah kalian.

الصُّعُدَاتُ: jalan-jalan. Ada yang mengatakan, maknanya adalah teras depan pintu rumah dan tempat lalu lalang orang yang ada di depannya. Yang lain lagi mengatakan, yang dimaksud dengan aṣ-ṣu'udāt adalah tanah lapang dan padang luas.

تَجْأَرُوْنَ إِلَى اللَّهِ: meminta pertolongan kepada Allah supaya Dia mengangkat ujian dari kalian.

لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ (seandainya kalian tahu apa yang aku ketahui): yaitu berupa azab Allah bagi para pelaku maksiat serta beratnya hisab pada hari Kiamat ... لَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا (niscaya kalian banyak menangis): yaitu karena takut kepada Allah dengan memenangkan rasa takut atas harap dan karena takut dari kesudahan yang buruk.

 ·     Haramnya Bersumpah Mendahului Allah

16- Muslim meriwayatkan dari Jundub -raḍiyallāhu 'anhu- secara marfū',

"Ada seorang laki-laki berkata, 'Demi Allah! Allah tidak akan mengampuni si polan.' Maka Allah -'Azza wa Jalla- berfirman, 'Siapa yang bersumpah kepada-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni si polan? Sungguh Aku telah mengampuninya dan Aku telah menghapuskan amalmu.'"([67])

16- HR. Muslim Kitāb Al-Birr wa Aṣ-Ṣilah wal-Ādāb (4/2023 no. 2621).

يَتَأَلَّى: bersumpah. Al-Aliyyah artinya sumpah.

An-Nawawiy berkata dalam Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (16174),

"Di dalam hadis ini terdapat dalil mazhab Ahli Sunnah tentang adanya pengampunan dosa tanpa tobat bila Allah berkenan mengampuninya. Kelompok Muktazilah berhujah dengan hadis ini untuk menetapkan adanya pembatalan amal dengan sebab dosa besar. Sedangkan mazhab Ahli Sunnah berpendapat bahwa amal tidak batal kecuali dengan kekafiran. Sehingga pembatalan amal yang disebutkan dalam hadis ini ditafsirkan bahwa kebaikannya gugur ketika disandingkan dengan keburukannya, lalu disebut sebagai pembatalan secara majas (kiasan). Ada kemungkinan dia melakukan perkara lain yang berkonsekuensi kufur. Sebagaimana ada kemungkinan, ini berlaku di dalam syariat umat sebelum kita yang memiliki hukum seperti ini."

 ·     Sikap Orang Beriman Antara Harap dan Takut

17- Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- secara marfū',

"Seandainya orang mukmin mengetahui siksaan yang ada di sisi Allah, niscaya tidak ada seorang pun yang berharap masuk surga-Nya. Andaikan orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, pasti tidak akan ada seorang pun yang berputus asa dari surga-Nya."([68])

17- HR. Muslim, Kitāb At-Taubah (4/2109 no. 2755).

Juga diriwayatkan oleh Bukhari, Kitāb Ar-Riqāq (11/301 no. 6469) dari jalur Sa'īd bin Abi Sa'īd Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah yang semakna dengannya dan di dalamnya terdapat tambahan.

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (11/303),

"Dikatakan, maksudnya ialah orang kafir bila mengetahui luasnya rahmat Allah, niscaya hal itu akan menutupi apa yang diketahuinya tentang besarnya azab, sehingga dia akan memiliki harapan. Atau maksudnya, konsekuensi dari pengetahuannya tentang luasnya rahmat Allah disertai dengan tidak melihat kebalikannya, hal itu akan menjadikannya berharap akan mendapat rahmat. Siapa yang tahu bahwa di antara sifat Allah -Ta'ālā- ialah merahmati siapa yang dikehedaki-Nya untuk dirahmati serta menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya untuk disiksa, maka orang yang mengharapkan rahmat-Nya tidak akan merasa aman dari siksaan-Nya, dan orang yang mengkhawatirkan siksaan-Nya tidak akan berputus asa dari rahmat-Nya. Yang demikian itu adalah pendorong untuk meninggalkan keburukan walaupun kecil dan pendorong untuk mengerjakan ketaatan walaupun sedikit. Ada yang mengatakan, kalimat yang kedua mengandung semacam problem, karena surga tidak diciptakan untuk orang kafir dan tidak dijanjikan untuknya, sehingga tidak mustahil orang yang tidak meyakini kekafiran dirinya akan mengharapkan surga, lalu jawaban ini akan melahirkan problem pada kalimat sebelumnya.

Dijawab, bahwa kalimat ini dibawakan untuk memotivasi orang beriman pada luasnya rahmat Allah, yang apabila diketahui oleh seorang kafir yang ditetapkan akan meninggal di atasnya dan tidak memiliki bagian dalam rahmat niscaya dia akan berusaha meraihnya dan tidak berputus asa darinya, entah dengan keimanannya yang bersyarat ataupun karena dia sama sekali tidak melihat syaratnya disertai dengan keyakinannya bahwa dia di atas kebatilan dan dia bertahan di atasnya dengan sombong. Bila seperti ini keadaan orang kafir, lalu bagaimana orang beriman tidak akan berharap padanya sedangkan dia telah ditunjuki oleh Allah kepada keimanan?!"

 ·     Kedekatan Surga dan Neraka dari Manusia

18- Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Mas'ūd -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwa dia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Surga itu lebih dekat kepada salah seorang kalian daripada tali sandalnya, dan neraka juga seperti itu."([69])

18- HR. Bukhari, Kitāb Ar-Riqāq (11/321 no. 6488).

الشِّرَاكُ (asy-syirāk): tali tempat memasukkan jari kaki, kemudian disematkan untuk seluruh tali yang melindungi kaki.

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (11/321):

Ibu Baṭṭāl berkata, "Di dalam hadis ini terkandung pelajaran bahwa ketaatan akan mengantarkan kepada surga dan kemaksiatan mengantarkan kepada neraka, juga bahwa ketaatan dan kemaksiatan itu bisa jadi sesuatu yang sangat kecil; sebagaimana disebutkan dalam hadis: "Sungguh seorang hamba akan berbicara dengan satu perkataan yang mengundang keridaan Allah -Ta'ālā-, padahal dia tidak menganggapnya penting, tetapi dengan perkataan itu Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba akan berbicara dengan satu perkataan yang mengundang kemurkaan Allah -Ta'ālā-, padahal dia tidak menganggapnya penting, tetapi dengan perkataan itu dia terjungkal ke dalam neraka Jahanam."([70])([71])

Dia juga berkata,

"Sepatutnya bagi seseorang agar tidak menganggap remeh sedikitnya kebaikan yang akan ia kerjakan, dan tidak pula menganggap remeh sedikitnya keburukan yang akan ia kerjakan; karena dia tidak mengetahui kebaikan mana yang dengannya Allah akan memberinya rahmat ataupun keburukan mana yang dengannya Allah akan murka kepadanya."

Ibnul-Jauziy berkata,

"Makna hadis ini, bahwa mendapatkan surga itu mudah, yaitu dengan meluruskan niat dan mengerjakan ketaatan. Neraka juga demikian, yaitu dengan memperturutkan hawa nafsu dan mengerjakan kemaksiatan."

 ·     Rahmat Allah bagi Orang yang Memiliki Kasih Sayang dalam Hatinya

19- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan secara marfū':

"Seorang pelacur perempuan melihat seekor anjing di hari yang panas berputar mengelilingi sebuah sumur sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan, maka dia melepas terompahnya lalu memberinya minum. Maka dia pun diampuni dengan sebab itu."([72])

19- HR. Bukhari, Kitāb Aḥādīṡ Al-Anbiyā` (6/511 no. 3467) dan Muslim, Kitāb As-Salām (4/1761 no. 2245), dan redaksi ini milik Muslim.

المُوْقُ (al-mūq): terompah.

Hadis ini mengandung pelajaran berupa anjuran untuk berbuat baik kepada manusia, karena bila ampunan didapatkan dengan sebab memberi minum anjing maka memberi minum seorang muslim berpahala lebih besar.

Hadis ini dijadikan sebagai dalil bolehnya bersedekah sunah kepada kaum musyrikin, dan yang demikian itu sepatutnya ketika tidak ada seorang muslim karena seorang muslim tentu lebih berhak diberikan sedekah. Begitu halnya bila perkaranya berkisar antara hewan dengan manusia terhormat sementara keduanya memiliki tingkat kebutuhan yang sama, maka manusia lebih berhak. Wallāhu a'lam.

 ·     Pengharaman Membunuh Kucing

20- Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Ada seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing yang dia kurung. Dia tidak memberinya makan dan tidak juga melepasnya supaya ia bisa memakan serangga tanah."([73])

Az-Zuhriy berkata, "Agar tidak ada yang hanya bersandar pada rahmat Allah, dan juga agar tidak ada yang berputus asa."([74])

(HR. Bukhari dan Muslim).

20- HR. Bukhari, Kitāb Bad`ul-Khalq (6/356 no. 3318) dan Muslim, Kitāb As-Salām (4/1760 no. 2242).

خَشَاشِ الأَرْضِ (khasyāsy al-arḍ), dengan memfatahkan "khā`", boleh juga didamahkan dan dikasrahkan. Maksudnya: serangga tanah seperti tikus dan semisalnya.

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (6/357), "Makna lahiriah hadis ini menunjukkan bahwa wanita tersebut disiksa karena membunuh kucing itu dengan menyekapnya.

'Iyāḍ berkata, 'Ada kemungkinan wanita tersebut seorang yang kafir lalu disiksa dengan api neraka sungguhan, atau dengan dihisab, karena: orang yang dihisab dengan berat maka dia telah disiksa.([75]) Kemudian, ada juga kemungkinan wanita tersebut seorang yang kafir lalu disiksa dengan sebab kekafirannya dan ditambahkan lagi siksaannya.'"

Makna ucapan Az-Zuhriy, yaitu tatkala dibawakan hadis pertama, dikhawatirkan orang yang mendengarnya hanya akan bersandar kepada rahmat Allah yang luas serta harapan yang besar; sehingga ditambahkan setelah itu dengan hadis tentang kucing yang berisi ancaman, yaitu kebalikannya, agar terkumpul rasa takut dan harap.

 ·     Menetapkan Sifat Takjub bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-

21- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- juga meriwayatkan secara marfū':

"Rabb kita merasa takjub pada suatu kaum yang digiring([76]) ke surga dengan rantai."([77]) (HR. Aḥmad dan Bukhari).

21- HR. Bukhari, Kitāb Al-Jihād (6/145 no. 3010) dan Ahmad (2/457).

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (6/145),

Ibnul-Jauziy berkata, "Maknanya, bahwa mereka ditawan dan dibelenggu dengan rantai. Manakala mereka mengenal kebenaran Islam, mereka segera masuk Islam secara suka rela, maka mereka pun masuk surga. Pemaksaannya ketika ditawan dan dirantai adalah sebab pertama. Seakan-akan beliau menamakan keadaan terantai itu sebagai paksaan. Yaitu ketika hal itu adalah sebab dia masuk surga, beliau menempatkan musababnya sebagai sebab."

 ·     Kesabaran Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- terhadap Orang-orang yang Menuduh-Nya Memiliki Anak

22- Abu Mūsā Al-Asy'ariy -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Tidak ada seorang pun yang lebih bersabar atas keburukan yang didengarnya daripada Allah. Yaitu manusia menuduh-Nya memiliki anak, sementara Dia masih juga memberi mereka kesehatan dan rezeki."([78])

(HR. Bukhari).

22- HR. Bukhari, Kitāb Al-Adab (10/511 no. 6099) dan Kitāb At-Tauḥīd (13/360 no. 7378), dan Muslim, Kitāb At-Taubah (4/2160 no. 2804).

Hadis ini mengandung penetapan sifat sabar bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-.

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (13/361),

"Kata 'aṣbar' (paling sabar) adalah bentuk tafḍīl (menunjukkan makna paling) dari kata 'aṣ-ṣabr' (sabar). Di antara nama Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- yang indah ialah Aṣ-Ṣabūr, maknanya: Yang tidak menyegerakan siksaan pada para pelaku maksiat ...

Di dalam hadis ini terdapat isyarat kekuasaan Allah untuk berbuat baik kepada mereka sekalipun mereka berbuat buruk kepada-Nya. Ini berbeda dengan tabiat manusia, yaitu dia tidak kuasa berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadanya, kecuali dengan memaksakan diri pada hal itu secara agama. Bahkan hal itu menyebabkan dirinya untuk bersegera membalas dengan siksaan. Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- kuasa untuk melakukan itu, di dunia ataupun di akhirat. Tidak ada sesuatu yang tidak mampu Dia lakukan ataupun luput darinya." Dikutip dengan sedikit adaptasi.

 ·     Penetapan Sifat Cinta bagi Allah

23- Bukhari juga meriwayatkan dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Sungguh, jika Allah -Tabāraka wa Ta'ālā- mencitai seorang hamba maka Allah memanggil, 'Wahai Jibril! Sesungguhnya Aku mencintai polan, maka cintailah dia.' Maka Jibril pun mencintainya. Lalu Jibril menyeru di langit, 'Sesungguhnya Allah mencintai polan, maka cintailah dia.' Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian ditetapkan baginya penerimaan (kecintaan seluruh makhluk) di muka bumi."([79])

23- HR. Bukhari, Kitāb At-Tauḥīd (13/461 no. 7485).

Di dalam hadis ini terkandung penetapan sifat cinta dan sifat berbicara bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-. Yang dimaksud dengan kata "penerimaan" dalam hadis ini adalah penerimaan hati kepadanya dengan penuh cinta dan rida.

Dapat diambil kesimpulan bahwa kecintaan hati manusia adalah tanda kecintaan Allah; sebagaimana dikuatkan oleh hadis, "Kalian adalah saksi Allah di muka bumi."([80])

 ·     Penetapan Melihat Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- di Hari Kiamat bagi Orang Beriman

24- Jarīr bin Abdullah Al-Bajaliy -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Kami sedang duduk bersama Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- saat beliau memandang bulan di malam purnama, kemudian bersabda,

"Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian memandang bulan ini. Kalian tidak akan saling berdesakan dalam memandang-Nya. Jika kalian mampu untuk tidak ketinggalan salat sebelum matahari terbit dan sebelum terbenam, maka lakukanlah!"([81]) Kemudian beliau membaca ayat, "Dan bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu sebelum matahari terbit dan sebelum terbenam."([82]) (QS. Ṭāhā: 130).

(HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah).

24- HR. Bukhari, Kitāb Mawāqīt Aṣ-Ṣalāh (2/33 no. 554), Kitāb At-Tafsīr (8/597 no. 4851), dan Kitāb At-Tauḥīd (13/419 no. 7434&7435), dan Muslim, Kitāb Al-Masājid (1/439 no. 632).

Hadis ini menetapkan perihal melihat Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- bagi orang beriman kelak pada hari Kiamat yang merupakan nikmat paling besar yang diberikan kepada penghuni surga; sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1/163 no. 181) dan lainnya dari Ṣuhaib -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Apabila penghuni surga telah masuk ke dalam surga, Allah –Tabāraka wa Ta'ālā- berfirman, 'Apakah ‎kalian menginginkan sesuatu yang Aku tambahkan untuk kalian?' Mereka menjawab, 'Bukankah ‎Engkau telah memutihkan wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan ‎menyelamatkan kami dari neraka?' Kemudian Allah membuka hijab, maka mereka tidak diberi sesuatu ‎yang lebih mereka sukai daripada kenikmatan melihat Rabb mereka -'Azza wa Jalla-.‎"([83])

 ·     Balasan Allah bagi Orang yang Memusuhi Wali-Nya

25- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Sesungguhnya Allah -Tabāraka wa Ta'ālā- berfirman, 'Siapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku pasti mengumumkan perang dengannya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai melebihi kewajiban yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan ibadah sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, tangannya yang dengannya dia bertindak, dan kakinya yang dengannya dia berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, maka sungguh Aku akan memberikannya. Jika dia berlindung kepada-Ku, maka sungguh Aku akan melindunginya. Tidaklah Aku ragu untuk sesuatu yang Aku kerjakan seperti keraguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang membenci kematian padahal Aku tidak suka menyakitinya, sementara itu mesti terjadi padanya.'"([84])

(HR. Bukhari).

25- HR. Bukhari, Kitāb Ar-Riqāq (11/340 no. 6502).

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (11/342),

"Yang dimaksud dengan wali Allah ialah orang yang mengenal Allah, merutinkan ketaatan kepada-Nya, dan ikhlas dalam ibadahnya."

آذَنْتُهُ (āżantuhu): Aku mengumumkan padanya. Ia berasal dari kata "al-īżān": mengumumkan.

Al-Fākihāniy berkata, "Di dalam hadis ini terkandung ancaman keras. Karena siapa yang diperangi oleh Allah ia pasti binasa. Bila ini berlaku pada sisi permusuhan, maka hal itu juga berlaku pada sisi pembelaan. Yaitu siapa yang membela wali Allah, maka Allah akan memuliakannya ..."

Dapat dipetik kesimpulan dari hadis ini bahwa menunaikan kewajiban ialah amalan yang paling disukai oleh Allah. Aṭ-Tūfiy berkata, "Perintah pada amalan yang wajib bersifat pasti (mengikat) dan meninggalkannya dapat menjerumuskan ke dalam siksa. Ini kebalikan dari yang sunah dalam keduanya. Kalaupun amalan sunah dan amalan wajib sama-sama menghasilkan pahala, tetapi pahala amalan wajib lebih sempurna. Oleh sebab itu, amalan wajib lebih disukai oleh Allah dan lebih mendekatkan (kepada-Nya). Juga, amalan yang wajib seperti fondasi dan dasar, sedangkan amalan sunah sebagai cabang dan bangunan. Mengerjakan amalan yang wajib sesuai dengan yang diperintahkan adalah wujud menunaikan perintah, memuliakan dan mengagungkan Zat yang memerintah dengan tunduk kepada-Nya, serta menampakkan keagungan rubūbiyyah (sifat ketuhanan) Allah dan kehinaan penghambaan hamba. Sehingga mendekatkan diri dengannya adalah amalan yang paling besar. Tetapi orang yang mengerjakan kewajiban kadang mengerjakannya karena takut terhadap siksa. Sedangkan orang yang menunaikan amalan sunah, dia tidak mengerjakannya melainkan karena mendahulukan pengabdian; sehingga dia pantas diganjar dengan cinta yang merupakan puncak tujuan orang-orang yang mendekatkan diri dengan pengabdiannya."

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar menyatakan: Ibnu Hubairah berkata, 'Dapat disimpulkan dari firman Allah, 'Tidaklah mendekatkan diri ...' bahwa amalan yang sunah tidak didahulukan atas amalan yang wajib; karena amalan sunah disebut sebagai nāfilah tidak lain karena ia sebagai tambahan atas yang wajib. Sehingga selama yang wajib tidak ditunaikan, maka tambahan itu tidak akan didapatkan. Siapa yang menunaikan yang wajib lalu ditambahnya dengan yang sunah serta merutinkannya, maka dia telah mewujudkan keinginan mendekatkan diri kepada Allah secara benar."

 ·     Sifat Turunnya Allah -Subhānahu wa Ta'ālā-

26- Juga dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

“Rabb kita Yang Mahasuci lagi Mahatinggi turun pada setiap malam ke langit terendah ketika tersisa sepertiga akhir malam seraya berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku berikan, dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku niscaya Aku ampuni.’”([85])

(Muttafaq 'Alaih).

26- HR. Bukhari, Kitāb At-Taḥajjud (3/29 no. 1145), Kitāb Ad-Da'awāt (11/128 no. 6321), dan Kitāb At-Tauḥīd (13/464 no. 7494) dan Muslim, Kitāb Ṣalātul-Musāfirīn (1/521 no. 758).

Turunnya Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- adalah benar, yaitu turun yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan kekuasaan-Nya tanpa diselewengkan maupun ditolak maknanya, dan tanpa diberikan kaifiat maupun diserupakan dengan makhluk-Nya.

Imam Ibnu Taimiyah -raḥimahullāh- memiliki kitab yang memuat bahasan panjang untuk menjelaskan sifat turunnya Allah yang terang benderang berdasarkan dalil-dalil dan hujah-hujah agama. Buku itu sangat bagus untuk ditelaah.

 ·     Penjelasan Sifat Surga dan Memandang Allah -Subḥānahu wa Ta’ālā-

27- Abu Mūsā Al-Asy'ariy -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Yaitu dua surga yang wadah-wadahnya dan semua yang ada di dalamnya terbuat dari emas. Dan dua surga lain yang wadah-wadahnya dan semua yang ada di dalamnya terbuat dari perak. Tidak ada yang menghalangi penghuninya dari memandang Rabb mereka kecuali selendang kebesaran di wajah-Nya, yaitu di surga 'Adn."([86])

(HR. Bukhari).

27- HR. Bukhari, Kitāb At-Tafsīr (8/623 no. 4878&4880) dan Kitāb At-Tauḥīd (13/423 no. 7444).

Juga diriwayatkan oleh Muslim, Kitāb Al-Īmān (1/163 no. 180).

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (13/432),

"Sabda beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-: 'Dua surga', merujuk pada firman Allah -Ta'ālā-: 'Dan selain dari dua surga itu ada dua surga lagi'([87]) sekaligus sebagai tafsirannya. Ia adalah khabar bagi mubatada` yang tidak ditampilkan, asumsinya ialah: 'Humā jannatāni'. Sedangkan kata 'āniyatuhumā' ialah mubtada` lalu kata 'min fiḍḍah' adalah khabar... Makna lahiriah hadis yang pertama menunjukkan bahwa kedua surga tersebut berasal dari emas, tidak ada kandungan peraknya. Begitu juga sebaliknya. Namun hal ini bertentangan dengan hadis riwayat Abu Hurairah, dia berkata, "Kami berkata (kepada Rasulullah), 'Ceritakan kepada kami tentang surga dan dari apa bangunannya?' Beliau bersabda, 'Dari batu bata yang terbuat dari emas dan batu bata dari perak.'" Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi serta disahihkan oleh Ibnu Ḥibbān.([88])

Keduanya disinkronkan dengan mengatakan bahwa hadis pertama adalah sifat atau keadaan yang ada di dalam semua surga berupa wadah dan lainnya. Sedangkan hadis kedua ialah tentang sifat dinding semua surga. Hal ini dikuatkan oleh riwayat Al-Baihaqiy dalam Al-Ba`ṡ wa An-Nusyūr([89]) dari riwayat Abu Sa'īd: "Bahwa Allah memagar sekeliling surga dengan batu bata dari emas dan batu bata dari perak."([90])

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata tentang selendang kebesaran setelah menyebutkan pendapat para ulama,

"Kesimpulannya, bahwa selendang kebesaran itu yang menjadi penghalang dari melihat Allah. Sepertinya di dalam ucapan beliau itu ada penghapusan yang diasumsikan setelah kalimat 'kecuali selendang kebesaran'. Yaitu, maka Allah memberikan nikmat-Nya kepada mereka dengan mengangkatnya sehingga mereka dapat melihat-Nya. Sepertinya, maksudnya ialah manakala orang-orang beriman telah menempati tempat mereka di surga, kalau bukan karena kewibawaan Allah Yang Mahamulia dalam diri mereka maka tidak ada penghalang yang menghalangi mereka dari melihat-Nya. Bila Allah berkehendak untuk memuliakan mereka, Allah melimpahkan kasih sayang-Nya serta karunia-Nya kepada mereka dengan menjadikan mereka kuat untuk melihat-Nya."

    Bab Firman Allah -Ta'ālā-, "Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata, 'Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?' Mereka menjawab, '(Perkataan) yang benar,' dan Dialah Yang Mahatinggi, Mahabesar."[94] (QS. Saba`: 23).

 ·     Kebohongan Para Dukun

28- Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā- berkata, Salah seorang sahabat Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dari kalangan Ansar bercerita kepadaku, bahwasanya ketika mereka sedang duduk di suatu malam bersama Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, tiba-tiba sebuah bintang jatuh dan menyala. Maka Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bertanya,

"Apa yang dahulu kalian katakan bila bintang jatuh seperti ini?"

Para sahabat menjawab, "Kami dahulu mengatakan bahwa malam ini telah lahir seorang tokoh besar atau telah mati seorang tokoh besar."

Beliau bersabda,

"Sungguh bintang ini tidaklah dilontarkan karena kematian seseorang ataupun kelahirannya. Melainkan Rabb kita -'Azza wa Jalla-, bila Dia menetapkan suatu perkara maka malaikat-malaikat pemikul Arasy bertasbih sampai malaikat penghuni langit di dekat mereka juga bertasbih hingga tasbih tersebut sampai ke malaikat penghuni langit terendah. Malaikat-malaikat di dekat pemikul Arasy bertanya, 'Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?' Maka mereka mengabarinya tentang apa yang Allah firmankan. Lalu penghuni langit saling memberitahu satu sama lain hingga berita tersebut sampai ke penghuni langit terendah. Maka jin mencuri dengar lalu menyampaikannya kepada pembela-pembela mereka. Bila berita yang mereka sampaikan sesuai keadaan sebenarnya, maka itu benar, tetapi biasanya mereka mencampurnya dan menambah-nambahnya (dengan kedustaan)."([91])([92])

(HR. Muslim, Tirmizi, dan An-Nasā`i).

28- HR. Muslim, Kitāb As-Salām (4/1750 no. 2229).

Hadis ini membatalkan keyakinan orang-orang jahiliah yang meyakini bahwa jatuhnya bintang-bintang itu menunjukkan kelahiran atau kematian seorang tokoh besar.

Hadis ini juga menunjukkan bahwa jin melakukan curi dengar, lalu melontarkan kalimat yang didengarnya itu kepada pembelanya dari kalangan dukun setelah menambahkan seratus kalimat (dusta) pada satu kalimat tersebut. Oleh karena itu, dalam hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim (1/1570 no. 2228) disebutkan: Aisyah bertanya, "Wahai Rasulullah! Sungguh dukun-dukun itu menyampaikan sesuatu kepada kami lalu kami mendapatkannya benar!" Beliau bersabda, "Kalimat yang benar itu dicuri oleh jin lalu ia lontarkan ke telinga pembelanya dan menambahkan kepadanya seratus kebohongan."([93])

29- An-Nawwās bin Sam'ān -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Jika Allah -Ta'ālā- hendak mewahyukan suatu perintah, Dia pun berfirman dengan wahyu sehingga langit bergetar keras -atau beliau bersabda, bergemuruh keras- karena takut kepada Allah -'Azza wa Jalla-. Jika para penghuni langit mendengar itu, mereka pun pingsan -atau beliau bersabda, tersungkur- bersujud kepada Allah. Malaikat yang pertama kali mengangkat kepalanya adalah Jibril -'alaihis-salām-. Lalu Allah menyampaikan wahyu-Nya kepadanya sesuai kehendak-Nya. Setelah itu, Jibril melewati para malaikat. Setiap kali dia melintasi satu langit, malaikat-malaikat penghuninya bertanya kepadanya, 'Apa yang difirmankan oleh Rabb kita, wahai Jibril?' Jibril menjawab, 'Dia telah mengatakan kebenaran, dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.' Lantas para malaikat pun mengatakan seperti yang diucapkan oleh Jibril. Hingga Jibril selesai menyampaikan wahyu itu kepada yang diperintahkan oleh Allah."([94])

(HR. Ibnu Jarīr, Ibnu Khuzaimah, Aṭ-Ṭabarāniy, dan Ibnu Abi Ḥātim dan ini adalah redaksi miliknya).

29- HR. Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauḥīd (1/348 no. 206), Al-Ājurriy dalam Asy-Syarī'ah (hal. 294), Ibnu Abi 'Āṣim dalam As-Sunnah (1/226 no. 515), Ibnul-A'rābiy dalam Al-Mu'jam (883), Abu Nu'aim dalam Al-Ḥilyah (5/152), Al-Baihaqiy dalam Al-Asmā` wa Aṣ-Ṣifāt (hal. 202-203), Ibnu Jarīr dalam At-Tafsīr (2/63), dan Al-Bagawiy dalam Ma'ālim At-Tanzīl (5/290-291).

Semuanya dari jalur Nu'aim bin Ḥammād Al-Khuzā'iy, dari Al-Walīd bin Muslim, dari Abdurrahmān bin Yazīd bin Jābir, dari Abdullah bin Abi Zakaria, dari Rajā` bin Ḥaiwah, dari An-Nawwās.

Ibnu Abi Ḥātim menukilkan sebagaimana dalam Tafsīr Ibnu Kaṡīr (3/537): Aku mendengar ayahku berkata,

"Hadis ini secara lengkap bukan dari Al-Walīd bin Muslim -raḥimahullāh-."

Syekh Nāṣir berkata di dalam ta'līq (catatan) beliau terhadap As-Sunnah, "Sanadnya daif. Nu'aim bin Ḥammād seorang yang buruk hafalannya. Al-Walīd bin Muslim seorang yang ṡiqah, namun melakukan tadlīs taswiyah."

Saya katakan, makna hadis ini dikuatkan oleh hadis sahih sebelumnya.

    Bab Firman Allah -Ta'ālā-, "Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan."[99] (QS. Az-Zumar: 67).

 ·     Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- Menggenggam Bumi dan Melipat Langit dengan Tangan Kanan-Nya

30- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Aku mendengar Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Allah akan menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya kemudian berfirman, 'Akulah Raja. Di manakah raja-raja bumi?'"([95]) (HR. Bukhari).

30- HR. Bukhari, Kitāb At-Tauḥīd (13/367 no. 7382).

Juga diriwayatkan oleh Muslim, Kitāb Sifatul-Jannah wan-Nār (4/2148 no. 2787).

Hadis ini menetapkan bahwa Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- akan menggenggam bumi dengan salah satu dari kedua tangan-Nya dan melipat langit dengan tangan-Nya yang lain, dan keduanya adalah tangan bagi Rabb kita -Subḥānahu wa Ta'ālā-, tidak ada tangan kiri-Nya. Mahasuci Rabb kita dari sifat-sifat makhluk dengan sesuci-sucinya.

31- Bukhari juga meriwayatkan dari Ibnu Umar -raḍiyallāhu 'anhumā-, ia meriwayatkan dari Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda, "Kelak pada hari Kiamat Allah akan menggenggam bumi lalu semua langit di tangan kanan-Nya, kemudian Allah berfirman, 'Akulah Raja.'"([96])

31- HR. Bukhari, Kitāb At-Tauhīd (13/393 no. 7412) dari jalur Al-Qāsim bin Yahya, dari Ubaidillah, dari Nāfi', dari Ibnu Umar.

Juga diriwayatkan oleh Muslim, Kitāb Ṣifātl-Munāfiqīn (1/2148 no. 2788).

32- Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar -raḍiyallāhu 'anhumā-, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- di suatu hari membaca ayat ini di atas mimbar: "Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan."([97]) Sementara Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- melakukan seperti ini dengan tangannya; beliau menggerakkannya ke depan dan ke belakang sembari bersabda, 'Tuhan mengagungkan diri-Nya: 'Akulah Yang Mahadigdaya. Aku Yang Mahaperkasa. Aku Yang Mahaagung. Aku Yang Mahamulia.' Lalu mimbar itu berguncang bersama Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sampai kami mengatakan, 'Ia akan tumbang bersama beliau.'"

(HR. Ahmad).

32- HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/72); Ibnu Abi 'Āṣim dalam As-Sunnah (1/240 no. 546); dan Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauḥīd (1/170 no. 95&96), dari jalur Ḥammād bin Salamah; dia berkata, kami dikabari oleh Isḥāq bin Abdullah; dari Ubaidillah bin Miqsam; dari Ibnu Umar. Syekh Nāṣir berkata, "Sahih sesuai syarat Muslim."

33- Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim dari Ubaidillah bin Miqsam, bahwa dia melihat bagaimana Abdullah bin Umar -raḍiyallāhu 'anhumā- meriwayatkan dari Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda,

"Allah akan mengambil langit-langit-Nya dan bumi-bumi-Nya dengan kedua tangan-Nya kemudian menggenggamnya, lalu Allah berfirman, 'Akulah Raja.' Sampai aku melihat mimbar itu berguncang dari bagian paling bawah. Sampai aku berkata dalam hati, 'Jangan-jangan ia jatuh bersama Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-?!'"([98])

33- HR. Muslim, Kitāb Ṣifāt Al-Munāfiqīn (4/2148) dan Ibnu Majah (1/71 no. 198) dari jalur Abu Ḥāzim, dari Ubaidillah bin Miqsam, bahwa ia melihat Abdullah bin Umar bagaimana meriwayatkannya ...

 ·     Apa Perkara yang Paling Pertama di Kehidupan Ini?

34- Diriwayatkan dalam Ṣaḥīḥ Bukhari dan Muslim dari 'Imrān bin Ḥuṣain -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Terimalah kabar gembira, wahai Bani Tamīm!"

Mereka menjawab, "Engkau telah memberikan kami kabar gembira. Maka berikanlah kami pemberian."

Beliau bersabda, "Terimalah kabar gembira, wahai penduduk Yaman!"

Mereka menjawab, "Kami telah menerimanya. Maka terangkanlah kepada kami tentang yang paling pertama dari perkara kita ini."

Beliau bersabda, "Allah telah ada sebelum segala sesuatu. Arasy Allah ada di atas air. Dan Allah menulis di Lauḥ Maḥfūẓ penyebutan segala sesuatu."

'Imrān berkata, lalu aku didatangi seseorang, dia mengatakan, "Wahai 'Imrān! Unta milikmu lepas dari tali pengikatnya."

'Imrān berkata, "Aku pun keluar mengejarnya. Aku tidak lagi mengetahui apa yang beliau sebutkan setelahnya."([99])

34- HR. Bukhari, Kitāb Bad`ul-Khalq (6/286 no. 3190 & 3191) dan Kitāb At-Tauḥīd (13/403 no. 7418).

Hadis ini disebutkan oleh Ibnu Kaṡīr dalam Kitab Tafsirnya (2/437) dan dia berkata, "Hadis ini dibawakan dalam Ṣaḥīḥ Bukhari dan Muslim dengan banyak redaksi ..."

Saya katakan, aku tidak menemukannya dalam Ṣaḥīḥ Muslim.

Makna "Terimalah kabar gembira!": terimalah dariku sesuatu yang berkonsekuensi kalian akan diberikan kabar gembira berupa surga bila kalian mengamalkannya seperti mendalami agama dan mengamalkannya ... (Fatḥul-Bārī: 6/288)

Di dalam hadis ini terkandung petunjuk bahwa awalnya tidak ada sesuatu pun selain Allah, baik air, Arasy, maupun lainnya karena semua itu bukan Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-.

Sabda beliau "Arasy Allah ada di atas air"([100]) maknanya, bahwa Allah menciptakan air terlebih dahulu kemudian menciptakan Arasy di atas air itu. Muslim meriwayatkan dari hadis Abdullah bin 'Amr secara marfū': "Allah telah menetapkan takdir semua makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi, sedangkan Arasy-Nya di atas air."([101])([102]) Sabda beliau, "Sedangkan Arasy-Nya di atas air"([103]) adalah petunjuk bahwa air dan Arasy adalah permulaan semesta ini karena keduanya diciptakan sebelum langit dan bumi sementara ketika itu tidak ada sesuatu di bawah Arasy kecuali air ...

Telah diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi serta dia mensahihkannya, dari Abu Razīn Al-'Uqailiy secara marfū': "Bahwa air diciptakan sebelum Arasy."([104])([105]) Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan juga Tirmizi dan dia mensahihkannya dari 'Ubādah bin Aṣ-Ṣāmit secara marfū': "Yang paling pertama Allah ciptakan adalah pena, kemudian Allah berfirman kepadanya, 'Tulislah.' Maka ia menulis semua yang akan terjadi hingga hari Kiamat."([106])([107]) Maka hadis ini disinkronkan dengan hadis sebelumnya bahwa keberadaan pena lebih awal dibandingkan makhluk lainnya selain air dan Arasy. Atau pena itu menjadi yang pertama dari sisi pencatatan yang terbit darinya. Maksudnya, dikatakan kepadanya, "Tulislah", ketika pertama kali diciptakan ... (Fatḥul-Bārī: 6/289)

 ·     Larangan Menjadikan Allah Sebagai Perantara kepada Seseorang

35- Jubair bin Muhammad bin Jubair bin Muṭ'im, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata, Seorang laki-laki badui datang menemui Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lalu berkata, "Wahai Rasulullah! Jiwa-jiwa sangat kesulitan, keluarga terbengkalai, harta benda di ujung kehancuran, dan hewan ternak binasa, maka mintakanlah kami hujan kepada Rabbmu. Sungguh kami memintamu sebagai perantara kami kepada Allah dan menjadikan Allah sebagai perantara kepadamu."

Maka Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Celaka engkau! Tahukah engkau, apa yang engkau katakan itu?!" Rasulullah bertasbih dan terus bertasbih hingga ketidaknyamanan itu terlihat di wajah sahabat-sahabatnya. Kemudian beliau bersabda, "Celaka engkau! Tidak sepatutnya Allah dijadikan sebagai perantara kepada seseorang di antara makhluk-Nya. Kedudukan Allah lebih agung dari itu. Celaka engkau! Tahukah engkau siapa Allah itu?! Arasy-Nya di atas semua langit-Nya seperti ini -beliau mengisyaratkan dengan jari-jarinya seperti kubah di atasnya-. Sungguh ia berbunyi seperti bunyi pelana karena memikul pengendara."([108])

(HR. Ahmad dan Abu Daud).

35- HR. Abu Daud (4726), Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauḥīd (hal. 69), Al-Ājurriy dalam Asy-Syarī'ah (293), dan Ibnu Abi 'Āṣim dalam As-Sunnah (575) dengan sanad daif; di dalamnya terdapat 'an'anah Ibnu Isḥāq sedangkan dia seorang yang mudallis.

Catatan: Saya tidak menemukan hadis ini dalam Al-Musnad.

 ·     Kesabaran Allah -'Azza wa Jalla- atas Pendustaan Anak Adam

36- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

Allah -'Azza wa Jalla- berfirman, "Anak Adam mendustakan-Ku padahal itu tidak pantas baginya. Anak Adam menghina-Ku padahal itu tidak pantas baginya. Adapun pendustaannya kepada-Ku, yaitu perkataannya: Allah tidak akan membangkitkanku sebagaimana Dia menciptakanku pertama kali, padahal tidaklah penciptaan pertama lebih ringan bagi-Ku dari mengembalikannya. Adapun penghinaannya kepada-Ku, yaitu perkataannya: Allah memiliki anak, padahal Aku Maha Esa dan Akulah tempat bergantung, Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya."([109])

36- HR. Bukhari, Kitāb At-Tafsīr (8/739 no. 4974).

Aṣ-Ṣamad termasuk di antara nama-nama Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-. Ia bermakna: Penguasa yang kepadanya berakhir semua kekuasaan. Ada yang mengatakan, yaitu yang abadi dan kekal. Pendapat lain mengatakan, yaitu yang tidak memiliki rongga. Yang lain lagi berpendapat, yaitu yang dituju dalam semua kebutuhan ... (An-Nihāyah: 3/52)

Bukhari berkata dalam Ṣaḥīḥ-nya, "Orang-orang Arab biasa menyebut tokoh-tokoh mereka dengan aṣ-ṣamad."

37- Dalam riwayat lainnya, yaitu dari Ibnu Abbas -raḍiyallāhu 'anhumā- disebutkan,

"Adapun hinaannya kepadaku, yaitu perkataannya bahwa Aku memiliki anak. Mahasuci Aku dari memiliki seorang istri atau seorang anak."([110])

(HR. Bukhari).

37- HR. Bukhari dalam At-Tafsīr (8/168 no. 4482); dia berkata, Abul-Yamān telah bercerita kepada kami; kami dikabari oleh Syu'aib; dari Abdullah bin Abu Husain; Nāfi' bin Jubair telah bercerita kepada kami; dari Ibnu Abbās.

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (8/168),

"Disebut sebagai celaan karena di dalamnya terkandung celaan. Karena seorang anak akan ada dari seorang ibu yang mengandungnya kemudian melahirkannya. Hal itu berkonsekuensi didahului oleh pernikahan, sementara orang yang menikah menuntut adanya pendorong yang melatarbelakanginya untuk melakukan hal itu. Sedangkan Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- disucikan dari itu semuanya."

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar juga berkata dalam Fatḥul-Bārī (8/740),

"Manakala Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- wājib al-wujūd (ada dengan sendirinya), kadim dan ada sebelum semua sesuatu ada, sementara semua yang dilahirkan bersifat baru, maka sifat keorangtuaan tidak ada pada-Nya. Dan manakala tidak seorang pun di antara makhluk ciptaan-Nya yang menyerupai-Nya dan menyertai-Nya, kecuali Dia memiliki istri dari jenis-Nya lalu melahirkan, maka sifat memiliki anak tidak ada pada-Nya. Di antara yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah -Ta'ālā-, 'Bagaimana (mungkin) Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri?!'"([111])

 ·     Haramnya Mencela Masa

23- Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

Allah -Ta'ālā- berfirman, “Anak Adam menyakiti-Ku. Mereka mencaci masa, padahal Aku pemilik dan pengatur masa. Di tangan-Kulah semua urusan. Aku yang membolak-balik malam dan siang."([112])

38- HR. Bukhari dalam Kitāb At-Tafsīr (8/574 no. 4826) dan Kitāb At-Tauḥīd (13/464 no. 7491) dan Muslim, Kitāb Al-Adab (4/1762 no. 2246). Makna (أَنَا الدَّهْرُ), sebagaimana dijelaskan oleh Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar dalam Fatḥul-Bārī (8/575), bahwa Al-Khaṭṭābiy berkata, "Yaitu Aku pemilik masa dan pengatur semua perkara yang mereka nisbahkan kepada masa. Siapa yang mencela masa karena meyakininya sebagai pelaku pada semua perkara tersebut, maka celaan kepadanya itu kembali kepada Tuhannya yang tidak lain adalah pelakunya."

An-Nawawiy (3/15) berkata, "Dahulu orang-orang Arab biasa mencela masa ketika terjadi peristiwa-peristiwa besar dan berbagai musibah yang menimpa mereka seperti kematian, ketuaan, kehilangan harta, atau hal lainnya. Mereka mengatakan: aduhai ruginya masa ini! Dan kalimat-kalimat lain yang semisal. Artinya, janganlah kalian mencela pemberi musibah itu. Karena bila kalian mencela pelaku atau pemberinya, maka celaan tersebut jatuh pada Allah -Ta'ālā-. Karena Allahlah pelakunya dan yang menurunkannya. Adapun masa yang tidak lain adalah waktu, ia tidak memiliki perbuatan, karena ia adalah sebuah makhluk di antara makhluk ciptaan Allah -Ta'ālā-."

Sedangkan makna (فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الدَّهْرُ), yaitu sesungguhnya Allah itu yang menciptakan musibah dan berbagai peristiwa serta pencipta semua makhluk. Wallāhu a'lam.

    BAB IMAN KEPADA TAKDIR

Firman Allah -Ta'ālā-, "Sungguh, bagi orang-orang yang sejak dahulu telah ada (ketetapan) yang baik dari Kami, mereka itu akan dijauhkan (dari neraka)."([113]) (QS. Al-Anbiyā`: 101).

Juga firman Allah -Ta'ālā-, "Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku."([114]) (QS. Al-Aḥzāb: 38).

Juga firman Allah -Ta'ālā-, "Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan yang kamu perbuat.”([115]) (QS. Aṣ-Ṣaffāt: 96).

Juga firman Allah -Ta'ālā-, "Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (takdir)."([116]) (QS. Al-Qamar: 49).

 ·     Kapan Takdir Makhluk Ditetapkan?

39- Diriwayatkan dalam Ṣaḥīḥ Muslim dari Abdullah bin 'Amr bin Al-'Āṣ -raḍiyallāhu 'anhumā-, dia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Allah telah menetapkan takdir semua makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi, sedangkan Arasy-Nya di atas air."([117])

39- HR. Muslim, Kitāb Al-Qadar (4/2044 no. 2653) dari jalur Ibnu Wahb; dia berkata, telah bercerita kepadaku Abu Hāni` Al-Khaulāniy; dari Abu Abdirrahman Al-Ḥubulliy; dari Abdullah bin 'Amr.

Kata (القَدَرُ) dengan memfatahkan "dāl", telah dijelaskan oleh Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar (11/477): Al-Kirmāniy berkata, "Makna al-qadar adalah ketetapan Allah. Para ulama mengatakan, 'Qaḍā` adalah keputusan Allah yang bersifat umum dan global di waktu azali. Sedangkan qadar adalah perincian-perincian ketetapan tersebut.'"

Abul-Muẓaffar As-Sam'āniy berkata, "Metode untuk mengetahui pembahasan ini hanyalah petunjuk wahyu dari Al-Qur`ān dan Sunnah, tanpa melibatkan kiyas dan akal. Sehingga siapa saja yang berpaling dari wahyu di dalamnya, maka dia akan tersesat dan terombang-ambing dalam samudra kebingungan dan tidak akan mendapatkan ketenangan maupun ketenteraman hati; karena takdir adalah rahasia di antara rahasia-rahasia Allah -Ta'ālā-, Dia Yang Maha Mengetahui dan Mahateliti mengkhususkannya untuk diri-Nya. Allah memasang pembatas untuknya dan menutupnya dari akal dan pengetahuan makhluk, berdasarkan hikmah yang ketahui-Nya, dan Allah tidak memberitahukannya kepada seorang nabi yang diutus maupun seorang malaikat yang didekatkan."

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata, "Aṭ-Ṭabarāniy telah meriwayatkan dengan sanad hasan dari Ibnu Mas'ūd secara marfū': "Bila takdir disebutkan, maka tahanlah."([118]) Syekh Al-'Allāmah Abdul Aziz bin Abdullah bin Bāz -raḥimahullāh- berkata,

"Adapun iman kepada takdir, maka ia mengandung keimanan pada empat perkara:

Pertama: bahwa Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- telah mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, mengetahui kondisi hamba-hamba-Nya, dan mengetahui rezeki, ajal, perbuatan dan semua urusan mereka lainnya; tidak ada sesuatu pun yang samar bagi Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-; sebagaimana Dia berfirman, "Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."([119]) Allah -'Azza wa Jalla- juga berfirman, "Agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu."([120])

Kedua: bahwa Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- telah menulis semua yang Dia takdirkan dan tetapkan; sebagaimana Dia berfirman, "Sungguh, Kami telah mengetahui apa yang ditelan oleh bumi dari (tubuh) mereka, sebab pada Kami ada kitab (catatan) yang terpelihara dengan baik."([121]) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab yang jelas (Lauḥ Maḥfūẓ)."([122]) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Tidakkah engkau tahu bahwa Allah mengetahui apa yang di langit dan di bumi? Sungguh, yang demikian itu sudah terdapat dalam sebuah kitab (Lauḥ Maḥfūẓ). Sesungguhnya yang demikian itu sangat mudah bagi Allah."([123])

Ketiga: mengimani kehendak Allah yang pasti terlaksana; yaitu apa saja yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi; sebagaimana Dia berfirman, "Sungguh, Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki."([124]) Allah -'Azza wa Jalla- juga berfirman, "Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, 'Jadilah!' Maka jadilah sesuatu itu."([125]) Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- juga berfirman, "Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam."([126])

Keempat: Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- yang menciptakan semua yang ada, tidak ada pencipta dan rabb selain-Nya; sebagaimana Dia berfirman, "Alllah Maha Pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu."([127]) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Wahai manusia! Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; maka mengapa kamu berpaling (dari ketauhidan)?"([128])

Menurut Ahli Sunnah wal Jamaah, iman kepada tadkir mencakup empat perkara ini. Ini berbeda dengan sebagian ahli bidah yang mengingkari sebagiannya."

 ·     Kewajiban Beramal dan Tidak Berpangku Tangan

40- Ali bin Abi Ṭālib -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Tidak seorang pun dari kalian kecuali telah ditetapkan tempatnya di neraka dan tempatnya di surga." Mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah! Mengapa kita tidak memasrahkan diri pada ketetapan (takdir) kita saja dan meninggalkan amalan?" Beliau menjawab,

"Beramallah kalian, karena masing-masing akan dimudahkan menggapai apa yang dia diciptakan untuknya. Adapun orang yang berasal dari golongan orang yang bahagia, maka dia akan dimudahkan pada amalan orang-orang yang bahagia. Sedangkan yang berasal dari golongan sengsara, maka dia akan dimudahkan pada amalan orang-orang yang sengsara." Kemudian beliau membaca ayat, "Maka siapa yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan)." (QS. Al-Lail: 5-7). (Muttafaq 'Alaih).

40- HR. Bukhari, Kitāb Al-Janā`iz (3/225 no. 1362) dan At-Tafsīr (8/709 no. 4948 & 4949) dan Muslim, Kitāb Al-Qadar (4/2039 no. 2647).

Al-Bagawiy (1/133) menukilkan: Al-Khaṭṭābiy menerangkan, "Ucapan mereka, 'Mengapa kita tidak memasrahkan diri pada ketetapan (takdir) kita saja dan kita meninggalkan amalan?' adalah sebuah permintaan dari mereka terhadap perkara yang berdampak meninggalkan peribadatan. Karena berita yang disampaikan oleh Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tentang takdir yang telah ditetapkan adalah berita tentang perkara gaib berupa ilmu Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- tentang mereka, dan ini adalah hujah atas mereka. Lalu orang-orang itu hendak menjadikannya sebagai hujah bagi mereka untuk meninggalkan amal. Maka Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menerangkan kepada mereka, bahwa di sini terdapat dua perkara yang tidak saling membatalkan satu sama lain. Yang pertama adalah perkara batin yang tersembunyi, yaitu hikmah yang mengharuskan dalam hukum rubūbiyah. Yang kedua adalah perkara lahiriah, yaitu tanda yang melekat dalam peribadatan. Yang kedua ini adalah tanda yang bersifat permukaan dan tidak menunjukkan ilmu yang sebenarnya. Sepertinya -wallāhu a'lam-, mereka diperlakukan dengan muamalah seperti itu dan diwajibkan beribadah dengan peribadatan seperti itu agar rasa takut mereka terikat dengan perkara batin yang dirahasiakan dari mereka, sementara rasa harap mereka terikat dengan perkara lahir yang tampak pada mereka. Rasa takut dan harap adalah dua jalur peribadatan supaya dengan itu mereka akan menyempurnakan sifat iman. Beliau jelaskan kepada mereka bahwa masing-masing orang akan dimudahkan kepada apa yang ia ditetapkan untuknya, dan bahwa amal mereka di dunia sekarang adalah petunjuk tentang kesudahannya kelak di akhirat. Kemudian beliau membaca firman Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-, "Maka siapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa([129])... Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah)."([130]) (QS. Al-Lail: 5-8). Perkara-perkara ini sesuai hukum lahiriah dan di balik itu adalah ilmu Allah -'Azza wa Jalla- pada mereka dan Allah Mahabijaksana lagi Maha Meliputi; Allah tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang akan ditanya.

Carilah perbandingannya pada dua perkara berupa rezeki yang telah dibagi dengan perintah berusaha dan ajal yang telah ditentukan dengan proses pengobatan. Anda akan temukan bahwa takdir yang disembunyikan pada keduanya adalah hikmah yang mengharuskan (untuk berusaha), sedangkan perkara lahir yang tampak adalah sebab yang diperlihatkan ke permukaan. Semua orang, baik yang berilmu ataupun yang awam, mengistilahkan pada keduanya; bahwa perkara lahir yang tampak tidak boleh ditinggalkan lantaran adanya takdir yang tersembunyi."

 ·     Pengambilan Janji oleh Allah Ketika Kita Masih di Dalam Tulang Punggung Adam -'Alaihissalām-

41- Muslim bin Yasār Al-Juhaniy berkata, Umar bin Al-Khaṭṭāb -raḍiyallāhu 'anhu- ditanya tentang ayat ini: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka ..."([131]) (QS. Al-A'rāf: 172). Umar -raḍiyallāhu 'anhu- lalu berkata, Aku mendengar Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- ditanya tentang ayat ini, maka beliau bersabda,

"Allah menciptakan Adam kemudian mengusap tulang belakangnya dengan tangan kanan-Nya lalu mengeluarkan sebagian anak keturunannya. Setelah itu Allah berfirman,

'Aku ciptakan mereka itu untuk (menghuni) surga dan mereka akan beramal dengan amalan ahli surga.' Kemudian Allah kembali mengusap tulang belakangnya lalu mengeluarkan sebagian anak keturunannya yang lain, setelah itu Allah berfirman, 'Aku ciptakan mereka itu untuk (menghuni) neraka dan mereka akan beramal dengan amalan ahli neraka.' Lalu ada seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah! Kalau demikian apa gunanya beramal?"

Beliau menjawab, "Sesungguhnya Allah jika menciptakan hamba sebagai ahli surga, maka Allah membimbingnya untuk beramal dengan amalan ahli surga sampai ia meninggal di atas amalan ahli surga lalu dengan sebab itu ia masuk surga. Sedangkan jika Dia menciptakan seorang hamba sebagai ahli neraka, maka Allah akan memudahkanya untuk beramal dengan amalan ahli neraka sampai ia meninggal di atas amalan ahli neraka lalu Allah memasukkannya ke neraka."

(HR. Malik dan Al-Ḥākim dan dia berkata, "Sanadnya sesuai syarat Muslim").

Juga diriwayatkan oleh Abu Daud dari jalur lain dari Muslim bin Yasār, dari Nu'aim bin Rabī'ah, dari Umar.

41- HR. Malik dalam Al-Muwaṭṭa`, Kitāb Al-Qadar (2/898-899). Kemudian dari jalur Malik ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (4/226 no. 4703); Tirmizi dalam Kitāb At-Tafsīr (5/248 no. 3075); An-Nasā`i dalam Al-Kubrā (6/247 no. 11190); Al-Ājurriy dalam Asy-Syarī'ah (hal. 170); Ibnu Ḥibbān (14/37 no. 6166); Al-Baihaqiy dalam Al-Asmā` wa Aṣ-Ṣifāt (hal. 325); Al-Bagawiy dalam Syarḥ As-Sunnah (1/138 no. 77); dan Al-Ḥākim dalam Al-Mustadrak (1/27); semuanya dari jalur Malik, dari Zaid bin Abu Unaisah, dari Abdul Hamid bin Abdurrahman bin Zaid, dari Muslim.

Tirmizi berkata, "Hasan. Tetapi Muslim bin Yasār tidak pernah mendengar dari Umar. Sebagian menyebutkan dalam sanad ini antara Muslim bin Yasār dengan Umar seseorang yang majhūl."

Al-Ḥākim berkata, "Sahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim."

Aż-Żahabiy berkata, "Di dalamnya terdapat irsāl (keterputusan sanad)."

Al-Ḥākim berkata (2/324-325), "Sahih sesuai syarat Muslim." Dan disetujui oleh Aż-Żahabiy.

Al-Ḥākim juga berkata (2/544), "Sahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim." Dan disepakati oleh Aż-Żahabiy.

Abu Daud -dalam Kitāb As-Sunnah (4/226 no. 4704)- meriwayatkan hadis ini dari jalur Umar bin Ju'ṡum; ia berkata, Zaid bin Abu Unaisah bercerita kepadaku, dari Abdul Hamid bin Abdurrahman; dari Muslim bin Yasār; dari Nu'aim bin Rabī'ah; dia berkata, "Aku pernah bersama Umar bin Al-Khaṭṭāb ..." Hadis riwayat Malik lebih sempurna dan Nu'aim seorang yang majhūl.

Al-Munżiriy berkata, "Tetapi makna hadis ini telah sahih dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dari banyak jalur sahih -yang sangat panjang bila akan disebutkan- dari hadis Umar bin Al-Khaṭṭāb dan lainnya, bahwa beliau ditanya tentang cara Allah mengeluarkan anak keturunan Adam dari tulang sulbi mereka sebagaimana yang disebutkan dalam ayat."

وَإِذْ أَخَذَ: ketika Allah mengeluarkan.

ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ: kemudian Allah mengusap tulang sulbinya, yaitu Adam.

فَفِيْمَ الْعَمَلُ؟: artinya, jika perkaranya seperti yang engkau sebutkan, wahai Rasulullah -yaitu telah ditetapkannya takdir-, lalu apa gunanya amalan? Atau dengan apa amalan akan terkait? Atau untuk apa kita diperintahkan beramal?!

اِسْتَعْمَلَهُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ: Allah menjadikannya mengamalkannya serta memudahkannya untuk itu.

42- Isḥāq bin Rāhawaih berkata, Baqiyah bin Al-Walīd bercerita kepada kami; dia berkata, aku dikabari oleh Az-Zubaidiy Muhammad bin Al-Walīd; dari Rāsyid bin Sa'ad, dari Abdurrahman bin Abu Qatādah; dari ayahnya; dari Hisyām bin Hakim bin Hizām, bahwa ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah! Apakah amal perbuatan itu baru, ataukah telah ditakdirkan?" Beliau bersabda,

"Sungguh ketika Allah mengeluarkan anak keturunan Adam dari tulang sulbinya, Allah menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka, kemudian Allah meletakkan mereka di kedua tangan-Nya lantas berfirman, 'Mereka ini untuk surga dan mereka ini untuk neraka. Ahli surga akan dimudahkan untuk amalan ahli surga, dan ahli neraka akan dimudahkan untuk amalan ahli neraka."

42- Hadis sahih.

HR. Bukhari dalam kitabnya, At-Tārīkh Al-Kabīr (8/191-192).

 ·     Pencatatan Amalan, Ajal, Rezeki, dan Penentuan Sengsara atau Bahagia Ketika Kita Dalam Kandungan

43- Abdullah bin Mas'ūd -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- telah bercerita kepada kami dan beliau adalah orang yang selalu benar dan dibenarkan,

"Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa nuṭfah (air mani), kemudian menjadi 'alaqah (segumpal darah) selama itu juga, lalu menjadi muḍgah (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutus kepadanya malaikat untuk meniupkan ruh padanya dan diperintahkan menulis empat kalimat; yaitu menulis rezeki, ajal, dan amalnya serta penentuan sengsara atau bahagia. Demi Zat yang tidak ada ilah selain Dia! Sesungguhnya salah seorang kalian akan beramal dengan amalan penghuni surga hingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tersisa satu hasta, namun catatan takdir mendahuluinya, maka dia beramal dengan amalan ahli neraka sehingga dia pun masuk neraka. Dan sesungguhnya salah seorang kalian akan beramal dengan amalan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tersisa satu hasta, namun catatan takdir mendahuluinya, maka dia beramal dengan amalan ahli surga, sehingga dia pun masuk surga."([132])

(Muttafaq 'Alaih).

43- HR. Bukhari, Kitāb Bad`ul-Khalq (6/303 no. 3208), Kitāb Al-Anbiyā` (6/363 no. 3332), Kitāb Al-Qadar (11/477 no. 6594), dan Kitāb At-Tauḥīd (13/440 no. 7454) dan Muslim, Kitāb Al-Qadar (4/2036 no. 2643).

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (11/479),

"Yang dimaksud dengan nuṭfah ialah air mani. Arti aslinya ialah air jernih yang sedikit. Kaidah utama dalam hal itu bahwa air mani laki-laki bila bertemu dengan air mani perempuan lewat hubungan badan dan Allah berkehendak untuk menciptakan darinya seorang janin, maka Allah akan menyiapkan sebab-sebab untuk itu."

Ibnul-Aṡīr berkata di dalam An-Nihāyah, "Boleh jadi yang dimaksud dengan pengumpulan penciptaan ialah berdiamnya air mani dalam rahim. Artinya air mani bertahan selama empat puluh hari, ia tertutup di dalamnya hingga siap diberikan bentuk lalu setelah itu ia dibentuk dan diciptakan."

ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةٌ (kemudian menjadi segumpal darah); kata "يَكُوْنُ" di sini berarti menjadi. Artinya ia akan berada pada fase itu selama empat puluh hari kemudian berpindah ke fase berikutnya.

'Alaqah ialah darah yang beku dan keras. Dinamakan demikian karena kandungan basah yang dimilikinya serta keterikatannya pada apa yang dilintasinya.

Muḍgah ialah gumpalan daging. Dinamakan demikian karena ia memiliki ukuran sebesar yang bisa dikunyah.

Yang dimaksud dengan pencatatan rezeki ialah penentuan sedikit atau banyaknya dan keterangan halal atau haramnya. Yang dimaksud dengan ajal ialah penentuan apakah ia panjang atau pendek? Dan yang dimaksud dengan amal ialah amal baik atau buruk.

Makna "(penentuan) sengsara atau bahagia" ialah malaikat mencatat salah satu dari dua kalimat tersebut. Misalnya, malaikat mencatat ajal janin ini begini, rezekinya begini, amalnya begini, dan dia sengsara dilihat pada kesudahannya ataupun bahagia dilihat pada kesudahannya, sebagaimana ditunjukkan oleh hadis ini.

Di dalam hadis ini terkandung anjuran untuk bersikap kanaah dan peringatan keras dari sikap rakus. Karena rezeki itu, bila telah ditentukan, maka mengejarnya tidak akan menjadikan kaya. Hanya saja kita diperintahkan bekerja karena merupakan salah satu faktor yang dikonsekuensikan oleh hikmah kehidupan di alam dunia ini.

Di dalamnya juga terkandung pelajaran bahwa amal perbuatan adalah sebab masuk surga atau neraka. Dan hal ini tidak bertentangan dengan hadis "Salah seorang kalian tidak akan masuk surga dengan amalnya."([133])([134]) Karena kalaulah bukan karena rahmat Allah kepada hamba-Nya, niscaya Allah tidak akan memasukkannya ke dalam surga. Amal semata, sekalipun tidak terhitung, itu saja tidak akan memastikan masuk surga dan tidak bisa dijadikan sebagai penukarnya. Kalaupun sebuah amal dilakukan sesuai dengan yang Allah inginkan maka ia tidak akan sebanding dengan nikmat Allah. Bahkan, semua amalnya tidak akan setara dengan satu nikmat. Sehingga seluruh nikmat lainnya menuntut harus disyukuri sementara dia tidak akan mampu mensyukurinya dengan sempurna. Bila Allah menyiksanya dengan keadaan seperti ini, pastilah Allah menyiksanya sementara Dia tidak zalim. Dan bila Allah merahmatinya dalam keadaan seperti ini, maka rahmat-Nya lebih baik dari amalnya. Hadis ini juga menunjukkan bahwa orang yang tercatat sengsara tidak diketahui kondisinya di dunia. Demikian juga sebaliknya. Tetapi barangkali dapat diketahui melalui tanda yang melahirkan dugaan kuat. Dan hal itu menjadi semakin kuat pada orang yang terkenal memiliki lisan yang jujur dalam kebaikan dan kesalehan.

Di dalamnya juga terkandung anjuran untuk meminta perlindungan kepada Allah dari sū`ul-khātimah (kesudahan yang buruk).

 ·     Malaikat Mendatangi Nuṭfah Setelah Ia Stabil di Dalam Rahim

44- Ḥużaifah bin Asīd -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan dan dia menisbahkannya kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, bahwa beliau bersabda,

"Malaikat itu masuk kepada nuṭfah setelah ia berumur 40 atau 45 hari di dalam rahim. Dia berkata, 'Wahai Rabb-ku! Apakah ia sengsara atau bahagia?' Maka keduanya ditulis. Lalu dia bertanya lagi, 'Wahai Rabbku, apakah laki-laki atau perempuan?' Maka keduanya ditulis. Kemudian dicatat juga tentang amalnya, umurnya, ajalnya, dan rezekinya. Kemudian lembaran catatan takdir dilipat, tidak ditambah dan tidak dikurangi."([135])

(HR. Muslim).

44- HR. Muslim, Kitāb Al-Qadar (4/2037 no. 2644). Juga hadis yang sama diriwayatkan oleh Muslim (4/2038) dari jalur Ikrimah bin Khālid dan Kulṡūm, dari Abu Aṭ-Ṭufail, dari Ḥużaifah.

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (11/482),

Jenis "lām" pada kata (المَلَكُ) ialah 'ahdiyyah. Maksudnya yang diketahui secara khusus, yaitu malaikat yang ditugaskan pada rahim. Sebagaimana yang sahih dalam riwayat Hużaifah bin Asīd, "Bahwa seorang malaikat yang ditugaskan pada rahim ..."

 ·     Allah Menciptakan Para Penghuni untuk Surga Ketika Mereka Masih dalam Sulbi Ayah Mereka dan Menciptakan Para Penghuni untuk Neraka Ketika Mereka Masih dalam Sulbi Ayah Mereka

45- Dalam Sahih Muslim, Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- meriwayatkan,

Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- pernah diundang menghadiri jenazah seorang anak kecil dari kaum Ansar. Lantas aku berkata, "Keberuntungan baginya; ia adalah burung di antara burung-burung surga. Dia belum pernah berbuat keburukan dan belum mendapatkannya." Maka beliau bersabda,

"Ataukah kebalikannya, wahai Aisyah! Sesungguhnya Allah telah menciptakan bagi surga penghuni-penghuni. Allah menciptakan mereka untuknya ketika mereka masih dalam sulbi ayah-ayah mereka. Allah juga telah menciptakan bagi neraka penghuni-penghuni. Allah menciptakan mereka untuknya ketika mereka masih dalam sulbi ayah-ayah mereka."([136])

45- HR. Muslim, Kitāb Al-Qadar (4/2050 no. 2662).

An-Nawawiy berkata (16/207),

"Ulama-ulama kaum muslimin yang kredibel telah bersepakat bahwa anak-anak kaum muslimin yang meninggal termasuk penghuni surga karena dia belum mukalaf. Sementara sebagian lainnya yang tidak kredibel tidak memilih pendapat apa pun karena adanya hadis Aisyah ini.

Para ulama menjawab, barangkali beliau melarang Aisyah dari sikap terburu-buru dalam memastikan tanpa memiliki dalil yang pasti. Sebagaimana beliau mengingkari Sa'ad bin Abi Waqqās ketika dia berkata, 'Berikan dia karena aku melihatnya seorang mukmin'. Yaitu beliau bersabda, "Atau dia seorang muslim?" ...([137])

Ada juga kemungkinan bahwa beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengucapkan hal ini sebelum mengetahui bahwa anak-anak kaum muslimin berada di surga. Lalu setelah mengetahuinya, beliau menyampaikannya dalam sabda beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Tidaklah seorang muslim ditinggal mati oleh tiga orang anaknya yang belum balig, kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan sebab rahmat-Nya kepada mereka."([138])([139]) Dan hadis-hadis lainnya. Wallāhu a'lam.

Adapun terkait nasib anak-anak kecil kaum musyrikin, maka terdapat tiga pendapat. Mayoritas ulama berpendapat mereka di neraka mengikuti ayah mereka. Sementara satu golongan memilih tawaqquf (tidak berpendapat). Dan pendapat yang ketiga -dan ini yang sahih- yang dipegang oleh para ulama peneliti bahwa mereka termasuk penghuni surga. Hal itu ditunjukkan oleh beberapa perkara, di antaranya hadis Ibrahim -'alaihis-salām-, Yaitu ketika Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- melihatnya di surga bersama anak-anak manusia. Dia berkata, "Wahai Rasulullah! ِApakah juga anak-anak kaum musyrikin (menjadi pelayan surga)?" Beliau menjawab, "Juga anak-anak kaum musyrikin." (HR. Bukhari dalam Ṣaḥīḥ-nya).

 ·     Segala Sesuatu Berdasarkan Takdir

18/46- Ibnu Umar -raḍiyallāhu 'anhumā- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Segala sesuatu itu terjadi sesuai takdir, sampai lemah dan giat (dalam beraktifitas)."([140])

(HR. Muslim).

46- HR. Malik dalam Al-Muwaṭṭa`, Kitāb Al-Qadar (2/899); dari jalur beliau diriwayatkan oleh Muslim, Kitāb Al-Qadar (4/2045 no. 2655) dan Bukhāri dalam Khalq Af'āl Al-'Ibād" [25]

العَجْزُ: tidak mampu. Ada yang lain berpendapat, yaitu meninggalkan apa saja yang wajib dilaksanakan atau menundanya dari waktunya. Kemungkinan maksudnya adalah lemah melakukan ketaatan.

الكَيْسُ: kebalikan dari al-'ajz, yaitu artinya semangat dan ketelitian pada urusan. Maksudnya, "Orang yang tidak mampu, ketidakmampuannya telah ditetapkan. Orang yang pintar maka kepintarannya juga telah ditetapkan.

 ·     Makna Firman Allah, "Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril)."[147]

47- Qatādah -raḍiyallāhu 'anhu- ketika menafsirkan firman Allah -Ta'ālā-, "Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan"([141])(QS. Al-Qadr: 4), dia berkata, "Pada malam itu Allah menetapkan takdir satu tahun ke depan."

(HR. 'Abdur-Razzāq dan Ibnu Jarīr).

Yang semakna dengannya telah diriwayatkan dari Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā-, Al-Ḥasan, Abu Abdirrahman As-Sulamiy, Sa'īd bin Jubair, dan Muqātil.

47- HR. 'Abdur-Razzāq dalam Tafsirnya (3/386) dan Ibnu Jarīr (15/260). Lihat Ad-Durr Al-Manṡūr (8/568-569).

 ·     Lauḥ Maḥfūẓ Terbuat dari Mutiara Putih

48- Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā- berkata, "Allah menciptakan Lauḥ Maḥfūẓ dari mutiara putih, kedua sampulnya dari yakut merah, penanya dari cahaya, lembarannya dari cahaya, lebarnya sebesar antara langit dan bumi, setiap hari Allah melihat padanya sebanyak 360 kali, di setiap kalinya Dia menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, mengangkat, merendahkan, dan mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya. Itulah maksud firman Allah -Ta'ālā-: 'Setiap waktu Dia dalam kesibukan.'"([142]) (QS. Ar-Raḥmān: 29).

(HR. 'Abdur-Razzāq, Ibnul-Munżir, Aṭ-Ṭabarāniy, dan Al-Ḥākim).

Setelah menyebutkan hadis-hadis ini dan hadis lainnya yang semakna dengannya, Ibnul-Qayyim -raḥimahullāh- berkata,([143])

"Ini adalah takdir harian, yang sebelumnya adalah takdir tahunan, yang sebelumnya lagi adalah takdir sepanjang umur ketika ditiupkan padanya nyawa, kemudian yang sebelumnya lagi ketika awal ia diciptakan dalam bentuk segumpal daging, lalu yang sebelumnya lagi adalah takdir sebelum ia ada tetapi setelah penciptaan langit dan bumi, dan yang sebelumnya lagi adalah takdir 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Masing-masing dari takdir ini seperti perincian dari takdir sebelumnya.

Itu semuanya mengandung petunjuk tentang kesempurnaan ilmu, kodrat, dan hikmah Allah serta banyaknya pengenalan Allah kepada malaikat dan hamba-hamba-Nya yang beriman tentang diri-Nya dan nama-nama-Nya."

Kemudian beliau berkata,

"Hadis-hadis ini dan hadis lainnya yang semisal sepakat menyatakan bahwa takdir yang telah ada tidak menjadi penghalang dari beramal ataupun menjadi sebab berpangku tangan dan berserah diri kepada takdir. Bahkan hal itu melahirkan kesungguhan dan semangat.

Oleh karena itu, ketika mendengarnya sebagian sahabat berkata, 'Belum pernah aku bersemangat lebih dari semangatku yang sekarang.'

Abu Uṡmān An-Nahdiy berkata kepada Salmān, 'Sungguh aku lebih berbahagia dengan takdirku yang pertama daripada kebahagiaanku dengan amalku.'

Yang demikian itu, karena bila sebelumnya Allah telah menetapkan baginya sebuah takdir kemudian Allah mempersiapkannya serta memudahkan dirinya untuk menggapai takdirnya, maka kebahagiaannya dengan takdir yang Allah tetapkan baginya sebelum itu lebih besar daripada kebahagiaannya dengan sebab-sebab yang datang setelahnya."

48- HR. 'Abdur-Razzāq, Ibnul-Munżir, Al-Ḥākim, Aṭ-Ṭabarāniy (12/72 no. 12511) dari jalur Ziyād bin Abdullah, dari Laiṡ, dari Abdul Malik bin Sa'īd bin Jubair, dari ayahnya, dari Ibnu 'Abbās secara marfū'.

Al-Haiṡamiy berkata (3/221), "Di dalam sanadnya terdapat Laiṡ bin Abu Sulaim, dia seorang ṡiqah tetapi mudallis. Sedangkan rawi-rawi lainnya semuanya ṡiqah."

 ·     Beriman kepada Takdir Melahirkan Nikmatnya Iman

49- Al-Walīd bin 'Ubādah berkata, Aku masuk menemui ayahku ketika dia sakit. Aku membayangkan dia akan meninggal. Aku berkata, "Wahai ayahku! Berikanlah aku wasiat, dan bersemangatlah untukku." Dia berkata (kepada orang-orang di sekitarnya), "Dudukkanlah aku." Setelah mereka mendudukkannya, dia berkata, "Wahai anakku! Engkau tidak akan menikmati keimanan dan tidak akan menggapai hakikat mengenal Allah -Tabāraka wa Ta'ālā- sampai engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk." Aku bertanya, "Wahai ayahku! Bagaimana aku mengetahui mana takdir yang baik dan yang buruk?" Dia berkata, "Yaitu engkau meyakini bahwa apa yang tidak ditakdirkan padamu maka tidak akan menimpamu, dan apa yang ditakdirkan menimpamu maka tidak akan luput darimu. Anakku! Aku mendengar Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

'Pertama kali yang diciptakan Allah adalah pena. Allah berfirman, 'Tulislah.' Maka pena menulis pada waktu itu juga semua yang akan ada hingga hari Kiamat ...'' Anakku! Bila engkau meninggal dunia bukan di atas itu, engkau pasti masuk neraka."([144])

(HR. Ahmad).

49- Sahih; HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/317) dan Ibnu Abi 'Āṣim dalam As-Sunnah (1/48 no. 103) dari jalur Ibnu Lahī'ah, dari Yazīd bin Abi Ḥabīb, dari Al-Walīd bin 'Ubādah, dari ayahnya secara ringkas. Ibnu Abi 'Āṣim juga meriwayatkan (1/51 no. 111) bagian awalnya dari jalur Sulaiman bin Ḥabīb Al-Muḥāribiy, dari Al-Walīd bin 'Ubādah, dari ayahnya.

Juga diriwayatkan oleh Tirmizi, Kitāb Al-Qadar (4/398 no. 2155) dari jalur Yaḥyā bin Musā; dia berkata, telah bercerita kepada kami Abu Daud Aṭ-Ṭayālisiy; ia berkata, telah bercerita kepada kami 'Abdul-Wāḥid bin Sulaim; dari Aṭā`; dari Al-Walīd, dan ada kisah di dalamnya. Juga diriwayatkan oleh Tirmizi, Kitāb At-Tafsīr (5/394 no. 3319) dan Ibnu Abi 'Āṣim dalam As-Sunnah (1/49 no. 105) dari jalur Abu Daud Aṭ-Ṭayālisiy; dia berkata, telah bercerita kepada kami 'Abdul-Wāḥid bin Sulaim; dari 'Aṭā` bin Abi Rabāḥ; ia berkata, telah bercerita kepadaku Al-Walīd; dari ayahnya, secara ringkas. Tirmizi berkata, "Hasan garib." Juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (5/317) dari jalur Ibrāhīm bin Abu 'Ablah, dari Abu Hafṣah, bahwa 'Ubādah berkata kepada putranya ...

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi 'Āṣim (1/48 no. 104) dari jalur Abdullah bin As-Sā`ib, dari 'Atā`, dari Al-Walīd.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad (5/317) dan Ibnu Abi 'Āṣim (1/50 no. 107) dari jalur Mu'āwiyah bin Ṣāliḥ; dia berkata, telah bercerita kepada kami Abu Zaid Al-Ḥimṣiy; dari 'Ubādah bin Al-Walīd bin 'Ubādah.

Juga diriwayatkan oleh Al-Ājurriy (178) dari jalur Az-Zuhriy, dari Muhammad bin 'Ubādah, dari ayahnya.

Hadis ini memiliki banyak syāhid (hadis penguat) yang berasal dari hadis Ibnu 'Abbās dan Ibnu Umar. Lihat As-Sunnah karya Ibnu Abi 'Āṣim (1/49-51).

 ·     Perintah Berobat dan Melakukan Sebab

50- Abu Khizāmah meriwayatkan dari ayahnya -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, Aku bertanya, "Wahai Rasulullah! Apa pendapatmu tentang rukiah yang biasa kami baca serta pengobatan yang biasa kami lakukan, apakah dapat menolak sebagian takdir Allah?" Beliau bersabda,

"Itu semua termasuk dari takdir Allah."([145])

(HR. Ahmad dan Tirmizi dan dia menyatakannya sebagai hadis hasan).

50- Sahih; HR. Ahmad (3/421); Tirmizi, Kitāb Aṭ-Ṭibb (4/349 no. 2065) dan Kitāb Al-Qadar (4/395 no. 2148); dan Ibnu Majah, Kitāb Aṭ-Ṭibb (2/1137 no. 3437), semuanya dari jalur Sufyān bin 'Uyainah, dari Az-Zuhriy, dari Abu Khizāmah.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad (3/421) dari jalur Muhammad bin Al-Walīd Az-Zubaidiy, dari Az-Zuhriy.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad (3/421) dari jalur 'Amr, dari Ibnu Syihāb.

Tirmizi berkata, "Hasan sahih."

Disebutkan dalam Musnad Ahmad dan salah satu riwayat dalam riwayat Tirmizi dan Ibnu Majah: Ibnu Abi Khizāmah, dari ayahnya.

 ·     Mukmin yang Kuat Lebih Baik dan Lebih Disukai Allah daripada Mukmin yang Lemah

51- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, meskipun masing-masing memiliki sisi kebaikan. Maka fokuslah pada apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah! Jika ada sesuatu yang menimpamu, maka jangan katakan, 'Andai aku melakukan ini itu, tentu hasilnya seperti ini.' Tetapi ucapkanlah, 'Telah ditetapkan oleh Allah. Apa yang Allah kehendaki, maka Dia melakukannya.' Karena kata-kata 'andainya' bisa membuka peluang untuk setan."([146])

(HR. Muslim).

51- HR. Muslim, Kitāb Al-Qadar (4/2050 no. 2662).

    BAB PEMBAHASAN TENTANG MALAIKAT -'ALAIHIMUSSALĀM- DAN MENGIMANI MEREKA

Firman Allah -Ta'ālā-, "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi ..." ([147]) (QS. Al-Baqarah: 177).

Juga firman Allah -Ta'ālā-, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami adalah Allah' kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.'"([148]) (QS. Fuṣṣilat: 30).

Juga firman Allah -Ta'ālā-, "Almasih sama sekali tidak enggan menjadi hamba Allah, dan begitu pula para malaikat yang terdekat (kepada Allah)."([149]) (QS. An-Nisā`: 172).

Juga firman Allah -Ta'ālā-, "Dan milik-Nya siapa yang di langit dan di bumi. Dan (malaikat-malaikat) yang di sisi-Nya, tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka bertasbih tidak henti-hentinya sepanjang malam dan siang."([150]) (QS. Al-Anbiyā`: 19-20).

Juga firman Allah -Ta'ālā-, "Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat ..."([151]) (QS. Fāṭir: 1).

Juga firman Allah -Ta'ālā-, "(Malaikat-malaikat) yang memikul Arasy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih dengan memuji Tuhan mereka dan mereka beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman ..."([152]) (QS. Gāfir: 7).

 ·     Malaikat Diciptakan dari Cahaya

52- Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Malaikat itu diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang telah diterangkan kepada kalian."([153])

(HR. Muslim).

52- HR. Muslim, Kitāb Az-Zuhd (4/2294 no.2996).

الْجَانُّ: jin.

المَارِجُ: nyala api yang bercampur dengan api yang hitam.

Al-'Allāmah Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bāz -raḥimahullāh- berkata,

"Iman kepada malaikat mencakup mengimani mereka secara umum dan rinci. Yaitu seorang muslim beriman bahwa Allah memiliki malaikat yang Dia ciptakan untuk taat kepada-Nya dan menyifati mereka bahwa mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka tidak mendahului-Nya dalam ucapan, dan mereka selalu melaksanakan perintah-Nya ...

Mereka terbagi menjadi banyak jenis. Di antara mereka ada yang bertugas memikul Arasy. Ada yang menjadi penjaga surga dan neraka. Ada juga yang bertugas mencatat amal perbuatan hamba.

Kita mengimani secara rinci malaikat-malaikat yang telah disebutkan namanya oleh Allah dan Rasul-Nya, di antaranya Jibril, Mikā`īl, Mālik sang penjaga neraka, dan Isrāfīl yang bertugas meniup sangkakala."

 ·     Setiap Hari Ada 70 Ribu Malaikat yang Masuk ke Baitulmakmur

53- Disebutkan di sebagian hadis tentang mikraj bahwa Baitulmakmur yang berada di langit ketujuh -atau konon di langit keenam- diperlihatkan kepada Nabi ṣallallāhu 'alaihi wa sallam, ia kedudukannya sama dengan Kakbah di bumi. Posisinya lurus dengan Kakbah. Kehormatannya di langit sama seperti kehormatan Kakbah di bumi. Ternyata setiap hari ada 70 ribu malaikat yang masuk kepadanya, kemudian mereka tidak kembali lagi, yang demikian itu adalah yang terakhir bagi mereka.([154])

53- HR. Bukhari, Kitāb Bad`ul-Khalq (6/302 no. 3207) dan Muslim, Kitāb Al-Īmān (1/149 no. 164).

Juga diriwayatkan oleh Muslim (1/145 no. 259) dari jalur Ṡābit Al-Bunāniy, dari Anas, dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-.

54- Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Tidaklah ada di langit tempat seukuran kaki kecuali padanya seorang malaikat bersujud atau berdiri salat. Itulah makna ucapan malaikat([155]): 'Dan sesungguhnya kami selalu teratur dalam barisan (dalam melaksanakan perintah Allah). Dan sungguh, kami benar-benar terus bertasbih (kepada Allah).'"([156]) (QS. Aṣ-Ṣāffāt: 165-166).

(HR. Muhammad bin Naṣr, Ibnu Abi Ḥātim, Ibnu Jarīr, dan Abu Asy-Syaikh).

54- Sahih; HR. Muhammad bin Naṣr Al-Marwaziy dalam kitab Aṣ-Ṣalāh (1/260), Ibnu Jarīr Aṭ-Ṭabariy dalam At-Tafsīr (23/111-112), Abu Asy-Syaikh dalam Al-'Aẓamah (3/984 no. 508), semuanya dari jalur Al-Faḍl bin Khālid Abu Mu'āẓ An-Naḥwiy; dia berkata, telah bercerita kepada kami 'Ubaid bin Sulaimān; dia berkata, aku mendengar Aḍ-Ḍaḥḥāk -raḥimahullāh- ketika menafsirkan firman Allah: "Dan sesungguhnya kami selalu teratur dalam barisan (dalam melaksanakan perintah Allah). Dan sungguh, kami benar-benar terus bertasbih (kepada Allah)", dia berkata, "Masrūq bin Al-Ajda' meriwayatkan dari Aisyah bahwa dia mengabarkan, Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda ..."

Di dalam sanadnya terdapat Al-Faḍl bin Khālid, dia tidak dinyatakan ṡiqah kecuali oleh Ibnu Ḥibbān. Namun hadis ini memiliki banyak syāhid dari hadis Abu Żarr yang telah dibawakan di footnote no. 15.

Lihat juga: Al-'Aẓamah karya Abu Asy-Syaikh (3/982-986), Aṣ-Ṣalāh karya Al-Marwaziy, dan As-Silisilah Aṣ-Ṣaḥīḥah (no. 1059).

55- Aṭ-Ṭabarāniy meriwayatkan dari Jābir bin Abdillah -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Tidaklah ada di langit yang tujuh tempat seukuran kaki atau jengkal maupun telapak tangan kecuali di sana ada seorang malaikat yang berdiri salat atau yang sujud maupun yang rukuk. Bila kiamat tiba mereka semua mengatakan, 'Mahasuci Engkau. Kami belum beribadah kepada-Mu dengan sebenar-benar ibadah kepada-Mu! Hanya saja kami tidak menyekutukan-Mu dengan sesuatu pun.'"

55- HR. Aṭ-Ṭabarāniy dalam Al-Kabīr (2/200 no. 1751) dari jalur 'Urwah bin Marwān dan Al-Marwaziy dalam Ta'ẓīm Aṣ-Ṣalāh (1/267) dari jalur Zakaria bin 'Adiy; keduanya dari 'Ubaidillāh bin 'Amr bin Abdul Karim bin Mālik, dari 'Aṭā` bin Abi Rabāh, dari Jābir. Al-Ḥaiṡamiy berkata dalam Majma' Az-Zawā`id (1/52), "Di dalam sanadnya terdapat 'Urwah bin Marwān."

Saya katakan: ia telah dikuatkan oleh Zakaria bin 'Adiy dalam riwayat Al-Marwaziy.

Juga dikuatkan oleh hadis sebelumnya dan yang lainnya.

 ·     Sifat Para Malaikat Pemikul Arasy

56- Jābir -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Aku diizinkan untuk bercerita tentang salah satu malaikat Allah yang memikul Arasy, bahwa jarak antara bagian bawah daun telinganya dengan pundaknya sejauh perjalanan tujuh ratus tahun."([157])

(HR. Abu Daud, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmā` wa Aṣ-Ṣifāt, dan Aḍ-Ḍiyā` dalam Al-Mukhtārah).

Di antara pembesar mereka adalah Jibril -'alaihissalām-. Allah -Ta'ālā- telah menyifatinya dengan sifat amanah, keindahan rupa, dan kuat. Allah -Ta'ālā- berfirman, "Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai rupa indah; maka (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli (rupa yang bagus dan perkasa)."([158]) (QS. An-Najm: 5-6).

Di antara yang menunjukkan kekuatan dahsyatnya ialah bahwa ia mengangkat perkampungan-perkampungan kaum Lūṭ -'alaihissalām- yang berjumlah tujuh perkampungan berikut penduduk yang tinggal di dalamnya yang berjumlah mendekati 400 ribu orang serta kendaraan dan hewan ternak yang mereka miliki, termasuk juga pertanahan dan bangunan-bangunan yang ada di perkampungan-perkampungan tersebut, di atas ujung sayapnya sampai mencapai ujung langit, hingga para malaikat mendengar gonggongan anjing mereka serta kokok ayam mereka, kemudian dibaliknya dengan menjadikan bagian atasnya menjadi bawah.

Seperti inilah Jibril yang sangat kuat.

Firman Allah "ذُوْ مِرَّةٍ": yang memiliki rupa bagus dan indah serta kekuatan besar.

Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā- menafsirkan yang semakna dengan ini.

Yang lain mengatakan, "ذُوْ مِرَّةٍ" maksudnya yang kuat.

Allah -Ta'ālā- berfirman menerangkan sifatnya, "Sesungguhnya (Al-Qur`ān) itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang memiliki kekuatan, memiliki kedudukan tinggi di sisi (Allah) yang memiliki Arasy, dan di sana (di alam malaikat) ditaati dan dipercaya."([159]) (QS. At-Takwīr: 19-21). Maksudnya: memiliki kekuatan tinggi, dan memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Pemilik Arasy. "Yang di sana (di alam malaikat) ditaati dan dipercaya."([160]) Maksudnya: ditaati di dunia malaikat, terpercaya dan memiliki amanah besar, oleh karena itu ia menjadi perantara antara Allah dengan rasul-rasul-Nya.

56- Sahih; HR. Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (4/332 no. 4727) dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmā` wa Aṣ-Ṣifāt (846) dari jalur Ibrahim bin Ṭahmān, dari Musa bin 'Uqbah, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jābir bin Abdillah.

Juga diriwayatkan oleh Abu Nu'aim (3/158) dari Jābir dan Ibnu 'Abbās dengan redaksi yang semisalnya, tetapi di dalamnya terdapat tambahan.

Abu Nu'aim berkata, telah bercerita kepada kami Abdullah bin Khālid Al-Makkiy Ibnu 'Abdān; ia berkata, telah bercerita kepada kami Sa'īd bin Muhammad; ia berkata, telah bercerita kepada kami Ja'far bin Umar; ia berkata, telah bercerita kepada kami Muhammad bin 'Ajlān; dari Muhammad; dari Jābir dan Ibnu 'Abbās.

Hadis ini memiliki syāhid dari hadis Anas, diriwayatkan oleh Aṭ-Ṭabarāniy dalam Al-Ausaṭ (2/425) dan disahihkan oleh Al-Ḥāfiẓ dalam Fatḥul-Bārī (8/665).

Lihat: As-Silsilah Aṣ-Ṣaḥīḥah (no. 150-151).

 ·     Sayap-sayap Jibril -'Alaihissalām-

57- Jibril biasanya datang kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dengan rupa yang bermacam-macam dan beliau pernah melihatnya dengan rupa aslinya sebagaimana yang Allah ciptakan sebanyak dua kali dan ia memiliki enam ratus sayap.

Sebagaimana hal itu diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Mas'ūd -raḍiyallāhu 'anhu-.

57- HR. Bukhari, Kitāb Bad`ul-Khalq (6/313 no. 3332) dan Kitāb At-Tafsīr (8/610 no. 4856 & 4857) dan Muslim, Kitāb Al-Īmān (1/158) (no. 174).

58- Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah, dia berkata, "Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- pernah melihat Jibril dalam rupa aslinya; ia memiliki enam ratus sayap, setiap sayapnya menutupi cakrawala, dan dari sayapnya berjatuhan aneka perhiasan, mutiara, dan yakut yang hanya diketahui oleh Allah."([161])

Sanadnya qawiy (kuat).

58- Sahih; HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/395) dari jalur Ḥajjāj, dia berkata, telah bercerita kepada kami Syarīk bin 'Āṣim, dari Abu Wā`il, dari Ibnu Mas'ūd.

Juga diriwayatkan oleh Abu Asy-Syaikh dalam Al-'Aẓamah (3/978 no. 502) dari jalur Ādam, dari Syarīk.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (1/407) dari jalur Ḥusain, dari 'Āṣim, dari Abu Wā`il.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad (1/412 & 460), Abu Asy-Syaikh (3/977 no. 501), Abu Ya'lā (8/409 no. 4993 - 9/243 no. 5360) dari jalur Ḥammād bin Salamah, dari 'Āṣim, dari Zirr, dari Abdullah bin Mas'ūd.

Hadis ini masih memiliki banyak jalur lainnya sebagaimana dibawakan oleh Ibnu Kaṡīr dalam Al-Bidāyah wa An-Nihāyah, dan dia berkata, "Semua sanad-sanad ini yang jayyid (bagus) dan qawiy (kuat) dan hanya diriwayatkan Ahmad secara sendiri.

 ·     Sifat Pakaian Jibril

59- Abdullah bin Mas'ud -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, "Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- pernah melihat Jibril menggunakan setelan pakaian hijau memenuhi antara langit dan bumi."([162])

(HR. Muslim).

59- HR. Tirmizi, Kitāb At-Tafsīr (5/369 no. 3283); Ahmad dalam Al-Musnad (1/394, 418); Abu Ya'lā dalam Musnad-nya (8/434 no. 5018); dan Al-Baihaqiy dalam Dalā`il An-Nubuwwah (2/367), seluruhnya dari jalur Isrā`īl, dari Abu Isḥāq, dari Abdurrahman bin Yazīd, dari Abdullah dengan hadis yang semisal dengannya.

Juga diriwayatkan oleh Aṭ-Ṭayālisiy (43 no. 323) dari jalur Qais, dari Abu Isḥāq dengan sanad seperti di atas dan dengan redaksi yang semaknanya.

Namun aku tidak mendapatkan hadis ini dalam Ṣaḥīḥ Muslim. As-Suyūṭiy berkata dalam Ad-Durr Al-Manṡūr (6/123), "Diriwayatkan oleh Al-Firyābiy, 'Abd bin Ḥumaid, Tirmizi dan dia mensahihkannya, Ibnu Jarīr, Ibnul-Munżir, Aṭ-Ṭabaraniy, Abu Asy-Syaikh, Al-Ḥākim dan dia mensahihkannya, Ibnu Mardawaih, Abu Nu'aim, dan Al-Baihaqiy dalam Dalā`il An-Nubuwwah, dari Ibnu Mas'ūd -raḍiyallāhu 'anhu- ketika menafsirkan firman Allah -Ta'ālā-, "Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya"([163]) dia berkata, "Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- melihat Jibril menggunakan setelan sutra tipis berwarna hijau yang memenuhi antara langit dan bumi."([164])

60- Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Aku melihat Jibril turun dan ia memenuhi cakrawala memakai pakaian sutra halus bergelantungan padanya mutiara dan yakut."([165])

(HR. Abu Asy-Syaikh).

60- Aku tidak menemukannya dengan redaksi ini dalam Al-'Aẓamah karya Abu Asy-Syaikh. Yang aku dapatkan dalam Al-'Aẓamah karya Abu Asy-Syaikh (3/972 no. 495), dari Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā-, dia meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Aku melihat Jibril -'alaihissalām- turun dari langit, besar badannya memenuhi antara langit dan bumi."([166])

Barangkali penulis -raḥimahullāh- membawakannya secara makna.

Hadis ini diriwayatkan dengan redaksi ini oleh Muslim (1/158).

61- Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā-, dia berkata, "Jabrā`īl maksudnya Abdullah (hamba Allah). Mīkā`īl maksudnya 'Abīdullāh (hamba Allah). Semua nama yang mengandung 'īl' artinya hamba Allah."

61- HR. Aṭ-Ṭabariy (1620).

62- HR. Ibnu Jarīr dari Ali bin Al-Ḥusain yang semisal dengannya dengan tambahan, "Dan Isrāfīl maksudnya Abdurrahman (hamba Ar-Raḥmān)."

62- HR. Aṭ-Ṭabariy (1625 & 1655).

 ·     Jibril: Malaikat yang Paling Utama

63- Aṭ-Ṭabarāniy meriwayatkan dari Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā-, dia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Maukah kalian aku kabari malaikat yang paling utama? Yaitu Jibril."

63- Aṭ-Ṭabarāniy meriwayatkan dalam Al-Kabīr (11/160 no. 11361): Ibrahim bin Nā`ilah Al-Aṣbahāniy bercerita kepada kami; ia berkata, telah bercerita kepada kami Syaibān bin Farrūkh; ia berkata, telah bercerita kepada kami Nāfi' Abu Hurmuz; dari Aṭā` bin Abi Rabāh; dari Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā-, dia meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Maukah kalian aku kabari malaikat yang paling afdal?! Yaitu Jibril -'alaihissalām-. Sedangkan nabi yang paling afdal adalah Adam, dan perempuan yang paling afdal adalah Maryam binti 'Imrān."

Al-Haiṡamiy berkata dalam Majma' Az-Zawā`id (8/198), "Dalam sanadnya terdapat Nāfi' bin Hurmuz, seorang matrūk (hadisnya ditinggalkan)."

Dia juga berkata (3/140), "Dia seorang yang daif."

Seperti itu juga yang dia katakan pada (2/165).

 ·     Rasa Takut Malaikat terhadap Api Neraka

64- Abu 'Imrān Al-Jauniy meriwayatkan bahwa sampai kepadanya berita bahwa Jibril datang menemui Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sambil menangis. Maka Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bertanya padanya,

"Apa yang membuatmu menangis?"

Ia menjawab, "Bagaimana aku tidak menangis?! Demi Allah! Mataku tidak pernah kering sejak neraka diciptakan Allah, karena aku khawatir akan bermaksiat kepada-Nya lalu aku dilemparkan ke dalamnya."

(HR. Imam Ahmad dalam Az-Zuhd).

64- As-Suyūṭiy menisbahkannya ke kitab Az-Zuhd dalam Ad-Durr Al-Manṡūr (1/93), namun aku tidak menemukannya dalam naskah cetakannya.

Abu 'Imrān Al-Jauniy memiliki nama Abdul Malik bin Ḥabīb, yaitu seorang tabiin ṡiqah, sehingga hadis ini dihukumi mursal.

 ·     Malaikat Tidak Turun ke Bumi Kecuali dengan Izin Allah

65- Bukhari meriwayatkan dari Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā-, dia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- berkata kepada Jibril,

"Tidakkah engkau mengunjungi kami lebih sering dari sekarang?"([167]) Maka turunlah ayat: "Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali atas perintah Tuhanmu. Milik-Nya segala yang ada di hadapan kita dan yang ada di belakang kita ..."([168]) (QS. Maryam: 64).

Di antara pembesar para malaikat adalah Mikail -'alaihissalām- yang ditugasi mengurus hujan dan tumbuhan.

65- HR. Bukhari, Kitāb Bad`ul-Khalq (6/305 no. 2218), At-Tafsīr (8/428 no. 4731), dan At-Tauḥīd (13/440 no. 7456).

66- Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas -raḍiyallāhu 'anhu- bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- berkata kepada Jibril,

"Kenapa aku sama sekali tidak pernah melihat Mikail tertawa?" Jibril menjawab, "Mikail tidak pernah tertawa semenjak neraka diciptakan."([169])

Di antara pembesar para malaikat adalah Israfil -'alaihissalām- yang merupakan salah satu malaikat pemikul Arasy dan yang bertugas meniup sangkakala.

66- Diriwayatkan oleh Ahmad (3/244); beliau berkata, telah bercerita kepada kami Abul-Yamān; ia berkata, telah bercerita kepada kami Ibnu 'Ayyāsy; dari 'Umārah bin Gaziyyah Al-Anṣāriy; bahwa dia mendengar Jubair bin 'Ubaid Maulā bin Al-Mu'allā, dia berkata, aku mendengar Ṡābit Al-Bunāniy meriwayatkan dari Anas dan seterusnya.

Juga diriwayatkan oleh Al-Ājurriy (hal. 395) dengan sanad yang sama.

Al-Haiṡamiy berkata dalam Majma' Az-Zawā`id (1/385), "Diriwayatkan oleh Ahmad dari riwayat Ismail bin 'Ayyāsy, dari al-madaniyyīn (orang-orang Madinah), dan riwayat ini daif, sedangkan perawi-perawi lainnya ṡiqah.

 ·     Malaikat Peniup Sangkakala Telah Meletakkan Sangkakala di Mulutnya untuk Ditiup

67- Tirmizi meriwayatkan -dan dia menghasankannya- juga Al-Ḥākim dari Abu Sa'īd Al-Khudriy -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Bagaimana mungkin aku bersenang-senang, sementara malaikat peniup sangkakala telah meletakkan sangkakala di mulutnya, menundukkan dahinya, dan memusatkan pendengarannya menanti perintah untuk meniup agar ia segera meniup?!"

Para sahabat bertanya, "Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Rasulullah?"

Beliau bersabda, "Ucapkanlah, 'Ḥasbunallāhu wa ni'mal-wakīl, 'alallāhi tawakkalnā (cukuplah Allah bagi kami, Allah sebaik-baik penolong; hanya kepada Allah kami berserah diri).'"([170])

67- HR. Ibnul-Mubārak dalam Az-Zuhd (557 no. 1597). Juga diriwayatkan oleh Tirmizi dari jalur yang sama, Kitāb Ṣifatul-Qiyāmah (4/536 no. 2431) serta Ahmad (4/374) dari jalur Khālid bin Ṭahmān, dari 'Aṭiyyah, dari Abu Sa'īd.

Juga diriwayatkan oleh Al-Ḥumaidiy (2/333 no. 754), Ahmad (3/7), dan Abu Nu'aim dalam Al-Ḥilyah (7/312) dari jalur Sufyān, dari Muṭarrif, dari 'Aṭiyyah.

Juga diriwayatkan oleh Al-Ḥākim (4/599) dari jalur Muṭarrif, dari 'Aṭiyyah.

Juga diriwayatkan oleh Abu Asy-Syaikh dalam Al-'Aẓamah (3/854 no. 397) dari jalur 'Ammār Ad-Duhniy, dari 'Aṭiyyah dan seterusnya.

Juga diriwayatkan oleh Abu Nu'aim (2/105) dari jalur Sufyān Aṡ-Ṡauriy, dari 'Amr bin Umayyah, dari 'Aṭiyyah dan seterusnya.

Di dalam sanadnya terdapat 'Aṭiyyah Al-'Aufiy dan dia seorang yang daif.

Namun riwayatnya telah diperkuat oleh riwayat Abu Ṣāliḥ;

sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Ya'lā (2/399 no. 1084) dan Ibnu Ḥibbān (3/105 no. 823) dari jalur Jarīr, dari Al-A'ṣar, dari Abu Ṣāliḥ, dari Abu Sa'īd.

Juga diriwayatkan oleh Abu Asy-Syaikh dalam Al-'Aẓamah (3/851 no. 396) dan Al-Ḥākim (4/559) dari jalur Al-A'masy, dari Abu Ṣāliḥ, dari Abu Sa'īd.

 ·     Sifat Israfil: Salah Satu Malaikat Pemikul Arasy

68- Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Salah seorang di antara malaikat-malaikat pemikul Arasy bernama Israfil. Salah satu sudut Arasy ada di atas tengkuknya, kedua telapak kakinya tembus ke dalam lapis bumi ketujuh yang paling bawah dan kepalanya tembus dari langit ketujuh yang paling atas." (HR. Abu Asy-Syaikh dan Abu Nu'aim dalam Al-Ḥilyah).

68- HR. Abu Asy-Syaikh (2/697 no. 288 - 3/949 no. 477) dan Abu Nu'aim dalam Al-Ḥilyah (6/65) dari jalur Muhammad bin Muṣaffā; dia berkata, telah bercerita kepada kami Yaḥyā bin Sa'īd; dari Ismā'īl bin 'Ayyāsy; dari Al-Aḥwaṣ bin Ḥakīm; dari Syahr bin Ḥausyab; dari Ibnu 'Abbās.

Di dalam sanadnya terdapat Yaḥyā bin Sa'īd Al-'Aṭṭār, seorang yang daif serta Al-Aḥwaṣ bin Ḥakīm, seorang yang lemah hafalannya.

69- Abu Asy-Syaikh meriwayatkan dari Al-Auzā'iy, dia berkata, "Tidak seorang pun di antara makhluk ciptaan Allah yang lebih bagus suaranya melebihi Israfil. Bila ia mulai bertasbih, maka suaranya menghentikan salat dan tasbih semua penghuni langit yang tujuh."

Di antara pembesar para malaikat adalah Malaikat Pencabut Nyawa (Malakulmaut) -'alaihis salām-.

Tidak disebutkan secara khusus tentang namanya dalam Al-Qur`ān maupun hadis-hadis yang sahih. Namun di sebagian aṡar disebutkan penamaannya dengan Izrail([171]). Adapun kebenarannya, maka Allah yang lebih tahu. Sebagaimana dibawakan oleh Al-Ḥāfiẓ Ibnu Kaṡīr. Beliau berkata, "Dilihat dari tugas yang diemban maka mereka terbagi menjadi beberapa kelompok:

- Malaikat pemikul Arasy.

- Al-Karūbiyyūn([172]); yaitu para malaikat yang ada di sekeliling Arasy. Mereka bersama malaikat-malaikat pemikul Arasy adalah malaikat yang paling mulia. Merekalah malaikat-malaikat yang didekatkan, sebagaimana firman Allah -Ta'ālā-, "Almasih sama sekali tidak enggan menjadi hamba Allah, dan begitu pula para malaikat yang terdekat (kepada Allah)."([173]) (QS. An-Nisā`: 172).

- Malaikat penghuni langit yang tujuh; yaitu mereka memakmurkannya dengan ibadah terus-menerus sepanjang siang dan malam serta sepanjang pagi dan petang; sebagaimana firman Allah -Ta'ālā-, "Mereka bertasbih tidak henti-hentinya sepanjang malam dan siang."([174]) (QS. Al-Anbiyā`: 20).

- Malaikat-malaikat yang bergantian masuk ke Baitulmakmur.

Saya katakan, "Yang tampak, bahwa malaikat-malaikat yang bergantian masuk ke Baitulmakmur adalah malaikat penghuni langit."

- Di antaranya juga, malaikat-malaikat yang ditugaskan mengurus surga, menyiapkan kemuliaan bagi penghuninya, menyiapkan jamuan bagi yang menempatinya; berupa pakaian, makanan, minuman, perhiasan, tempat tinggal, dan lain sebagainya yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan belum pernah terbesit di hati seorang manusia. - Diantaranya juga, malaikat-malaikat yang ditugaskan mengurus neraka -semoga Allah melindungi kita dari neraka-; yaitu para malaikat Zabāniyah dengan pemimpin mereka sebanyak tujuh belas malaikat. Sedangkan penjaganya adalah Mālik, yaitu pemimpin malaikat-malaikat penjaga neraka. Merekalah yang disebutkan dalam firman Allah -Ta'ālā-, "Dan orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka Jahanam, 'Mohonkanlah kepada Tuhanmu agar Dia meringankan azab atas kami sehari saja.'"([175]) (QS. Al-Mu`minūn: 49). Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Dan mereka berseru, 'Wahai (Malaikat) Mālik! Biarlah Tuhanmu mematikan kami saja.' Dia menjawab, 'Sungguh, kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).'"([176]) (QS. Az-Zukhruf: 77). Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Penjaganya ialah malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."([177]) (QS. At-Taḥrīm: 6). Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). Dan yang Kami jadikan penjaga neraka itu hanya dari malaikat ..."186] Sampai firman-Nya: "Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri."([178]) (QS. Al-Muddaṡṡir: 30-31)([179])

- Ada juga malaikat-malaikat yang ditugasi menjaga manusia, sebagaimana firman Allah -Ta'ālā-, "Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah."([180]) (QS. Ar-Ra'd: 11).

Ibnu 'Abbās berkata, "Yaitu malaikat-malaikat yang menjaganya dari depan dan belakangnya. Bila datang perintah Allah, maka mereka meninggalkannya."([181])

Mujāhid berkata, "Tidaklah ada seorang hamba melainkan seorang malaikat menjaganya ketika ia tidur dan terjaga dari gangguan jin, manusia, dan hewan berbisa. Tidaklah ada dari salah satunya yang hendak menyakitinya kecuali ia berkata, 'Pergilah.' Kecuali sesuatu yang diizinkan oleh Allah -Ta'ālā- sehingga ia bisa menimpanya."

- Ada juga malaikat-malaikat yang ditugasi mencatat amalan manusia; sebagaimana firman Allah -Ta'ālā-, "(Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan di sisinya ada malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)." (QS. Qāf: 17-18). Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (perbuatanmu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan."([182]) (QS. Al-Infiṭār: 10-12).([183])

69- HR. Abu Asy-Syaikh dalam Al-'Aẓamah (3/856 no. 400); dia berkata, Muhammad bin Isḥāq bin Al-Walīd bercerita kepada kami, ia berkata, Salamah bercerita kepada kami; dia berkata, aku mendengar Rawwād bin Al-Jarrāḥ; ia berkata, aku telah mendengar Al-Auzā'iy -raḥimahullāh-, lalu ia menyebutkan redaksinya.

Di dalam sanadnya terdapat Rawwād bin Al-Jarrāh, hafalan hadisnya mengalami kekalutan di akhir hidupnya sehingga hadisnya ditinggalkan.

 ·     Kewajiban Merasa Malu terhadap Malaikat Allah dan Larangan Bertelanjang

70- Al-Bazzār meriwayatkan dari Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā- bahwa dia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Sesungguhnya Allah melarang kalian bertelanjang. Hendaklah kalian malu kepada malaikat-malaikat Allah yang menyertai kalian, yaitu malaikat-malaikat mulia yang mencatat perbuatan kalian dan tidak meninggalkan kalian, kecuali di salah satu dari tiga keadaan: buang hajat, junub, dan mandi. Bila salah seorang kalian mandi di tempat terbuka, hendaklah dia menutup diri dengan pakaiannya, fondasi tembok, atau lainnya."

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Kaṡīr mengatakan, "Makna memuliakan mereka ialah merasa malu kepada mereka dan tidak mendikte mereka untuk menulis perbuatan-perbuatan yang buruk karena Allah menciptakan mereka mulia pada fisik dan akhlak mereka."

Kemudian beliau mengatakan, bahwa di antara bentuk kemuliaan mereka ialah tidak masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau gambar, atau orang junub dan patung. Mereka juga tidak keluar bersama rombongan yang membawa anjing atau lonceng.

70- HR. Al-Bazzār dalam Musnad-nya -sebagaimana dalam Kasyful-Astār, Kitāb Aṭ-Ṭahārah (1/160 no. 317)- dari jalur Ḥafṣ bin Sulaimān, dari 'Alqamah, dari Marṡad, dari Mujāhid, dari Ibnu 'Abbās dan seterusnya.

Al-Bazzār berkata, "Kami tidak mengetahuinya diriwayatkan dari Ibnu 'Abbās kecuali dari jalur ini, sedangkan Ḥafṣ layyinul-ḥadīṡ (hadisnya lemah)."

Al-Haiṡamiy berkata (1/268), "Diriwayatkan oleh Al-Bazzār dan dia berkata, 'Tidak pernah diriwayatkan dari Ibnu 'Abbās kecuali dari jalur ini, sedangkan Ja'far bin Sulaimān seorang yang layyin (lemah hadisnya).'

Saya -yaitu Al-Haiṡamiy- katakan, 'Ja'far bin Sulaimān termasuk di antara perawi Aṣ-Ṣaḥīḥ. Begitu juga perawi-perawi lainnya.' Wallāhu a'lam."

Saya katakan, "Di dalam sanadnya tidak terdapat Ja'far, melainkan Ḥafṣ, yaitu Ḥafṣ bin Sulaimān Al-Asadiy. Sementara yang dimaksud oleh Abu Umar Al-Bazzār ialah Ḥafṣ bin Abu Daud, sang imam ilmu qiraah, murid 'Āṣim. Sepertinya beliau keliru."

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata tentang Ḥafṣ yang ini, "Dia matrūkul-ḥadīṡ (hadisnya ditinggalkan) sekalipun dengan keimamannya dalam ilmu qiraat."

Hadis ini memiliki syāhid (penguat) dari hadis Ya'lā bin Umayyah secara marfū' dengan redaksi: "Allah -'Azza wa Jalla- itu Maha Pemalu lagi Maha Menutupi; menyukai sifat malu dan menutupi. Bila salah seorang kalian mandi, hendaklah dia menutupi dirinya." Beliau mengucapkannya kepada seseorang yang mandi dengan telanjang ketika sendiri.([184]) (HR. Abu Daud: 4/39 no. 4012). Juga hadis Bahz bin Ḥakīm dari ayahnya, dari kakeknya secara marfū': "Allah lebih patut dimalui daripada manusia."([185]) (HR. An-Nasā`i, Abu Daud, Tirmizi, dan Ibnu Majah).

An-Nawawiy berkata (4/32), "Diperbolehkan membuka aurat pada kondisi-kondisi yang dibutuhkan ketika sendiri, yaitu ketika mandi, kencing, bersenggama dengan istri, dan semisalnya. Pada semua kondisi ini telanjang diperbolehkan ketika tidak terlihat. Adapun di tempat terlihat orang, maka telanjang diharamkan di semua kondisi tersebut. Para ulama mengatakan, menutup diri dengan cara memakai sarung dan semisalnya ketika mandi di tempat yang tidak terlihat lebih diutamakan daripada telanjang. Dan telanjang diperbolehkan selama rentang waktu yang dibutuhkan untuk mandi dan semisalnya. Sedangkan lebih dari kadar kebutuhan hukumnya haram menurut yang paling kuat."

 ·     Malaikat Silih Berganti Menjaga Kita Diwaktu Siang dan Malam

71- Malik, Bukhari, dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- pernah bersabda,

"Para malaikat di malam dan siang hari saling bergantian dalam menjaga kalian. Mereka akan bertemu ketika salat Subuh dan salat Asar. Kemudian malaikat yang bermalam bersama kalian akan naik, lalu Allah bertanya kepada mereka, padahal Allah lebih tahu, 'Bagaimana keadaan hamba-Ku ketika kalian tinggalkan?' Mereka menjawab, 'Kami meninggalkan mereka sedang mengerjakan salat, dan kami mendatangi mereka sedang mengerjakan salat.'"([186])

71- HR. Malik dalam Al-Muwaṭṭa`, Kitāb Qaṣr Aṣ-Ṣalāh fi As-Safar (1/170). Dari jalur Malik ini, diriwayatkan juga oleh Bukhari, Kitāb Mawāqīt Aṣ-Ṣalāh (2/33 no. 555), Kitāb At-Tauḥīd (13/415 no. 7429 - 13/461 no. 7468); dan Muslim, Kitāb Al-Masājid (1/439 no. 632). Juga diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitāb Bad`ul-Khalq (6/306 no. 3223); Muslim (1/429 no. 632); dan Ahmad (2/312). Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī,

Makna "Malaikat saling bergantian dalam menjaga kalian": yakni menjaga orang-orang yang salat, atau semua orang yang beriman.

Makna "Malaikat...": ada yang berpendapat, mereka adalah malaikat ḥafaẓah (yang mencatat amalan manusia). Al-Qurṭubiy berkata, "Menurutku, yang paling kuat bahwa mereka malaikat lain. Hal ini dikuatkan karena tidak ada diriwayatkan bahwa malaikat ḥafaẓah pernah meninggalkan hamba, tidak juga bahwa malaikat ḥafaẓah malam hari berbeda dengan ḥafaẓah siang. Terlebih, jika mereka adalah malaikat ḥafaẓah, tentu pertanyaan kepada mereka tidak akan terbatas pada pertanyaan tentang keadaan ketika ditinggalkan tanpa yang lainnya, sebagaimana dalam hadis: 'Bagaimana keadaan hamba-Ku ketika kalian tinggalkan?'"([187])

Iyāḍ berkata, "Hikmah mereka bertemu di dua salat ini merupakan bentuk kasih sayang Allah -Ta'ālā- kepada hamba-Nya dan pemuliaan-Nya kepada mereka dengan menjadikan waktu berkumpulnya para malaikat-Nya pada momen ketaatan hamba-Nya supaya kesaksian para malaikat kepada mereka menjadi kesaksian yang paling bagus."

Dari hadis ini dapat dipetik pelajaran bahwa salat adalah ibadah paling tinggi karena menjadi objek tanya jawab tersebut. Di dalamnya juga terkandung petunjuk pada keagungan dua salat ini karena menjadi tempat berkumpulnya dua kelompok malaikat, sedangkan pada salat yang lainnya hanya dihadiri satu kelompok saja. Juga petunjuk pada mulianya dua waktu yang disebutkan. Di dalamnya terkandung pemberitahuan kepada kita tentang kecintaan malaikat-malaikat Allah kepada kita agar kita semakin menambah kecintaan mereka kepada kita dan kita mendekatkan diri kepada Allah dengan hal itu. Di dalamnya juga ditetapkan adanya percakapan Allah -Ta'ālā- bersama malaikat-malaikat-Nya.

72- Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Hurairah berkata, "Bacalah jika kalian mau: 'Dan (laksanakan pula salat) Subuh. Sungguh, salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).'"([188]) (QS. Al-Isrā`: 78).

72- HR. Bukhari, Kitāb At-Tafsīr (8/399 no. 4717) dari jalur 'Abdur-Razzāq, dari Ma'mar, dari Az-Zuhriy, dari Abu Salamah dan Ibnul-Musayyib, dari Abu Hurairah.

Juga diriwayatkan oleh Muslim, Kitāb Al-Masājid (1/450 no. 649) dari 'Abdul-A'lā, dari Ma'mar, dari Az-Zuhriy, dari Sa'īd bin Al-Musayyib, dari Abu Hurairah. Kedua-duanya dari Abu Hurairah secara marfū' dengan redaksi: "Salat berjamaah melebihi salat seseorang sendirian 25 derajat. Malaikat malam dan malaikat siang berkumpul di salat Subuh." Abu Hurairah berkata, "Bacalah bila kalian berkenan: 'Dan (laksanakan pula salat) Subuh. Sungguh, salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).'"([189]) Ini adalah redaksi Muslim.

 ·     Malaikat Berkumpul Mengelilingi Majelis Ilmu

73- Imam Ahmad dan Muslim meriwayatkan hadis,

"Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah di antara rumah-rumah Allah -Ta'ālā-, di dalamnya mereka membaca Kitab Allah dan mempelajarinya dengan sesama mereka kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, mereka diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah -'Azza wa Jalla- akan menyebut-nyebut mereka di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya. Siapa yang diperlambat oleh amalnya, maka tidak akan dipercepat oleh nasabnya."([190])

73- HR. Muslim dalam Kitāb Aż-Żikr wad-Du'ā` (4/2074 no. 2699)

Makna "يَتَدَارَسُوْنَهُ" (mempelajarinya sesama mereka): mencakup semua yang terkait dengan Al-Qur`ān berupa pengajaran ataupun mempelajarinya serta berdiskusi satu sama lain dalam ilmu dan tafsir.

Makna "نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ" (turun kepada mereka ketenangan): yaitu ketenangan yang membuat hati merasa tenteram, berupa kenyamanan, keteguhan, dan kejernihan hati.

Makna "غَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةٌ": mereka diliputi oleh rahmat.

Makna "حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ": mereka dikelilingi oleh para malaikat.

Makna "مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ": siapa yang diperlambat oleh amalnya yang buruk serta kelalaiannya dalam beramal saleh maka kemuliaan nasab serta keutamaan nenek moyangnya tidak akan berguna baginya di akhirat dan tidak akan mempercepatnya menuju surga. Tetapi orang yang melakukan ketaatan akan dikedepankan walaupun dia seorang budak asal Habasyah atas orang yang tidak melakukan amal saleh, sekalipun dia seorang yang mulia dan keturunan Quraisy.

 ·     Malaikat Menaungi Penuntut Ilmu dengan Sayapnya

74- Diriwayatkan dalam Al-Musnad dan As-Sunan suatu hadis:

"Sesungguhnya para malaikat menaungi penuntut ilmu dengan sayap-sayap mereka karena rida pada apa yang dilakukannya."([191])

Masih sangat banyak lagi hadis-hadis yang berbicara tentang mereka -'alaihimus-salām-.

74- Sahih; HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/239 no. 240&241); Tirmizi, Kitāb Ad-Da'awāt (5/519 no. 3535 & 3536); An-Nasā`i, Kitāb Aṭ-Ṭahārah (1/105 no. 158); 'Abdur-Razzāq dalam Al-Muṣannaf (1/204 no. 793 & 795); Ibnu Khuzaimah (1/97 no. 193); Ad-Dārimiy (1/85 no. 363); Ibnu Ḥibbān (1/285 no. 85); dan Aṭ-Ṭabarāniy dalam Al-Kabīr (8/66 no. 7352, 7373, 7382, & 7388); semuanya dari jalur 'Āṣim bin Abi An-Najūd, dari Zirr bin Ḥubaisy, dari Ṣafwān bin 'Assāl, bahwa dia meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda ...

Juga diriwayatkan oleh Al-Ḥākim (1/200) dari jalur Abdul Wahab bin Bukht, dari Zirr bin Ḥubaisy, dari Ṣafwān.

Juga diriwayatkan oleh Aṭ-Ṭabarāniy (8/63 no. 7347) dari jalur Al-Minhāl bin 'Amr, dari Zirr bin Abdullah bin Mas'ūd, dari Ṣafwān.

    BAB WASIAT AGAR BERPEGANG KUAT DENGAN KITAB ALLAH -'AZZA WA JALLA-

Firman Allah -Ta'ālā-, "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sungguh, sedikit sekali kamu mengambil pelajaran."([192]) (QS. Al-A'rāf: 3).

 ·     Kewajiban Berpegang Kuat dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi -Ṣallallāhu 'Alaihi wa Sallam-

75- Zaid bin Arqam -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- berpidato dengan memulai memuji dan memuja Allah kemudian bersabda,

"Ammā ba’d. Ketahuilah, wahai saudara-saudara sekalian! Aku hanyalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu Malaikat maut) akan mendatangiku dan aku harus memperkenankannya. Aku tinggalkan untuk kalian aṡ-ṡaqalain (dua hal yang berat). Pertama, Kitābullāh (Al-Qur`ān) yang di dalamnya terkandung petunjuk dan cahaya. Maka ambillah Kitab Allah dan berpegang teguhlah dengannya!" Beliau lantas menghimbau serta memotivasi kepada Kitab Allah. Kemudian beliau melanjutkan, "(Kedua), dan ahli baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahli baitku." Dalam redaksi lain disebutkan, "Kitābullāh yang merupakan tali Allah yang kuat. Siapa yang mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk. Namun siapa yang meninggalkannya maka dia berada di atas kesesatan."([193])

(HR. Muslim).

75- HR. Muslim, Kitāb Faḍā`il Aṣ-Ṣaḥābah (4/1873 no. 2408).

 ·     Meninggalkan Kitab Allah dan Sunnah Nabi -Ṣallallāhu 'Alaihi wa Sallam- Merupakan Kesesatan

76- Muslim meriwayatkan dalam hadis Jābir yang panjang, bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda dalam khotbah Hari Arafah,

"Aku tinggalkan pada kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang kepadanya, yaitu Kitābullāh. Kemudian kalian akan ditanya tentang aku, maka kalian akan menjawab apa?" Para sahabat menjawab, "Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah, telah menunaikan amanah, dan telah memberi nasihat kepada umat." Beliau lalu mengangkat jari telunjuknya ke langit dan mengarahkannya kepada para sahabat seraya bersabda, "Ya Allah! Saksikanlah." Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali.([194])

75- HR. Muslim, Kitāb Al-Ḥajj (2/886 no. 1218).

 ·     Siapa yang Tidak Berhukum dengan Kitābullāh Maka Allah Akan Membinasakannya

77- Ali -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Aku mendengar Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Ketahuilah, sesungguhnya akan terjadi fitnah."

Aku bertanya, "Apa solusinya, wahai Rasulullah?"

Beliau menjawab, "Kitab Allah. Di dalamnya terkandung berita tentang peristiwa sebelum kalian dan setelah kalian serta hukum bagi perkara yang terjadi di tengah kalian. Ia adalah kitab yang memisahkan (antara yang hak dan yang batil), bukan senda gurau. Siapa yang meninggalkannya dengan sombong, maka Allah akan membinasakannya. Siapa yang mencari petunjuk pada selainnya, maka Allah akan menyesatkannya. Ia adalah tali Allah yang kukuh, ia adalah kitab peringatan yang bijaksana, ia adalah jalan yang lurus; dengannya hawa nafsu tidak akan menyimpang dan lisan tidak akan rancu, para ulama tidak pernah hilang dahaga padanya, tidak usang meski sering diulang-ulang dan keajaiban-keajaibannya tidak kunjung habis. Ia adalah kitab yang menjadikan jin tidak mau berhenti dari mendengarnya hingga mereka berkata, 'Kami telah mendengarkan bacaan yang menakjubkan (Al-Qur`ān), (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya.'([195]) (QS. Al-Jinn: 1-2). Siapa yang berkata dengannya, maka ia benar. Siapa yang mengamalkannya akan diberi pahala. Siapa yang menetapkan keputusan dengannya ia akan adil. Dan siapa yang mengajak kepadanya akan ditunjuki ke jalan yang lurus."

(HR. Tirmizi dan dia berkata, "Garīb").

77- HR. Tirmizi, Kitāb Fadā`il Al-Qur`ān (5/158 no. 2956) dan Ad-Dārimiy (2/312 no. 3334) dari jalur Ḥusain bin Ali Al-Ju'fiy, dari Ḥamzah Az-Zayyāt, dari Abul-Mukhtār Aṭ-Ṭā`iy, dari keponakan Al-Ḥāriṡ Al-A'war, dari Al-Ḥāriṡ Al-A'war, dari Ali dan seterusnya.

Tirmizi berkata, "Hadis ini tidak kami ketahui kecuali melalui jalur ini, sanadnya majhūl, sementara ada juga pendaifan terhadap Al-Ḥāriṡ." Saya katakan, "Dalam sanadnya terdapat keponakan Al-Ḥāriṡ yang merupakan perawi majhūl, sedangkan Al-Ḥāriṡ sendiri adalah perawi daif."

3- Abu Ad-Dardā` -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan secara marfū',

"Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya maka hukumnya halal. Apa yang diharamkan oleh Allah maka hukumnya haram. Adapun yang didiamkan oleh Allah, maka itu adalah sesuatu yang Allah maafkan. Maka terimalah pemberian dari Allah karena Allah tidak lupa sedikit pun." Kemudian beliau membaca, "Dan Tuhanmu tidaklah lupa."([196]) (QS. Maryam: 64).

(HR. Al-Bazzār, Ibnu Abi Ḥātim, dan Aṭ-Ṭabarāniy).

78- HR. Al-Bazzār -sebagaimana dalam Kasyful-Astār, Kitāb Al-'Ilm (1/78 no. 123) dan Kitāb At-Tafsīr (3/58 no. 2231)-; beliau berkata, Ibrahim bin Abdullah menceritakan kepada kami; ia berkata, Sulaiman bin Abdurrahman Ad-Dimasyqiy menceritakan kepada kami; ia berkata, Ismail bin 'Ayyāsy menceritakan kepada kami; dari 'Āṣim bin Rajā` bin Ḥaiwah; dari ayahnya; dari Abu Ad-Dardā`; dia meriwayatkan, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda ...

Al-Bazzār berkata, "Sanadnya ṣāliḥ."

Al-Haiṡamiy berkata (1/171), "Diriwayatkan oleh Al-Bazzār dan Aṭ-Ṭabarāniy dalam Al-Kabīr; sanadnya hasan dan perawi-perawinya ṡiqah."

Saya katakan, "Di dalam sanadnya terdapat Sulaiman yang berderajat ṣadūq yukhṭi` (kekuatan hafalannya sedang dan kadang salah), dan 'Āṣim yang berderajat ṣadūq yahim (kekuatan hafalannya sedang dan kadang keliru)."

 ·     Jalan Lurus Itu Adalah Islam

79- Ibnu Mas'ūd -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Allah membuat perumpamaan sebuah jalan yang lurus, di kedua sisi jalan terdapat dua dinding dan pada keduanya terdapat pintu-pintu yang terbuka lalu di atasnya tertutupi tirai-tirai yang menjulur, sementara di ujung jalan ada seorang penyeru yang berkata, 'Hendaklah kalian berjalan dengan lurus di atas jalan itu dan jangan belok.' Sedangkan di atasnya ada seorang penyeru, setiap kali hamba berniat membuka sebagian dari pintu-pintu itu, dia berkata, 'Celaka engkau! Jangan engkau buka pintu itu, karena bila dibuka maka engkau akan memasukinya.'"([197])

Kemudian beliau jelaskan bahwa jalan yang lurus itu adalah Islam, pintu-pintu yang terbuka adalah larangan-larangan Allah, tirai-tirai yang menjulur adalah batasan-batasan Allah, penyeru di ujung jalan adalah Al-Qur`ān, dan penyeru di atasnya adalah pengingat dari Allah yang ada dalam hati setiap mukmin.

(HR. Razīn. Hadis yang semisal juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi dari An-Nawwās bin Sam'ān).

79- HR. Razīn sebagaimana dalam Misykātul-Maṣābīḥ (1/67 no. 191).

HR. Tirmizi, Kitāb Al-Amṡāl (5/133 no. 2859) dan An-Nasā`i dalam Al-Kubrā, Kitāb At-Tafsīr (6/361 no. 11233) dari jalur Baqiyyah bin Al-Walīd, dari Buḥair bin Sa'ad, dari Khālid bin Ma'dān, dari Jubair bin Nufair, dari An-Nawwās dan seterusnya.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (4/182); Al-Ājurriy dalam Asy-Syarī'ah (hal. 11); dan Al-Ḥākim (1/73) dari jalur Al-Laiṡ bin Sa'ad, dari Mu'āwiyah bin Sāliḥ, bahwa telah bercerita kepadanya Abdurrahman bin Jubair, dari ayahnya, dari An-Nawwās.

Tirmizi berkata, "Garīb."

Al-Ḥākim berkata, "Sahih sesuai syarat Muslim dan aku tidak mengetahuinya memiliki ilat (cacat)." Dan hal ini juga disepakati oleh Aż-Żahabiy.

 ·     Mewaspadai Orang-orang yang Mengikuti Ayat-ayat Mutasyābihāt

80- Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- meriwayatkan,

Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- membaca ayat: "Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur`ān) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muḥkamāt, itulah pokok-pokok kitab (Al-Qur`ān) ...([198]) Beliau membaca sampai firman Allah:

"Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal."([199]) (QS. Āli 'Imrān: 7).

Aisyah berkata, "Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyābihāt, maka mereka itulah yang disebutkan oleh Allah (dalam firman-Nya), sehingga waspadailah mereka."

(Muttafaq ‘Alaih).

80- HR. Bukhari, Kitāb At-Tafsīr (8/209 no. 4547),

dan Muslim, Kitāb Al-'Ilm (4/2053).

Penulis akan menyebutkan hadis ini lagi (pada hadis no. 107), maka silakan membacanya di sana.

 ·     Peringatan dari Mengikuti Jalan Setan

81- Abdullah bin Mas'ūd -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- membuatkan kami sebuah garis dengan tangannya, kemudian beliau bersabda,

"Ini adalah jalan Allah." Kemudian beliau membuat garis di kanan dan kirinya dan bersabda, "Ini adalah jalan-jalan yang banyak, di setiap jalan terdapat setan yang mengajak kepadanya." Beliau lalu membaca ayat, "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa."([200]) (QS. Al-An'ām: 153).

(HR. Ahmad, Ad-Dārimiy, dan An-Nasā`i).

81- HR. Ahmad (1/435); Ad-Dārimiy (1/60 no. 208); An-Nasā`i dalam Al-Kubrā, Kitāb At-Tafsīr (6/343 no. 11174); Aṭ-Ṭayālisiy (33 no. 244); Ibnu Ḥibbān (1/181 no. 6 & 7); Al-Ājurriy dalam Asy-Syarī'ah (hal. 10); dan Al-Ḥākim (2/318), dari jalur Ḥammād bin Zaid, dari 'Āsim bin Abu An-Najūd, dari Wā`il, dari Ibnu Mas'ūd.

Juga diriwayatkan oleh An-Nasā`i (6/343 no. 11175); beliau berkata, Al-Faḍl bin Al-'Abbās bin Ibrāhīm menceritakan kepada kami; ia berkata, Ahmad bin Yūnus menceritakan kepada kami; ia berkata, Abu Bakr menceritakan kepada kami; dari 'Āṣim; dari Zirr bin Abdullah bin Mas'ūd.

 ·     Peringatan dari Mengikuti Selain Nabi -Sallallāhu 'Alaihi wa Sallam-

82- Abu Hurairah -raḍiyallāhu `anhu- berkata, Sejumlah orang dari sahabat Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menulis sebagian Kitab Taurat lalu menyebutkan hal itu kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, maka beliau bersabda,

"Sesungguhnya kebodohan yang paling bodoh dan kesesatan yang paling sesat adalah sekelompok orang yang meninggalkan ajaran yang dibawa oleh nabi mereka lalu mengikuti selain nabi mereka dan selain umat mereka." Kemudian Allah menurunkan ayat, "Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur`ān) yang dibacakan kepada mereka? Sungguh, di dalam (Al-Qur`ān) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman."([201]) (QS. Al-'Ankabūt: 51).

(HR. Al-Ismā'īliy dalam Mu'jam-nya dan Ibnu Mardawaih).

82- HR. Al-Ismā'īliy dalam Mu'jam-nya (3/772 no. 384); beliau berkata, Daud Ibnu Rasyīd menceritakan kepada kami; ia berkata, Fihr bin Ziyād Ar-Raqqiy menceritakan kepada kami; ia berkata, Ibrahim bin Yazīd menceritakan kepada kami; dari 'Amr bin Dīnār; dari Yahya bin Ja'd; dari Abu Hurairah.

Namun Fihr tidak aku temukan biografinya.

Hadis ini juga dinisbahkan di dalam Ad-Durr Al-Manṡūr kepada Ibnu Mardawaih dan Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus.

83- Abdullah bin Ṡābit bin Al-Ḥāriṡ Al-Anṣāriy -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Umar -raḍiyallāhu 'anhu- datang menghadap Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dengan membawa sebuah kitab berisikan beberapa pembahasan dari Taurat; dia berkata, "Ini aku dapatkan pada seorang laki-laki Ahli Kitab, aku bermaksud memperlihatkannya kepadamu." Seketika muka Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- terlihat sangat berubah, belum pernah aku melihat yang semisalnya. Lantas Abdullah bin Al-Ḥāriṡ berkata kepada Umar -raḍiyallāhu 'anhumā-, "Tidakkah engkau melihat muka Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-?!" Maka Umar berkata, "Kami telah rida Allah sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai nabi kami." Sehingga Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- terlihat senang dan bersabda,

"Seandainya Musa turun lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, pastilah kalian tersesat. Aku adalah jatah kalian di antara para nabi, dan kalian adalah jatahku di antara umat-umat."

(HR. 'Abdur-Razzāq, Ibnu Sa'd, dan Al-Ḥākim dalam Al-Kunā).

83- HR. 'Abdur-Razzāq dalam Al-Muṣannaf (6/113 no. 10164), dan darinya diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (3/470 4/265) dari jalur Sufyān Aṡ-Ṡauriy, dari Jābir, dari Asy-Sya'biy, dari Abdullah bin Ṡābit.

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar menukil dalam Al-Iṣābah (4/30): Bukhari berkata, "Hadisnya tidak sahih."

Al-Haiṡamiy berkata dalam Majma' Az-Zawā`id (1/173), "Diriwayatkan oleh Ahmad dan Aṭ-Ṭabarāniy, sedangkan perawi-perawinya adalah perawi Aṣ-Ṣaḥīḥ, hanya saja di dalamnya terdapat Jābir Al-Ju'fiy yang merupakan perawi daif."

Saya katakan, "Hadis ini memiliki banyak syāhid yang menguatkannya dan menaikkannya menjadi sahih. Silakan lihat hal itu di dalam Irwā`ul-Galīl (1589) karya Al-Allāmah Al-Albāni."

    BAB HAK-HAK NABI -ṢALLALLĀHU 'ALAIHI WA SALLAM-

Firman Allah -Ta'ālā-, "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah, taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur`ān) dan Rasul (Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."([202]) (QS. An-Nisā`: 59). Juga firman Allah -Ta'ālā-, "Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat."([203]) (QS. An-Nūr: 56). Juga firman Allah -Ta'ālā-, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah."([204]) (QS. Al-Ḥasyr: 7).

 ·     Kewajiban Memerangi Orang yang Tidak Beriman kepada Rasul -Sallallāhu 'Alaihi wa Sallam- dan Ajaran yang Beliau Bawa

84- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah serta mereka beriman kepadaku dan ajaran yang aku bawa. Apabila mereka melakukan hal itu, mereka telah menjaga dari diriku darahnya dan hartanya kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka terserah kepada Allah -'Azza wa Jalla-."([205])

(HR. Muslim).

84- HR. Muslim, Kitāb Al-Īmān (1/52 no. 21). Hadis ini memiliki banyak jalur dari Abu Hurairah; silakan dilihat dalam Ḥāsyiyah Ṣaḥīḥ Ibni Ḥibbān (1/399, 1/452).

Syekh Muhammad Abu Syuhbah -raḥimahullāh- berkata,

"Para sahabat telah memahami bahwa semua yang datang dalam Sunnah kembalinya kepada Al-Qur`ān melalui firman Allah -Ta'ālā-, 'Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.'"([206])

Imam Bukhari di dalam Ṣaḥīḥnya meriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ūd, dia berkata, "Allah melaknat wanita yang membuat tato dan yang minta dibuatkan tato, yang minta bulu alisnya dicabut, dan yang merenggangkan giginya demi kecantikan yang mengubah ciptaan Allah." Ummu Ya'qūb berkata, "Apa ini?" Abdullah menjawab, "Bagaimana mungkin aku tidak akan melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah dan juga di dalam Kitab Allah?!" Perempuan itu berkata, "Demi Allah! Aku telah membaca Al-Qur`ān dari awal hingga akhir, namun aku tidak menemukannya!" Abdullah berkata, "Demi Allah! Bila benar engkau telah membaca semuanya, pastilah engkau mendapatkannya. Allah -Ta'ālā- berfirman, 'Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.'"([207])([208])

Ayat ini menjadi dalil untuk semua yang disebutkan dalam Sunnah namun tidak disebutkan dalam Al-Qur`ān. Seperti ini pula jalan dan metode para ulama dan pemuka agama yang datang setelah generasai sahabat.

Diriwayatkan dari Asy-Syāfi'iy -raḥimahullāh-, bahwa beliau sedang duduk menyampaikan hadis di Masjidilharam, lalu beliau berkata, "Tidaklah kalian bertanya kepadaku tentang sesuatu kecuali aku akan memberikan kalian jawabannya dari Kitab Allah." Lantas seseorang bertanya, "Apa pendapat Anda tentang seseorang yang sedang dalam ihram bila dia membunuh tawon?" Beliau menjawab, "Tidak ada kewajiban apa pun atasnya." Dia berkata, "Di mana ini ditemukan dalam Kitab Allah?" Maka beliau membaca, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah."([209]). Kemudian beliau menyebutkan sanad kepada Umar bahwa dia berkata, "Seorang yang sedang dalam ihram boleh membunuh tawon."([210])

 ·     Di Mana Anda Mendapatkan Manisnya Iman?

85- Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Ada tiga perkara, siapa yang memiliki semuanya niscaya dia merasakan manisnya iman. Yaitu mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih daripada yang lain, mencintai seseorang hanya karena Allah, dan benci kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya darinya sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam neraka."([211])

85- HR. Bukhari, Kitāb Al-Īmān (1/72 no. 21) dan Kitāb Al-Adab (10/463 no. 6041), dan Muslim, Kitāb Al-Īmān (1/66 no. 43). Juga diriwayatkan oleh Bukhari, Kitāb Al-Īmān (1/60 no. 16) dan Kitāb Al-Ikrāh (12/315 no. 6941), dan Muslim (1/66).

86- Bukhari dan Muslim meriwayatkan secara marfū’:

"Tidak (sempurna) iman salah seorang kalian hingga aku lebih ia cintai dari anaknya, orang tuanya, dan manusia seluruhnya."([212])

86- HR. Bukhari, Kitāb Al-Īmān (1/158 no.15);

Muslim, Kitāb Al-Īmān (1/67 no. 44); An-Nasā`i, Kitāb Al-Īmān (8/488 no. 5028).

 ·     Bantahan terhadap Orang yang Mencukupkan Diri dengan Al-Qur`ān Tanpa Sunnah

87- Al-Miqdām bin Ma'dī Karib Al-Kindiy -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Telah dekat waktunya ada seseorang bersandar di atas tempat tidurnya, lalu disampaikan kepadanya salah satu hadisku namun dia hanya berkata, 'Antara kami dan kalian hanyalah Kitab Allah -'Azza wa Jalla-. Yang kami dapatkan halal di dalamnya maka kami menghalalkannya, dan yang kami dapatkan haram maka kami mengharamkannya!' Ketahuilah, apa yang diharamkan oleh Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sama dengan yang diharamkan oleh Allah."([213])

(HR. Tirmizi dan Ibnu Majah).

87- Hasan; HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (5/37 no. 2664); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (1/6 no. 12); Ahmad (4/132); Ad-Dārimiy (1/117 no. 592); Aṭ-Ṭabarāniy (20/274 no. 649); Al-Baihaqiy (7/76); dari Al-Ḥākim (1/109) dari jalur Mu'āwiyah bin Ṣāliḥ, dari Al-Ḥasan bin Jābir Al-Lakhmiy, dari Al-Miqdām.

Redaksi ini milik Ibnu Majah.

Juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (4/200 no. 4604); Ahmad (4/131); Aṭ-Ṭabarāniy (20/283 no. 670); dan Al-Baihaqiy dalam Dalā`il An-Nubuwwah (6/549) dari jalur Ḥarīz bin 'Uṡmān, dari Ibnu Abi Aufā, dari Al-Miqdām.

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Ḥibbān (1/189 no. 12), Aṭ-Ṭabarāniy (20/283 no. 669), dan Al-Baihaqiy (9/332) dari jalur Marwān bin Ru`bah, dari Ibnu Abi 'Auf, dari Al-Miqdām dan seterusnya dengan redaksi yang sama.

Hadis ini memeliki banyak syāhid (penguat), di antaranya hadis Abu Rāfi';

sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud (no. 4605), Tirmizi (no. 2663), Ibnu Majah (no. 13), Al-Ḥumaidiy (551), dan Ibnu Ḥibbān (1/190 no. 13).

Imam Al-Khaṭṭābiy -raḥimahullāh- berkata,

"Sabda beliau, 'Aku diberikan Al-Qur`ān dan yang semisal dengannya'. memiliki dua kemungkinan makna:

Pertama; yaitu beliau diberikan wahyu batin yang tidak dibaca yang semisal dengan wahyu lahiriah yang dibaca yang diberikan kepada beliau.

Kedua; yaitu beliau dianugerahi Al-Qur`ān sebagai wahyu yang dibaca serta dianugerahi penjelasan yang semisalnya. Artinya, beliau diizinkan untuk menjelaskan kandungan Al-Qur`ān dengan menjadikannya umum atau menjadikannya khusus, serta menambah dan menjelaskan apa yang ada dalam Al-Qur`ān. Sehingga dalam hal kewajiban mengamalkannya serta keharusan menerimanya ia sama seperti ayat-ayat lahiriah Al-Qur`ān yang dibaca."

Sabda beliau, "Telah dekat waktunya seorang yang kenyang ..."([214]), dengan hadis ini beliau hendak mengingatkan dari menyelisihi Sunnah-sunnah beliau yang sama sekali tidak disebutkan dalam Al-Qur`ān, sebagaimana mazhab Khawarij dan Rafidah, yaitu mereka mengamalkan makna lahiriah Al-Qur`ān dan meninggalkan Sunnah yang menjelaskannya sehingga mereka kebingungan dan tersesat.

Maksud sabda beliau, "Bersandar di atas tempat tidurnya"([215]), bahwa dia termasuk orang santai dan pemalas yang tinggal di rumah dan tidak menimba ilmu ke sumbernya.

Hadis ini menunjukkan salah satu mukjizat Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-.

Syekh Muhammad Abu Syuhbah -raḥimahullāh- berkata,

"Hadis ini menunjukkan salah satu mukjizat Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Yaitu sejak dahulu hingga sekarang, telah muncul sebuah kelompok yang menyuarakan ajakan keji ini, yaitu ajakan untuk mencukupkan diri dengan Al-Qur`ān tanpa hadis. Tujuan mereka adalah meruntuhkan setengah agama. Bahkan jika berkenan, katakanlah, agama seluruhnya! Karena bila hadis dan Sunnah ditinggalkan maka hal itu akan berdampak -tanpa diragukan- pada kesulitan memahami banyak ayat Al-Qur`ān bagi umat serta tidak diketahui maksudnya. Bila hadis telah ditinggalkan sementara Al-Qur`ān tidak dipahami, maka ucapkanlah 'selamat jalan' kepada Islam!"

    BAB MOTIVASI DAN ANJURAN NABI ṠALLALLĀHU 'ALAIHI WA SALLAM- UNTUK KONSISTEN DI ATAS SUNNAH SERTA MENINGGALKAN BIDAH, PERPECAHAN, PERSELISIHAN DAN PERINGATAN DARINYA

Firman Allah -Ta'ālā-, "Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah."([216]) (QS. Al-Aḥzāb: 21). Juga firman Allah -Ta'ālā-, "Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allah. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat."([217]) (QS. Al-An'ām: 159).

Juga firman Allah -Ta'ālā-, "Dia (Allah) telah mensyariatkan padamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya."([218]) (QS. Asy-Syūrā: 13).

 ·     Wasiat Berpegang Teguh dengan Sunnah Rasulullah -Sallallāhu 'Alaihi wa Sallam- dan Sunnah Khulafa Rasyidin serta Peringatan dari Bidah

88- Al-'Irbāḍ bin Sāriyah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menasihati kami dengan nasihat yang mendalam, membuat mata berlinang dan menggetarkan hati. Kami berkata, "Ya Rasulullah! Sepertinya ini nasihat perpisahan, apa yang engkau wasiatkan kepada kami?" Beliau bersabda, "Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, serta tetap mendengar dan taat sekalipun penguasa kalian seorang budak Habasyah. Siapa yang masih hidup setelahku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpeganglah pada Sunnah-ku dan Sunnah khulafa rasyidin setelahku. Berpeganglah padanya dengan kuat dan gigitlah ia dengan geraham. Dan waspadalah dari perkara-perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diadakan adalah bidah dan setiap bidah adalah kesesatan."([219])

(HR. Abu Daud, Tirmizi -serta dia mensahihkannya-, dan Ibnu Majah).

Dalam riwayat Abu Daud lainnya disebutkan,

"Aku tinggalkan kalian di atas jalan yang terang benderang, malam harinya seperti siang, tidak akan menyimpang darinya sepeninggalku kecuali dia pasti binasa. Siapa yang berumur panjang di antara kalian, nanti dia akan melihat perselisihan yang banyak ..."([220])

Kemudian beliau meriwayatkannya secara makna.

88- Sahih; HR. Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (4/200 no. 4607); Ahmad (4/126-127); Al-Ājurriy dalam Asy-Syarī'ah (hal. 46); Ibnu Abi 'Āṣim dalam kitab As-Sunnah (1/19 no. 32 & 57) secara ringkas; dan Ibnu Ḥibbān (1/178 no. 5); seluruhnya dari jalur Al-Walīd bin Muslim; dia berkata, Ṡaur bin Yazīd menceritakan kepada kami; ia berkata, Khālid bin Ma'dān menceritakan kepadaku; ia berkata, Abdurrahman bin 'Amr As-Sulamiy dan Ḥujr bin Ḥujr menceritakan kepadaku; dari Al-'Irbāḍ.

Juga diriwayatkan oleh Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (5/44 no. 2676); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (1/17 no. 44); Aṭ-Ṭaḥāwiy dalam Al-Musykil (2/69); Al-Ājurriy (hal. 47); Ad-Dārimiy (1/43 no. 96); Ibnu Abi 'Āṣim (1/29 no. 54); dan Al-Ḥākim (1/109); seluruhnya dari jalur Ṡaur bin Walīd, hanya saja mereka tidak menyebutkan Ḥujr bin Ḥujr.

Tirmizi berkata, "Hasan sahih."

Al-Hākim berkata, "Sahih, dan disetujui oleh Aż-Żahabiy."

Juga diriwayatkan oleh Tirmizi (5/43 no. 7676), Ibnu Abi 'Āṣim (1/17 no. 27) secara ringkas, dan Al-Baihaqiy (6/541); seluruhnya dari jalur Baqiyyah bin Al-Walīd, dari Baḥīr bin Sa'ad, dari Khālid bin Ma'dān, dari Abdurrahan bin 'Amr bin Al-'Irbāḍ.

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1/15 no. 42) dan Ibnu Abi 'Āṣim (1/17 no. 26) secara ringkas dari jalur Al-Walīd bin Muslim, dari Abdullah bin Al-'Alā`; dia berkata, Yaḥyā bin Abil-Muṭā` menceritakan kepadaku, dari Al-'Irbāḍ.

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi 'Āṣim (1/18 no. 28 & 29) dari jalur Al-Muhājir bin Ḥabīb, dari Al-'Irbāḍ secara ringkas. Juga ia meriwayatkannya (pada no. 30) dari jalur Yaḥyā bin Jābir, dari Abdurrahman bin 'Amr Ibnu Al-'Irbāḍ secara ringkas.

Sabda beliau "Gigitlah dengan geraham" maksudnya, bersungguh-sungguhlah di atas Sunnah, konsistenlah dengannya dan giatlah mengamalkannya sebagaimana bertahannya orang yang menggigit sesuatu dengan gerahamnya karena khawatir akan hilang dan lepas darinya.

النَّواجِذُ: gigi taring. Konon, ia bermakna gigi geraham.

Adapun riwayat yang kedua, maka sanadnya:

Sahih; diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (1/16 no. 43); Al-Ājurriy dalam Asy-Syarī'ah (hal. 47); dan Ibnu Abi 'Āṣim dalam As-Sunnah (1/26 no. 48) dari jalur Mu'āwiyah bin Ṣāliḥ, bahwa Ḍamrah bin Ḥabīb menceritakan kepadanya, bahwa Abdurrahman bin 'Amr menceritakan kepadanya, bahwa dia mendengar Al-'Irbāḍ meriwayatkannya.

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi 'Āṣim (no. 49) dari jalur Khālid bin Ma'dān, dari Jubair bin Nufair, dari Al-'Irbāḍ.

البَيْضًاءُ: agama dan hujah yang terang benderang, sama sekali tidak menerima syubhat, sehingga kondisi ketika syubhat datang padanya sama seperti kondisi setelah diangkat dan ditolaknya syubhat tersebut. Itulah yang diisyaratkan dengan kalimat "malam harinya sama seperti siang".

 ·     Sebaik-Baik Petunjuk Adalah Petunjuk Nabi -Ṣallallāhu 'Alaihi wa Sallam-

89- Muslim meriwayatkan dari Jābir -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Amabakdu: Sungguh, sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Seburuk-buruk perkara dalam agama adalah yang diada-adakan (bidah), dan semua bidah adalah kesesatan."([221])

89- HR. Muslim, Kitāb Al-Jumu'ah (1/592 no. 867).

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (13/253),

"المُحْدَثَاتُ: bentuk jamak dari kata 'مُحْدَثَةٌ', maksudnya sesuatu yang diada-adakan yang tidak memiliki dasar dalam agama. Dalam istilah agama disebut sebagai bidah. Adapun sesuatu yang memiliki dasar dalam agama maka tidak disebut sebagai bidah. Bidah dalam istilah agama adalah tercela. Berbeda dengan istilah bahasa, yaitu semua sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya disebut bidah, baik terpuji ataupun tercela. Seperti itu juga dikatakan tentang 'sesuatu yang diada-adakan' dan 'perkara baru' yang disebutkan dalam hadis Aisyah: 'Siapa yang membuat-buat hal baru (bidah) yang tidak berasal dari perintah kami maka amalan tersebut tertolak.'"([222]) ([223])

Asy-Syāfi'iy berkata, "Bidah terbagi dua: terpuji dan tercela. Yang sesuai Sunnah hukumnya terpuji, dan yang menyelisihi Sunnah hukumnya tercela."([224])

Ibnu Mas'ūd -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, "Kalian telah berada di atas fitrah. Sungguh kalian akan mengada-adakan perkara baru serta akan diada-adakan bagi kalian. Bila kalian melihat perkara baru, maka berpeganglah pada petunjuk pertama."

 ·     Durhaka kepada Rasul -Sallallāhu 'Alaihi wa Sallam- Menyebabkan Masuk Neraka

90- Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, dia meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Semua umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan."

Ada yang bertanya, "Siapa yang enggan itu?"

Beliau menjawab, "Siapa saja yang taat kepadaku, maka dia akan masuk surga. Siapa yang mendurhakaiku, sungguh dia telah enggan (masuk surga)."([225])

90- HR. Bukhari, Kitāb Al-I'tiṣām (13/249 no. 7280), beliau berkata: Muhammad bin Sinān menceritakan kepada kami; ia berkata, Fulaiḥ menceritakan kepada kami; ia berkata, Hilāl bin Ali menceritakan kepada kami; dari 'Aṭā` bin Yasār; dari Abu Hurairah.

أَبَى: ia enggan.

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (13/254),

Makna lahir dari keumuman ini tetap berlanjut karena masing-masing mereka tidak menolak masuk surga. Oleh karena itu mereka mengatakan, "Siapa yang enggan itu?" Lantas beliau menjelaskan kepada mereka bahwa penisbahan "keengganan masuk surga" kepada mereka adalah kiasan terhadap tindakan penolakan kepada Sunnah-nya, yaitu durhaka kepada Rasul -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-; sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Hurairah yang sahih: "Siapa yang taat kepadaku, maka dia telah taat kepada Allah."([226]) ([227]) Hadis ini diambil dari firman Allah -Ta'ālā-, "Siapa yang menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah."([228]) Maksudnya, karena aku tidak memerintahkan kecuali yang diperintahkan oleh Allah, maka siapa yang mengerjakan apa yang aku perintahkan sesungguhnya dia telah menaati Allah yang memerintahkanku untuk memerintah. Ada juga kemungkinan bahwa maksudnya, karena Allah telah memerintahkan untuk taat kepadaku, maka siapa yang taat kepadaku sesungguhnya dia telah menaati perintah Allah kepadanya untuk taat kepadaku. Dan dalam hal durhaka juga demikian.

 ·     Siapa yang Membenci Sunnah Rasul -Sallallāhu 'Alaihi wa Sallam- Maka Dia Tidak Termasuk Golongan Beliau

91- Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwa dia berkata, Tiga orang laki-laki datang ke istri-istri Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menanyakan ibadah beliau. Setelah mereka dikabari, sepertinya mereka menganggapnya sedikit. Mereka berkata, "Siapa kita ini dibanding Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-? Beliau telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang." Salah seorang mereka berkata, "Adapun aku, aku akan mengerjakan salat malam (semalaman) selamanya." Yang kedua berkata, "Aku akan berpuasa setiap hari, tidak akan berbuka." Yang ketiga berkata, "Aku akan menjauhi perempuan, tidak akan menikah selamanya." Lantas Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mendatangi mereka seraya bersabda, "Kaliankah yang telah mengatakan begini dan begini? Ketahuilah! Demi Allah! Sungguh aku orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah di antara kalian. Tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku mengerjakan salat malam dan tidur, dan aku menikahi perempuan. Siapa yang tidak suka dengan Sunnah-ku maka dia bukan dari golonganku."

91- HR. Bukhari, Kitāb An-Nikāḥ (9/104 no. 5063).

Juga diriwayatkan oleh Muslim, Kitāb Al-Īmān (2/1020 no. 1401).

الرَّهْطُ: jumlah antara tiga sampai sepuluh.

Sabda beliau, "Aku orang yang paling takut kepada Allah"([229])

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (9/105),

"Di dalamnya terkandung isyarat pada bantahan terhadap prinsip yang mereka pegang bahwa orang yang telah diampuni tidak membutuhkan tambahan ibadah, berbeda dengan yang lainnya. Maka beliau memberitahukan mereka bahwa sekalipun mereka berlebihan memaksakan diri dalam ibadah namun beliau lebih takut dan lebih bertakwa kepada Allah daripada orang-orang yang memaksakan diri tersebut. Hal itu karena orang yang memaksakan diri tidak dijamin selamat dari kebosanan. Ini berbeda dengan orang yang bersikap pertengahan, sikapnya itu lebih memungkinkannya untuk berkesinambungan. Dan sebaik-baik amalan adalah yang dilakukan oleh pelakunya secara berkesinambungan."

Sabda beliau, "Siapa yang tidak suka dengan Sunnah-ku maka dia bukan dari golonganku", yang dimaksud dengan Sunnah adalah jalan dan ajaran, bukan sunah yang merupakan kebalikan dari fardu.

Tidak suka dengan sesuatu artinya berpaling kepada yang lain. Maksudnya, siapa yang meninggalkan jalanku kemudian mengikuti jalan selainku, maka dia bukan dari golonganku. Beliau hendak menerangkan cara beragamanya para rahib, karena merekalah orang pertama yang mengada-adakan sikap berlebihan, sebagaimana yang diterangkan oleh Allah -Ta'ālā-, dan Dia mencela mereka karena mereka tidak memenuhi apa yang mereka nyatakan.

Adapaun Sunnah Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- ialah jalan yang lurus dan sederhana. Yaitu beliau berbuka supaya kuat berpuasa, beliau tidur supaya kuat kiamulail, dan beliau menikah untuk meredam syahwat, menjaga kesucian, dan memperbanyak keturunan.

Sabda beliau, "bukan dari golonganku", jika keberpalingannya itu dilatarbelakangi oleh suatu takwil (salah penafsiran) maka pelakunya diberikan uzur; sehingga makna "bukan dari golonganku" ialah bukan di atas jalanku dan tidak mesti keluar dari agama. Namun, jika hal itu dilatarbelakangi oleh pembangkangan dan keengganan yang berujung pada keyakinan bahwa amalnya lebih utama, maka makna "bukan dari golonganku" ialah tidak di atas agamaku karena keyakinan seperti itu bagian dari kekafiran.

 ·     Doa Rasul -Sallallāhu 'Alaihi wa Sallam- bagi Orang-orang yang Asing

92- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Islam bermula datang dalam keadaan asing, lalu akan kembali asing sebagaimana bermula. Maka beruntunglah orang-orang yang asing." ([230])

(HR. Muslim).

92- HR. Muslim, Kitāb Al-Īmān (1/130 no.145).

طُوْبَى: yaitu dengan pola "fu'lā", berasal dari kata "الطَّيِّبُ". Para ulama berbeda pendapat tentang maknanya:

Ibnu 'Abbās berkata, "Maknanya ialah kebahagiaan dan kesejukan pandangan." Sedangkan Ikrimah berkata, "Yaitu sebaik-baik yang mereka dapatkan."

An-Nawawiy menukilkan, Al-Qāḍī 'Iyāḍ berkata, "Hadis ini secara lahir bersifat umum, dan bahwa Islam pertama kali dianut oleh segelintir kecil manusia, setelah itu ia tersebar dan berkuasa. Kemudian Islam akan ditimpa penyusutan hingga tidak tersisa kecuali pada segelintir kecil manusia, sebagaimana kondisinya ketika pertama kali muncul.

 ·     Penafian Iman dari Seseorang Sampai Hawa Nafsunya Tunduk pada Ajaran Rasulullah -Ṣallallāhu 'Alaihi wa Sallam-

93- Abdullah bin Umar -raḍiyallāhu 'anhumā- meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Tidak sempurna iman salah seorang kalian hingga hawa nafsunya mengikuti ajaran yang aku bawa."

(HR. Al-Bagawiy dalam Syarḥ As-Sunnah dan disahihkan oleh An-Nawawiy).

93- HR. Al-Bagawiy dalam Syarḥ As-Sunnah (1/212 no. 104), Ibnu Abi 'Āṣim dalam As-Sunnah (15), dan Al-Khaṭīb dalam Tārīkh Bagdād (4/369), dari jalur Hisyām bin Ḥassān, dari Muhammad bin Sīrīn, dari 'Aṭiyyah bin Aus, dari Abdullah bin 'Amr bin Al-Āṣ.

Al-Khaṭīb At-Tibrīziy berkata dalam Misykātul-Maṣābīḥ (1/59), "An-Nawawiy berkata dalam Al-Arba'īn, 'Sahih, kami meriwayatkannya dalam kitab Al-Ḥujjah dengan sanad sahih.'"

Namun ia didaifkan oleh Imam Ibnu Rajab Al-Ḥanbaliy dalam Jāmi' Al-'Ulūm wal-Ḥikam (2/393) karena adanya beberapa ilat (cacat).

 ·     Sifat Golongan yang Selamat dari Neraka

94- Abdullah bin Umar -raḍiyallāhu 'anhumā- juga berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Pasti akan terjadi pada umatku seperti yang terjadi pada Bani Israil, seperti sejajarnya sandal dengan sandal (karena berpasangan), sampai jika salah seorang dari Bani Israil menggauli ibunya secara terang-terangan maka di kalangan umatku pun akan ada yang mengikutinya. Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan, sedangkan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan; seluruhnya di neraka kecuali satu golongan."

Para sahabat bertanya, "Siapakah satu golongan itu, wahai Rasulullah?"

Beliau bersabda, "Yaitu yang mengikuti jalanku dan sahabat-sahabatku."([231])

(HR. Tirmizi).

94- HR. Tirmizi, Kitāb Al-Īmān (5/26 no. 2641); Al-Ājurriy dalam Asy-Syarī'ah (hal. 15-16); Al-Marrūziy dalam As-Sunnah (18); dan Al-Lālakā`iy dalam Syarḥ Uṣūl I'tiqād Ahlis-Sunnah wal-Jamā'ah (1/99 no. 145 & 146), dari jalur Abdurrahman bin Ziyād Al-Ifrīqiy, dari Abdullah bin Yazīd, dari Abdullah bin 'Amr bin Al-'Āṣ.

Di dalam sanadnya terdapat Abdurrahman Al-Ifrīqiy, seorang perawi daif.

Hadis ini memiliki banyak syāhid (penguat). Silakan lihat kitab Dar` Al-Irtiyāb 'an Ḥadīṡ 'Mā Anā 'Alaihi wal-Aṣhāb', karya Syekh Salīm Al-Hilāliy.

Al-Munāwiy menukilkan dalam Faiḍul-Qadīr (5/347):

Imam Ibnu Taimiyah -raḥimahullāh- berkata,

"Hadis perpecahan ini sangat masyhur dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dari hadis sekelompok perawi yang mereka riwayatkan dari sekelompok sahabat."

Aṭ-Ṭībiy berkata, "Kata al-millah (agama) pada dasarnya diperuntukkan pada apa yang disyariatkan oleh Allah bagi hamba-Nya untuk mendapatkan kebahagiaan di sisi Allah, dan juga digunakan pada syariat secara umum, bukan satu ajarannya saja. Kemudian pemakaiannya melebar lalu digunakan sebagai istilah agama-agama yang batil, sehingga misalnya dikatakan, 'Kekufuran seluruhnya adalah agama yang satu'. Maksudnya, sekalipun mereka terpecah-belah dan masing-masing meyakini berbeda dari keyakinan yang lain, namun jalan-jalan mereka tersebut disebut sebagai satu agama secara majas.

Makna: "Seluruhnya di neraka": mereka melakukan perbuatan-perbuatan buruk yang dapat memasukkan mereka ke dalam neraka.

Makna "kecuali satu (agama)": yakni penganut satu agama.

Makna "Yaitu jalanku dan sahabat-sahabatku"([232]), yakni berupa akidah yang benar dan jalan yang lurus. Maka orang yang selamat adalah yang memegang kuat petunjuk mereka serta mengikuti jejak mereka dalam usul dan furuk."

Ibnu Taimiyah berkata, "Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- telah mengabarkan perpecahan umat beliau menjadi 73 golongan. Tidak diragukan bahwa merekalah yang disebutkan dalam ayat: 'Dan kamu mempercakapkan (hal-hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya.'([233]) Kemudian, perpecahan yang disebutkan ini bisa dalam persoalan agama saja atau dalam persoalan agama dan dunia sekaligus. Kemudian bisa saja kembali kepada dunia dan hanya di dunia saja."

 ·     Dosa Para Penyeru Kesesatan

95- Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- secara marfū':

"Siapa yang mengajak kepada petunjuk (kebajikan), maka ia mendapatkan pahala sebesar pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia menanggung dosa sebesar dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun."([234])

95- HR. Muslim, Kitāb Al-'Ilm (4/2060 no. 2674).

 ·     Penyeru Kebaikan Akan Mendapatkan Semisal Pahala Orang yang Mengerjakannya

96- HR. Muslim dari Abu Mas'ūd Al-Anṣāriy -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, Seorang laki-laki datang menemui Nabi-ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan berkata, "Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan, maka berikanlah aku kendaraan." Beliau bersabda, "Aku tidak punya." Lantas seseorang berkata, "Wahai Rasulullah! Aku akan mengarahkannya kepada siapa yang dapat memberinya kendaraan." Maka Rasulullah bersabda,

"Siapa yang mengarahkan pada kebaikan, maka baginya pahala semisal dengan pahala orang yang mengerjakannya."([235])

96- HR. Muslim, Kitāb Al-Imārah (3/1506 no. 1893).

Juga diriwayatkan oleh Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (242) dan Aṭ-Ṭayālisiy (85 no. 611). Lafal "Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan", yakni dengan alasan kendaraanku lumpuh atau mati.

 ·     Pahala Orang yang Menghidupkan Salah Satu Sunnah Nabi -Sallallāhu 'Alaihi wa Sallam-

97- 'Amr bin 'Auf -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan secara marfū':

"Siapa yang menghidupkan salah satu Sunnah-ku yang telah ditinggalkan sepeninggalku, baginya pahala sebanyak pahala orang-orang yang turut mengerjakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Sebaliknya, siapa yang mengadakan bidah yang tidak diridai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka baginya dosa sebanyak dosa orang-orang yang turut mengerjakannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun."([236])

(HR. Tirmizi -serta ia menghasankannya- dan Ibnu Majah. Ini adalah redaksi Ibnu Majah).

97- HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (5/44 no. 2677) dan Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (1/76 no. 210), keduanya dari jalur Kasīr bin Abdullah bin 'Amr bin Al-'Āṣ, dari ayahnya, dari kakeknya.

Tirmizi berkata, "Hadis hasan."

Saya katakan, "Di dalamnya terdapat Kaṡīr bin Abdullah, perawi yang daif sekali."

 ·     Penyebab Munculnya Fitnah

98- Ibnu Mas'ūd -raḍiyallāhu 'anhu- pernah berkata,

"Bagaimanakah kalian ketika dikepung oleh fitnah yang di atasnya anak kecil tumbuh dan orang dewasa menua, serta dijadikan sebagai budaya yang dilestarikan oleh manusia, yang ketika ada sebagiannya yang diubah, dikatakan, 'Sunah telah ditinggalkan'?" Lalu ada yang bertanya, "Kapan hal itu terjadi, wahai Abu Abdurrahman?" Dia menjawab, "Ketika ahli qiraah kalian telah banyak sementara yang ahli fikih di antara kalian sedikit, harta kekayaan kalian melimpah sementara yang amanah di antara kalian sedikit, dan dunia dikejar dengan amalan akhirat serta orang belajar bukan untuk agama."([237])

(HR. Ad-Dārimiy).

98- HR. Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (1/58 no. 191); beliau berkata, Abu Ya'lā mengabarkan kepada kami; ia berkata, Al-A'masy mengabarkan kepada kami; dari Syu'bah; dari Syaqīq; dia berkata, Abdullah berkata ...

Juga diriwayatkan oleh Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (1/58 no. 192); beliau berkata, 'Amr bin 'Aun menceritakan kepada kami; dari Khālid Ibnu Abdillah; dari Yazīd bin Abu Ziyād; dari Ibrāhīm; dari 'Alqamah; dari Abdullah bin Mas'ūd.

Juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal (1/64).

 ·     Orang yang Merobohkan Islam

99- Ziyād bin Ḥudair -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan: Umar -raḍiyallāhu 'anhu- pernah berkata kepadaku, "Apakah engkau mengetahui apa yang menghancurkan Islam?" Aku menjawab, "Tidak." Dia berkata, "Islam akan dihancurkan oleh kesalahan orang berilmu, perdebatan orang munafik dengan Al-Qur`ān, dan keputusan para pemimpin yang menyesatkan."([238])

(HR. Ad-Dārimiy).

99- HR. Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (1/63 no. 220), beliau berkata, Muhamad bin 'Uyainah mengabarkan kepada kami; ia berkata, Ali -yaitu Ibnu Mushir- mengabarkan kepada kami; dari Abu Isḥāq, dari Asy-Sya'biy, dari Ziyād bin Ḥudair.

 ·     Kewajiban Mengikuti Salaf Saleh -Riḍwānullāhi 'Alaihim-

100- Ḥużaifah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, "Setiap ibadah yang tidak pernah dikerjakan oleh sahabat-sahabat Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, maka janganlah kalian kerjakan. Karena generasi pertama tidak menyisakan satu amalan pun untuk dibahas bagi generasi yang berikutnya. Bertakwalah kepada Allah, wahai para qari (ahli Al-Qur`ān)! Dan ikutilah jalan orang-orang sebelum kalian."

(HR. Abu Daud).

100- HR. Bukhari, Kitāb Al-I'tiṣām bil-Kitāb was-Sunnah (13/250 no. 7282) dari Ḥużaifah, bahwa dia berkata, "Wahai para qari (ahli Al-Qur`ān)! Istikamahlah kalian. Karena kalian telah menang dengan kemenangan yang jauh. Bila kalian menyimpang ke kiri dan ke kanan, pastilah kalian akan tersesat dengan kesesatan yang jauh."

101- Ibnu Mas'ūd -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, "Siapa yang hendak mengikuti suatu Sunnah, hendaklah dia mengikuti Sunnah orang-orang yang sudah meninggal. Karena orang-orang yang hidup sekarang tidak terjamin aman dari fitnah. Mereka itu sahabat-sahabat Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Mereka adalah yang paling utama di antara umat ini; paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling tidak memaksakan diri. Mereka dipilih oleh Allah untuk menyertai Nabi-Nya -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan untuk menegakkan agama-Nya. Maka berikanlah mereka keutamaan mereka dan ikutilah peninggalan ajaran mereka. Berpeganglah dengan akhlak dan ajaran mereka semampu kalian, karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus."

(HR. Razīn).

101- HR. Razīn sebagaimana dalam Misykātul-Maṣābīḥ (1/67 no.193).

Syekh Nasir berkata ketika memberikan komentarnya, "Ini munqaṭi' (terputus sanadnya). Juga diriwayatkan oleh Ibnu 'Abdil-Barr dalam Jāmi' Bayānil-'Ilmi wa Faḍlihi (2/97) dari jalur Qatādah, dari Ḥużaifah."

 ·     Pengharaman Memperdebatkan antara Ayat-ayat Al-Qur`ān

102- 'Amr bin Syu'aib meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa dia berkata, Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mendengar sejumlah orang memperdebatkan tentang (ayat-ayat) Al-Qur`ān, maka beliau bersabda, "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa dengan sebab ini; yaitu mereka mempertentangkan ayat-ayat Kitab Allah satu sama lain. Sesungguhnya Kitab Allah turun dalam keadaan ayat-ayatnya saling membenarkan satu sama lain. Oleh karena itu, janganlah kalian mempertentangkan sebagiannya dengan sebagian yang lain. Apa yang kalian ketahui darinya maka sampaikanlah, dan apa yang kalian tidak ketahui maka serahkanlah kepada ahlinya."([239])

(HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

102- Hasan; HR. Ahmad (2/185), beliau berkata, 'Abdur-Razzāq menceritakan kepada kami; ia berkata, Ma'mar menceritakan kepada kami; dari Az-Zuhriy; dari 'Amr, dan redaksi ini miliknya.

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (1/33 no. 85) dari jalur Daud bin Abi Hind, dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya dengan redaksi yang semakna dengannya.

    BAB ANJURAN MENIMBA ILMU DAN CARA MENIMBA ILMU

 ·     Pengharaman Taklid

103- Hal ini ditunjukkan oleh sebuah hadis dalam Aṣ-Ṣaḥīḥain tentang fitnah kubur: "Bahwa orang yang diberi nikmat berkata, 'Allah telah menurunkan keterangan dan petunjuk kepada kami lalu kami pun beriman serta menyambutnya dan mengikutinya.' Sedangkan yang disiksa berkata, 'Dahulu aku mendengar manusia mengatakan sesuatu lalu aku pun ikut-ikutan mengatakannya.'"([240])

103- HR. Bukhari, Kitāb Al-'Ilm (1/182 no. 86) dan Kitāb Al-Wuḍū` (1/288 no. 184). Bukhari juga meriwayatkannya di banyak tempat dalam kitab Ṣaḥīḥ-nya. Juga diriwayatkan Muslim, Kitāb Al-Kusūf (2/624 no. 905), keduanya dari jalur Hisyām bin 'Urwah, dari Fāṭimah binti Al-Munżir, dari Asmā` binti Abu Bakr.

Al-Bagawiy berkata (1/289),

"Ilmu syariat terbagi dua: ilmu usul dan ilmu furuk. Yang merupakan ilmu usul adalah ilmu mengenal Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- tentang keesaan dan sifat-sifat-Nya serta membenarkan para rasul. Setiap hamba yang mukalaf wajib mengenal Allah dan tidak dibenarkan berpaling darinya, karena terang benderangnya ayat-ayat tanda kebesaran-Nya. Allah -Ta'ālā- berfirman, "Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah."([241]) (QS. Muḥammad: 19). Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur`ān itu adalah benar."([242]) (QS. Fuṣṣilat: 53).

Adapun ilmu furuk, yaitu ilmu fikih dan mengenal hukum-hukum agama. Dan itu terbagi menjadi fardu ain dan fardu kifayah. Fardu ain misalnya ilmu tentang bersuci, salat, dan puasa. Setiap muslim mukalaf wajib mempelajarinya. Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, 'Menuntut ilmu fardu atas setiap mulim.'([243]) Demikian juga semua ibadah yang diwajiban oleh agama atas masing-masing orang, maka dia wajib mempelajarinya seperti ilmu tentang zakat bila dia memiliki harta dan ilmu tentang haji bila dia telah wajib berhaji.

Adapun fardu kifayah yaitu mempelajari ilmu yang akan mengangkatnya ke tingkat ijtihad dan pemberi fatwa. Bila semua penduduk suatu negeri tidak mempelajarinya, mereka semua dinyatakan bermaksiat. Namun bila ada satu orang di antara mereka yang mempelajarinya, maka kewajiban itu gugur dari yang lain dan mereka semua wajib mengikutinya pada perkara-perkara yang terkait dengan mereka. Allah -Ta'ālā- berfirman, "Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui."([244]) (QS. An-Naḥl: 43).

 ·     Keutamaan Orang Berilmu Atas Manusia Lainnya

104- Dalam Aṣ-Ṣaḥīḥain, Mu'āwiyah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Siapa yang Allah inginkan padanya kebaikan, niscaya Allah menjadikannya paham agama."([245])

104- HR. Bukhari, Kitāb Al-'Ilm (1/164 no. 71), Farḍ Al-Khams (6/217 no. 3116), dan Al-I'tiṣām bil-Kitāb was-Sunnah (13/263 no. 7312); dan Muslim, Kitāb Az-Zakāh (2/719 no. 1037).

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (1/164),

"Di dalam hadis ini terdapat penetapan kebaikan bagi orang yang mendalami agama Allah, bahwa hal itu tidak akan terwujud hanya dengan sebatas belajar saja, melainkan bagi orang yang Allah bukakan baginya hal itu. Dan bahwa orang yang Allah bukakan baginya hal itu, secara umum akan senantiasa ada hingga datang perintah Allah (hari Kiamat). Dan Bukhari memastikan bahwa orang-orang yang dimaksudkan adalah orang-orang berilmu yang menguasai hadis-hadis (ahli hadis)."

Ahmad bin Hanbal berkata, "Jika mereka bukan ahli hadis, maka aku tidak tahu siapa lagi?!"

Al-Qāḍī Iyāḍ berkata, "Yang dimaksud oleh Ahmad adalah Ahli Sunnah dan siapa saja yang berakidah mengikuti mazhab ahli hadis."

An-Nawawiy berkata, "Ada kemungkinan kelompok ini adalah salah satu kelompok orang beriman yang menegakkan perintah (agama) Allah -Ta'ālā- baik seorang mujahid, ahli fikih, ahli hadis, ahli zuhud, pelaku amar makruf, dan berbagai macam kebaikan lainnya. Dan mereka tidak harus berkumpul di satu tempat, melainkan memungkinkan mereka terpencar."

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata, "Dipahami dari hadis ini bahwa orang yang tidak mendalami ilmu agama -yaitu tidak mempelajari kaidah-kaidah Islam dan ilmu furuk yang terkait- telah terhalangi dari kebaikan. Karena orang yang tidak mengenal perintah Tuhannya bukanlah orang yang fakih atau penuntut ilmu, sehingga tepat bila dia disifati sebagai orang yang tidak diinginkan untuknya kebaikan. Yang demikian itu mengandung penjelasan yang jelas tentang keutamaan ulama di atas manusia lainnya serta keutamaan mendalami ilmu agama di atas ilmu-ilmu lainnya."

105- Juga dalam Aṣ-Ṣaḥīḥain dari Abu Mūsā -raḍiyallāhu 'anhu-, dia meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku dengannya bagaikan hujan deras yang turun ke bumi. Sebagian jenis tanah ada yang baik dan dapat menyerap air lalu menumbuhkan rerumputan dan tumbuhan yang banyak. Sebagian yang lain adalah tanah yang keras dan menahan air, maka Allah menjadikannya bermanfaat bagi manusia, yaitu mereka bisa minum, melakukan pengairan, dan bercocok tanam. Sementara sebagian yang lain adalah tanah gersang yang tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang paham agama Allah dan mendapat manfaat dari apa yang Allah utus aku dengannya, yaitu dia memiliki ilmu lalu mengajarkannya. Demikian pula perumpamaan orang yang tidak peduli dan yang tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus."([246])

105-HR. Bukhari, Kitāb Al-'Ilm (1/175 no. 79) dan Muslim, Kitāb Al-Faḍā`il (4/1787 no. 2282).

Al-Bāgawiy -raḥimahullāh- berkata,

"Lafal: 'Di antaranya adalah ṡugbah', makna aṡ-ṡugbah ialah tempat genangan air di pegunungan dan bebatuan. Bentuk jamaknya adalah ṡugbān.

Lafal: 'Sebagiannya adalah ajādib (tanah keras)', makna ajādib adalah tanah keras yang menahan air, sehingga air tidak cepat meresap. Al-Aṣma'iy berkata, 'Ajādib adalah tanah yang tidak menumbuhkan tumbuhan, yaitu tanah yang tandus, tidak dihampari tumbuhan.'"

Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- membuat perumpamaan orang yang berilmu ibarat air hujan dan perumpamaan hati manusia padanya ibarat tanah dalam hal menerima air. Beliau mengumpamakan orang yang mempelajari ilmu dan hadis dan memahaminya sebagai tanah bagus ketika diguyur hujan lalu menumbuhkan tumbuhan dan manusia mendapatkan manfaatnya. Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mempelajarinya namun tidak memahaminya sebagai tanah keras yang tidak menumbuhkan tumbuhan namun ia menahan air lalu manusia mengambilnya dan mendapat manfaatnya. Serta beliau mengumpamakan orang yang tidak memahami dan tidak mempelajarinya sebagai tanah gersang yang tidak menumbuhkan tumbuhan maupun menahan air, yaitu yang tidak memiliki kebaikan.

An-Nawawiy berkata (15/47-48),

"Adapun makna hadis ini yaitu mengumpamakan petunjuk yang dibawa oleh Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dengan hujan. Maksudnya bahwa tanah terbagi menjadi tiga macam, begitu juga manusia:

Jenis tanah yang pertama adalah tanah yang mendapatkan manfaat hujan sehingga ia menjadi hidup setelah sebelumnya mati lalu menumbuhkan berbagai tumbuhan sehingga dirasakan manfaatnya oleh manusia, hewan, tanaman, dan lainnya. Begitu pula jenis manusia yang pertama, yaitu sampai kepadanya petunjuk dan ilmu lalu dia menghafalnya sehingga hatinya menjadi hidup dan dia mengamalkannya serta mengajarkannya kepada yang lain; dia mengambil manfaat dan memberi manfaat.

Jenis tanah yang kedua: tanah yang tidak mendapatkan manfaat untuk dirinya namun ia masih memiliki manfaat, yaitu menampung air untuk pihak lain sehingga manusia dan hewan dapat mengambil manfaatnya. Begitu pula manusia yang kedua; yaitu mereka memiliki kemampuan hafalan namun tidak memiliki pemahaman yang mendalam dan tidak juga kecerdasan yang kuat yang akan digunakan untuk menyimpulkan makna dan hukum-hukum serta mereka tidak memiliki semangat tinggi dalam ketaatan dan mengamalkannya, mereka hanya menghafal ilmu supaya datang kepadanya seorang pelajar yang haus pada ilmu dan membutuhkan apa yang mereka miliki untuk mengambil faedah darinya; mereka itu memberikan manfaat bagi orang lain dengan ilmu yang mereka sampaikan.

Jenis tanah yang ketiga: tanah gersang (bergaram) yang tidak menumbuhkan tumbuhan, yaitu ia sendiri tidak mengambil manfaat dari air hujan tersebut dan tidak juga menahannya untuk dimanfaatkan pihak lain. Begitu pula jenis manusia yang ketiga, mereka tidak memiliki kemampuan menghafal dan tidak juga pemahaman yang bagus; mereka tidak mendapatkan manfaat ketika mendengar ilmu dan tidak juga menghafalnya untuk bisa diberikan manfaatnya kepada orang lain.

106- Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- secara marfū':

"Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat mutasyābihāt, maka mereka itulah yang disebutkan oleh Allah, maka waspadailah mereka."([247])

106- Telah disebutkan pada no. 79.

Faedah: Imam Abu Ja'far Aṭ-Ṭaḥāwiy berkata dalam Musykil Al-Āṡār (3/210) setelah meriwayatkan hadis ini serta menyebutkan firman Allah -Ta'ālā-, "Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, 'Kami beriman kepadanya (Al-Qur`ān), semuanya dari sisi Tuhan kami'", beliau berkata, "Beginilah seharusnya sikap pengikut kebenaran pada ayat Al-Qur`ān yang mutasyābihāt, yaitu mereka mengembalikannya kepada yang mengetahuinya -yaitu Allah 'Azza wa Jalla- dan berusaha mencari penafsirannya pada ayat-ayat muḥkamāt, yang merupakan induk Al-Qur`ān. Bila mereka temukan, maka mereka mengamalkannya sebagaimana mereka mengamalkan ayat-ayat muḥkamāt. Tetapi bila tidak mereka temukan lantaran keterbatasan ilmu mereka, maka sikap mereka tidak lebih dari mengimaninya lalu mengembalikan hakikatnya kepada Allah -Ta'ālā-. Mereka tidak menggunakan prasangka yang Allah -Ta'ālā- haramkan mereka menggunakan pada selain diri-Nya. Bila menggunakan prasangka pada selain diri-Nya diharamkan, maka menggunakannya pada diri-Nya lebih diharamkan."

 ·     Pengikut Setia Rasul -Sallallāhu 'Alaihi wa Sallam- Adalah yang Mengamalkan Sunnah Beliau

107- Ibnu Mas'ūd -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Tidak ada seorang nabi pun yang Allah utus kepada kaumnya sebelumku kecuali ia memiliki pengikut-pengikut setia dan sahabat-sahabat yang mengamalkan Sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian datang generasi pengganti setelah mereka yang mengatakan apa yang tidak mereka perbuat dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya ia adalah seorang mukmin, siapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya ia adalah seorang mukmin, dan siapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya ia adalah seorang mukmin. Adapun selain pengingkaran itu, maka bukanlah suatu bentuk keimanan meskipun sebesar biji sawi."([248])

(HR. Muslim).

107- HR. Muslim, Kitāb Al-Īmān (1/69 no.50).

An-Nawawiy berkata (2/28),

"Terjadi perbedaan pendapat tentang "al-ḥawāriyyūn" yang disebutkan. Al-Azhariy dan lainnya mengatakan, 'Mereka adalah khulṣān (orang-orang pilihan) para nabi; khulṣān ialah orang-orang yang disucikan dari semua aib ..."

Makna "mengikuti petunjuknya" adalah mengikuti jalan dan Sunnah Nabi mereka.

 ·     Pengharaman Mengikuti Selain Rasul -Sallallāhu 'Alaihi wa Sallam- Sekalipun Seorang Nabi

108- Jābir -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, bahwa Umar -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, "Wahai Rasulullah! Kami mendengar sejumlah hadis dari orang-orang Yahudi yang membuat kami takjub, apakah menurutmu kami boleh mencatat sebagiannya?" Maka beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Apakah kalian ragu sebagaimana keraguan orang Yahudi dan Nasrani?! Aku telah membawakannya kepada kalian terang benderang. Seandainya Musa masih hidup, tidak ada baginya pilihan kecuali harus mengikutiku."([249])

(HR. Ahmad).

108- HR. Ahmad (3/387) dan Al-Bazzār sebagaimana dalam Kasyful-Astār (1/78 no. 124) dari jalur Husyaim; dia berkata, Mujālid menceritakan kepada kami; dari 'Āmir Asy-Sya'biy; dari Jābir, bahwa Umar ..."

Di dalam sanadnya terdapat Mujālid yang merupakan perawi daif. Namun hadis ini memiliki tābi' (penguat);

yaitu diriwayatkan oleh Al-Bazzār sebagaimana dalam Kasyful-Astār (1/78 no. 124) dari jalur Ḥammād bin Zaid; dia berkata, Khālid menceritakan kepada kami; ia berkata, 'Āmir menceritakan kepada kami; ia berkata, Jābir menceritakan kepada kami.

109- Abu Ṡa'labah Al-Khusyaniy -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan secara marfū':

"Sesungguhnya Allah -Ta'ālā- telah menetapkan kewajiban-kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya! Dan Allah menetapkan batasan-batasan, maka janganlah kalian menerjangnya! Allah juga mengharamkan beberapa perkara, maka janganlah kalian melanggarnya! Allah mendiamkan (tidak memberi ketetapan dalam) beberapa hal sebagai bentuk rahmat-Nya kepada kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian berlebihan dalam mencari-carinya (mempermasalahkannya)!"

(Hadis hasan; HR. Ad-Dāraquṭniy dan lainnya).

109- HR. Ad-Dāraquṭniy, Kitāb Ar-Raḍā' (4/183 no. 42) dari jalur Isḥāq Al-Azraq. Juga diriwayatkan oleh Al-Ḥākim, Kitāb Al-Aṭ'imah (4/115) dan Al-Baihaqiy, Kitāb Aḍ-Ḍaḥāyā (10/12) dari jalur Ali bin Mushir; keduanya dari Daud bin Abu Hind, dari Makḥūl, dari Abu Ṡa'labah Al-Khusaniy secara marfū'. Namun sanadnya munqaṭi' (terputus), yaitu Makḥūl tidak bertemu dengan Abu Ṡa'labah.

Hadis ini juga diriwayatkan secara mauqūf:

Yaitu diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy (10/12) dari jalur Ḥafṣ bin Giyāsy, dari Daud bin Abu Hind, dari Makḥūl, dari Abu Ṡa'labah secara mauqūf kepadanya.

Al-Mizziy berkata dalam Tahżībul-Kamāl (33/168), "Namun dia tidak pernah mendengar darinya."

Hadis ini memiliki syāhid (penguat) yang semakna, yaitu dari hadis Abu Ad-Dardā`; diriwayatkan oleh Al-Bazzār sebagaimana dalam Kasyful-Astār (3/58 no. 2231), Al-Ḥākim (2/375), dan Al-Baihaqiy (10/12). Al-Ḥākim berkata, "Sahih", dan pernyataannya ini disepakati oleh Aż-Żahabiy.

Al-Bazzār berkata, "Sanadnya ṣāliḥ."

Al-Haiṡamiy berkata (7/55), "Perawi-perawinya ṡiqah."

 ·     Haram Berselisih dan Berpecah-belah

110- Dalam -Aṣ-Ṣaḥīḥain-; diriwayatkan dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Apa yang telah aku larang untuk kalian, maka jauhilah, dan apa yang telah aku perintahkan kepada kalian, maka lakukanlah semampu kalian! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena banyaknya pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka."([250])

110- HR. Bukhari, Kitāb Al-I'tiṣām (13/251 no. 7288) dan Muslim, Kitāb Al-Faḍā`il (4/1831 no. 1337). Juga diriwayatkan oleh Muslim (4/1830, 1831).

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (13/260),

"Maksud perintah ini ialah tidak menanyakan sesuatu yang belum terjadi karena dikhawatirkan akan turun kewajiban atau pengharamannya. Juga larangan banyak bertanya yang umumnya berlebihan karena dikhawatirkan akan turun jawaban berisikan perintah yang memberatkan lalu dapat berakibat tidak dilaksanakan sehingga akan banyak orang terjatuh dalam pelanggaran... Juga jangan banyak menggalinya karena dapat berakibat seperti yang dialami oleh Bani Israil tatkala mereka diperintahkan untuk menyembelih seekor sapi; seandainya mereka menyembelih sapi jenis apa saja yang ada tentu mereka telah melaksanakannya, tetapi mereka menyulitkan diri mereka sehingga Allah pun menyulitkan mereka."

Al-Hāfiz juga berkata, "Yang benar bahwa perintah menjauhi larangan sesuai keumumannya selama tidak dibatalkan oleh izin (rukhsah) untuk melakukan suatu larangan seperti memakan bangkai bagi orang yang terpaksa."

“Apa yang aku perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah semampu kalian":

Dijelaskan oleh An-Nawawiy, "Ini termasuk jawāmi'ul-kalim dan kaidah besar Islam. Masuk di dalamnya banyak hukum, seperti salat bagi orang yang tidak mampu melakukan salah satu rukun atau syaratnya, maka dia cukup melakukan yang dimampuinya. Demikian juga wudu dan menutup aurat... dan permasalahan-permasalahan lainnya yang akan sangat panjang bila dijelaskan."

Yang lainnya mengatakan, "Siapa yang tidak mampu mengerjakan sebagian perkara maka tidak menggugurkan bagian yang dia mampui. Para ahli fikih membahasakannya bahwa sesuatu yang dimampui tidak gugur karena ada yang sulit, sebagaimana tidak gugur sebagian rukun salat yang dia mampu lakukan lantaran ada rukun lain yang tidak dia mampu lakukan."

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata (263), "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena banyaknya pertanyaan mereka ..."

Dijelaskan oleh Al-Bagawiy dalam Syarḥ As-Sunnah,

"Pertanyaan-pertanyaan terbagi menjadi dua. Salah satunya: pertanyaan dalam bentuk belajar mengajar, untuk menanyakan perkara agama yang dibutuhkan. Ini hukumnya boleh, bahkan diperintahkan berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-, 'Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.'([251]) Seperti inilah bentuk pertanyaan-pertanyaan para sahabat, tentang harta rampasan perang, kalālah, dan lainnya. Kemudian yang kedua: pertanyaan dalam bentuk berlebihan dan memaksakan diri, dan inilah yang dimaksudkan dalam hadis ini. Wallāhu a'lam."

Ibnul-'Arabiy berkata, "Larangan bertanya pada masa Nabi karena khawatir akan turun wahyu yang memberatkan mereka. Adapun setelahnya, hal yang dikhawatirkan itu tidak ada lagi. Namun, nukilan paling banyak dari salaf ialah tentang makruhnya bertanya pada perkara-perkara yang belum terjadi."

 ·     Doa Rasulullah -Sallallāhu 'Alaihi wa Sallam- bagi Ahli Hadis

111- Ibnu Mas'ūd -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Semoga Allah membaguskan rupa orang yang mendengarkan hadisku lalu menghafalnya dan memahaminya kemudian menyampaikannya. Bisa saja seorang yang membawa ilmu itu tidak fakih. Bisa saja seseorang membawa ilmu kepada orang yang lebih fakih. Tiga perkara yang tidak akan hasad di atasnya hati seorang muslim: mengikhlaskan amalan untuk Allah, menasihati kaum muslimin, dan tetap bersama jamaah mereka. Sesungguhnya doa kaum muslimin akan meliputinya."([252])

HR. Asy-Syāfi'iy dan Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal. Juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad-Dārimiy dari Zaid bin Ṡābit -raḍiyallāhu 'anhu-.

111- Sahih; HR. Asy-Syāfi'iy dalam Musnad-nya (1514); Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (5/34 no. 2658); Al-Ḥumaidiy (1/47 no. 88); Al-Baihaqiy dalam Ad-Dalā`il (1/23); dan Al-Bagawiy dalam Syarḥ As-Sunnah (1/236 no. 112) dari jalur Abdul Malik bin Umair, dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas'ūd, dari Ibnu Mas'ūd.

Juga diriwayatkan oleh Tirmizi (no. 2657); Ibnu Majah (1/85 no. 232); Ahmad (1/437); Abu Nu'aim dalam Al-Ḥilyah (7/331); Ibnu Ḥibbān dalam Ṣaḥīḥ-nya (1/268 no. 66); dan Al-Baihaqiy dalam Ad-Dalā`il (6/540) dari jalur Sammāk, dari Abdurrahman bin Abdullah, dari ayahnya, dan seterusnya secara ringkas.

Tirmizi berkata, "Hasan sahih."

Juga diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Akhbār Aṣbahān (2/90) dari jalur Murrah, dari Ibnu Mas'ūd.

112- Juga diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi dari Zaid bin Ṡābit -raḍiyallāhu 'anhu-.

112- Sahih; HR. Abu Daud, Kitāb Al-'Ilm (4/322 no. 3660); Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (5/33 no. 2656); Ad-Dārimiy (1/65 no. 235); Ibnu Abi 'Āṣim dalam As-Sunnah (1/45 no. 94); Aṭ-Ṭahāwiy dalam Al-Musykil (2/232); Aṭ-Ṭabarāniy (5/158 no. 4890); dan Ibnu Ḥibbān (1/270 no. 67, 2/454 no. 680), seluruhnya dari jalur Syu'bah, dari 'Amr bin Sulaiman, dari Abdurrahman bin Ibān, dari ayahnya, dari Zaid bin Ṡābit.

Redaksi riwayat Abu Daud, Tirmizi, dan Aṭ-Ṭahāwiy diringkas.

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1/84 no. 230) dan At-Ṭabarāniy (5/171 no. 2924) dari jalur Yahya bin 'Abbād, dari ayahnya, dari Zaid bin Ṡābit.

Redaksi riwayat Aṭ-Ṭabarāniy diringkas.

Juga diriwayatkan oleh Aṭ-Ṭabarāniy (5/172 no. 4925) dari jalur Muhammad bin Wahb, dari ayahnya, dari Zaid bin Ṡābit. Tirmizi berkata, "Hadis Zaid adalah hadis hasan."

Al-Bagawiy menukilkan (1/236): Abu Sulaiman Al-Khattābiy berkata, "Sabda Nabi:

'Semoga Allah membaguskan rupa seseorang'([253]) maksudnya mendoakan untuknya keindahan dan kekemilauan wajah. Ada yang mengatakan: ini bukan keindahan wajah, tetapi maknanya ialah keindahan kedudukan di tengah manusia. Juga maksudnya, bisa saja seorang yang membawa ilmu itu fakih namun tidak paling fakih lalu ia menghafalnya dan menyampaikannya kepada orang yang lebih fakih sehingga dia bisa mengambil pelajaran yang tidak bisa dipahami oleh si pembawa sendiri atau kepada yang lebih fakih."

Sabda beliau([254]): "لًا يَغُلَّ عَلَيْهِنَّ" dengan memfatahkan "yā`" dan mengkasrahkan "gain". Ia berasal dari kata "al-gill", artinya: dengki dan hasad. Maksud beliau, hatinya tidak akan dimasuki dengki yang akan menjauhkannya dari kebenaran. Juga diriwayatkan dengan mendamahkan "yā`", berasal dari kata "al-aglāl", artinya: khianat.

 ·     Ilmu Itu Ada Tiga, Selebihnya Hanyalah Tambahan

113- Abdullah bin 'Amr -raḍiyallāhu 'anhumā- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Ilmu itu ada tiga: ayat yang muḥkam, Sunnah yang tegak, atau faraid yang adil. Adapun yang lebih dari itu hanyalah tambahan."([255])

(HR. Ad-Dārimiy dan Abu Daud).

113- HR. Abu Daud, Kitāb Al-Farā`iḍ (3/119 no. 2885); Ibnu Majah (1/21 no. 54); Ad-Dāraquṭniy, Kitāb Al-Farā`iḍ (4/67); Al-Ḥākim (1/332); dan Al-Baihaqiy (6/208), dari jalur Abdurrahman bin Ziyād, dari Abdurrahman bin Rāfi' At-Tanūkhiy, dari Abdullah bin 'Amr.

Di dalam sanadnya terdapat Abdurrahman bin Ziyād bin An'um Al-Ifrīqiy, dan dia daif.

Makna: "Ilmu itu ada tiga" adalah pokok ilmu-ilmu agama dan permasalahan-permasalahan syariat; adapun selebihnya adalah tambahan yang tidak darurat.

Makna: "Ayat yang muḥkam" yaitu: yang tidak dimansukh.

Makna: "Atau Sunnah yang tegak" ialah yang terus-menerus dan berkesinambungan serta bersambung dalam mengamalkannya.

Makna: "Faraid yang adil" yaitu, warisan. Maksud beliau adil dalam pembagian berdasarkan bagian-bagian yang disebutkan dalam Al-Qur`ān dan Sunnah; ia disebut farā`iḍ karena diwajibkan atas seorang mujtahid.

Aku tidak menemukan hadis ini dalam Sunan Ad-Dārimiy.

 ·     Pengharaman Menafsirkan Al-Qur`ān dengan Akal Semata

114- Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Siapa yang menafsirkan Al-Qur`ān dengan akalnya maka bersiaplah menempati tempatnya di neraka."([256])

(HR. Tirmizi).

114- HR. Tirmizi, Kitāb At-Tafsīr (5/183 no. 2950); An-Nasā`i dalam Al-Kubrā, Kitāb Fadā`il Al-Qur`ān (5/31 no. 8085); dan Al-Bagawiy dalam Syarḥ As-Sunnah (1/258 no. 1118 & 119), seluruhnya dari jalur Sufyān, dari 'Abdul-A'lā bin 'Āmir, dari Sa'īd bin Jubair, dari Ibnu 'Abbās.

Tirmizi berkata, "Hasan sahih."

Al-Bagawiy berkata, "Hasan."

115- Dalam riwayat lain disebutkan,

"Siapa yang menafsirkan Al-Qur`ān tanpa ilmu maka bersiaplah menempati tempatnya di neraka."([257])

(HR. Tirmizi).

115- HR. Tirmizi (5/183 no. 2950); An-Nasā`i dalam Al-Kubrā (5/30 no. 8084); Ahmad (1/233 & 269); Aṭ-Ṭabarāniy (12/35 no. 12392); dan Al-Bagawiy dalam Syarḥ As-Sunnah (1/257 no. 117) dari jalur 'Abdul-A'lā bin 'Āmir, dari Sa'īd bin Jubair, dari Ibnu 'Abbās.

Tirmizi dan Al-Bagawiy berkata, "Hasan."

Saya katakan, "Di kedua sanad ini terdapat 'Abdul-A'lā bin 'Āmir dan dia daif."

Tirmizi berkata, "Beginilah diriwayatkan dari sebagian ulama baik dari kalangan sahabat-sahabat Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- atau lainnya, yaitu mereka melarang keras menafsirkan Al-Qur`ān tanpa ilmu."

 ·     Peringatan dari Berfatwa Tanpa Ilmu

116- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Siapa yang diberikan fatwa tanpa ilmu, maka dosanya atas orang yang memberinya fatwa. Siapa yang mengarahkan saudaranya pada suatu perkara padahal dia mengetahui kebaikan pada yang lain, maka dia telah mengkhianatinya."([258])

(HR. Abu Daud).

116- Hasan; HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (101 no. 259).

117- Mu'āwiyah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- melarang membahas uglūṭāt (pembahasan-pembahasan yang rumit).

(HR. Abu Daud).

117- HR. Abu Daud, Kitāb Al-'Ilm (3/321 no. 3656) dan Ahmad dalam Al-Musnad (5/435) dari jalur Isa bin Yunus, dari Al-Auzā'iy, dari Abdullah bin Sa'ad, dari Aṣ-Ṣūnājiy, dari Mu'āwiyah.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad (5/435) dari jalur Rauḥ; dia berkata, Al-Auzā'iy menceritakan pada kami, dari Abdullah bin Sa'ad, dari Aṣ-Ṣūnājiy, dari seorang laki-laki di antara sahabat Rasul -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-.

Namun Abdullah bin Sa'ad adalah majhūl, dia dinyatakan daif oleh para ulama Syam. Lihat: Tamāmul-Minnah (hal. 45).

Al-Auzā'iy berkata, "Al-uglūṭāt ialah permasalahan-permasalahan yang berat dan sulit."

 ·     Menuntut Ilmu Adalah Jalan Menuju Surga

118- Kaṡīr bin Qais berkata, Aku pernah duduk bersama Abu Ad-Dardā di masjid Damaskus, lantas datang seorang laki-laki seraya berkata, "Wahai Abu Ad-Dardā`! Aku datang menemuimu dari Kota Rasul -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- demi satu hadis yang sampai kepadaku darimu, bahwa engkau meriwayatkannya dari Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Tidak ada tujuan lain yang membuatku datang menemuimu." Abu Ad-Dardā` berkata, "Sungguh aku telah mendengar Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

'Siapa yang menempuh sebuah jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena senang pada penuntut ilmu. Orang berilmu itu dimintakan ampunan oleh semua makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ikan di dasar air. Keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah laksana keutamaan rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama adalah ahli waris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang melimpah."([259])

(HR. Ahmad, Ad-Dārimiy, Abu Daud, Tirmizi, dan Ibnu Majah).

118- Hasan; HR. Abu Daud, Kitāb Al-'Ilm (3/317 no. 2641); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (1/81 no. 223); Ahmad (5/196); Ad-Dārimiy (1/83 no. 349); Aṭ-Ṭaḥāwiy dalam Al-Musykil (1/429); Al-Bagawiy dalam Syarḥ As-Sunnah (1/275 no. 129), dan Ibnu Ḥibbān (1/289 no. 88), seluruhnya dari jalur 'Āṣim bin Rajā` bin Ḥaiwah; dia berkata, Daud bin Jamīl menceritakan padaku; dari Kaṡīr bin Qais, dan seterusnya.

Di dalam sanadnya terdapat Daud bin Jamīl yang merupakan perawi daif.

Juga diriwayatkan oleh Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (5/47 no. 2682) dan Ahmad (5/196) dari jalur Muhammad bin Yazīd Al-Wāsiṭiy; dia berkata, 'Āṣim bin Rajā` menceritakan pada kami; dari Qais bin Kaṡīr, dan seterusnya; yaitu dengan menggugurkan Daud bin Jamīl dari sanad.

Tirmizi berkata, "Hadis ini -sepengetahuanku- sanadnya tidak bersambung."

Juga diriwayatkan oleh Abu Daud (3/318 no. 2642) dari jalur Muhammad bin Al-Wazīr Ad-Dimasyqiy; dia berkata, Al-Walīd bin Muslim menceritakan pada kami; ia berkata, aku menjumpai Syabīb bin Syaibah lalu menceritakan padaku; dari 'Usmān bin Abu Saudah; dari Abu Ad-Dardā` dengan maknanya.

Saya katakan: Syabīb adalah rawi majhūl.

Al-Bagawiy berkata (1/277),

"Sabda beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, 'Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya'([260]), sebagian berpendapat maknanya bahwa malaikat merendahkan diri kepada penuntut ilmu karena menghormati ilmunya; sebagaimana firman Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā-: "Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang."([261]) (QS. Al-Isrā`: 24). Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang beriman yang mengikutimu."([262]) (QS. Asy-Syu'arā`: 215). Yaitu rendahkanlah diri kepada mereka.

Yang lain berpendapat makna meletakkan sayap ialah tidak terbang, turun untuk berzikir.

Adapun sabda beliau, 'Orang berilmu dimintakan ampunan oleh semua makhluk yang ada di langit dan di bumi'([263]), sebagian mengatakan bahwa Allah mengilhami ikan dan berbagai macam hewan lainnya untuk memohonkan ampunan bagi orang berilmu karena merekalah yang menjelaskan hukum tentang yang halal dan yang haram bagi manusia.

Keutamaan ilmu atas ibadah dilihat dari aspek manfaat ilmu yang dirasakan oleh semua makhluk, di dalamnya terkandung tindakan menghidupkan agama, dan tingkatannya di bawah kenabian.

Sabda beliau, 'Siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang melimpah', yaitu dari peninggalan kenabian.

Ibnu 'Abbās berkata, 'Mempelajari ilmu sesaat di malam hari lebih baik daripada menghidupkannya (dengan kiamulail).'

Qatādah berkata, 'Satu bab ilmu yang dihafal seseorang untuk kebaikan dirinya dan kebaikan orang setelahnya lebih baik daripada ibadah satu tahun.'

Ibnu Wahb bercerita, Aku pernah duduk bersama Malik untuk bertanya, lalu dia melihatku mengumpulkan kitab-kitabku karena ingin berdiri, dia berkata, 'Ada apa denganmu? Engkau mau ke mana?' Aku menjawab, 'Aku ingin segera salat.' Dia berkata, 'Apa yang engkau sedang lakukan sekarang ini tidaklah lebih rendah dari amalan yang engkau hendak tuju, jika niat di dalamnya benar.' Atau kalimat yang semakna dengannya.

Asy-Syāfi'iy berkata, 'Menuntut ilmu lebih utama daripada salat sunah.'" Dinukil secara ringkas dari Syarḥ As-Sunnah.

 ·     Kalimat Hikmah Adalah Barang Hilang bagi Seorang Mukmin

119- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan secara marfū',

"Kalimat hikmah adalah barang seorang mukmin yang hilang, maka di mana saja ia menemukannya ia lebih berhak untuk mengambilnya."([264])

(HR. Tirmizi -dia berkata, "Garīb"- dan Ibnu Majah).

119- HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (5/49 no. 2687) dan Ibnu Majah dalam Az-Zuhd (2/1395 no. 4169) dari jalur Abdullah bin Numair, dari Ibrāhīm bin Al-Faḍl, dari Sa'īd Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah.

Tirmizi berkata, "Hadis garīb, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini sementara Ibrāhīm bin Al-Faḍl Al-Madaniy Al-Makhzūmiy dinyatakan daif dalam hadis dari sisi hafalannya."

 ·     Siapakah Orang yang Fakih?

120- Ali -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, "Orang yang fakih sebenarnya adalah yang tidak membuat manusia putus asa dari rahmat Allah, tidak membuat mereka mudah tergelincir pada kemaksiatan kepada Allah, tidak membuat mereka merasa aman dari azab Allah, dan tidak meninggalkan Al-Qur`ān karena benci lalu beralih ke lainnya. Sesungguhnya tiada kebaikan dalam ibadah yang tidak disertai ilmu, ataupun ilmu yang tidak disertai pemahaman, serta bacaan yang tidak disertai tadabur."([265])

120- HR. Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (1/76 no. 34): ia berkata, Al-Ḥasan bin 'Arfah menceritakan pada kami; ia berkata, Ismail bin Ibrahim menceritakan pada kami; dari Laiṡ; dari Yaḥyā bin 'Abbād; dia berkata, Ali berkata ...

121- Al-Ḥasan -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Siapa yang didatangi oleh kematian sementara dia sedang menimba ilmu untuk menghidupkan Islam, maka antara dirinya dengan para nabi terpaut satu derajat dalam surga."([266])

(Keduanya HR. Ad-Dārimiy).

121- HR. Ad-Dārimiy (1/84 no. 360): ia berkata, Bisyr bin Ṡābit Al-Bazzār mengabarkan pada kami; ia berkata, Naṣr bin Al-Qāsim menceritakan pada kami; dari Muhammad bin Ismail; dari 'Amr bin Kaṡīr; dari Al-Ḥasan, dan seterusnya.

Sanadnya daif karena mursal.

Naṣr bin Al-Qāsim seorang majhūl, sedangkan 'Amr bin Kaṡīr saya tidak temukan biografinya.

Juga diriwayatkan oleh Aṭ-Ṭabarāniy dalam Al-Ausaṭ dengan yang semakna dengannya -dari jalur lain secara marfū'- sebagaimana dalam Majma' Az-Zawā`id (1/123). Al-Haiṡamiy berkata, "Di dalamnya terdapat Muhammad bin Al-Ja'd seorang matrūk (ditinggalkan riwayatnya)."

Saya katakan, "Juga di dalam sanadnya terdapat Al-'Abbās bin Bakkār, perawi każżāb (pembohong)."

    BAB DICABUTNYA ILMU

122- Abu Ad-Dardā` -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, "Kami sedang bersama Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lalu beliau mengangkat pandangannya ke langit kemudian bersabda, 'Ini adalah waktu dicabutnya ilmu dari manusia sampai mereka tidak mendapatkannya sedikit pun.'"([267])

(HR. Tirmizi).

122- Sahih; HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (5/31 no. 2653) dan Al-Ḥākim dalam Al-'Ilm (1/99) dari jalur Abdullah bin Ṣāliḥ, dari Abdurrahman bin Jubair bin Nufair, dari ayahnya, Jubair bin Nufair, dari Abu Ad-Dardā`, dan seterusnya.

Tirmizi berkata, "Hasan garīb."

Al-Ḥākim berkata, "Sanadnya sahih."

Hadis ini memiliki syāhid (penguat) dari hadis 'Auf bin Mālik:

Diriwayatkan oleh An-Nasā`i dalam Al-Kubrā (3/256 no. 5909) dan Al-Ḥākim (1/99).

Ia juga memiliki syāhid (penguat) lain dari hadis Ibnu Labīd Al-Anṣāriy, yaitu hadis berikut ini.

 ·     Peringatan dari Membaca Al-Qur`ān Tanpa Diamalkan

123- Ziyād bin Labīd -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menyebutkan sesuatu kemudian bersabda, "Yang demikian itu akan terjadi pada saat ilmu hilang." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah! Bagaimanakah ilmu akan hilang, sementara kami selalu membaca Al Qur`ān dan kami mengajarkannnya kepada anak-anak kami lalu anak-anak kami juga mengajarkannya kepada anak-anak mereka dan seterusnya hingga hari Kiamat?!" Beliau bersabda, "Celaka engkau, wahai Ziyād! Aku menganggapmu termasuk orang yang paling fakih di Madinah ini. Bukankah orang-orang Yahudi dan Nasrani juga membaca Taurat dan Injil, namun mereka tidak mengamalkan sedikit pun yang termaktub dalam keduanya?!"([268])

(HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

123- HR. Ibnu Majah, Kitāb Al-Fitan (1/1344 no. 4048) dan Ahmad (4/160 & 218) dari jalur Waqī', dia berkata, Al-A'masy menceritakan kepada kami; dari Sālim bin Abul-Ja'd; dari Ziyād dan seterusnya.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad (4/219) dan Al-Ḥākim (1/100) dari jalur Muhammad bin Ja'far; dia berkata, Syu'bah menceritakan kepada kami; dari 'Amr bin Murrah; dia berkata, aku telah mendengarnya dari Sālim, dari Ziyād.

Al-Būṣīriy berkata dalam Az-Zawā`id, "Sanadnya sahih, semua perawinya ṡiqah, namun sanadnya munqaṭi' (terputus)."

Bukhari berkata dalam At-Tārīkh Aṣ-Ṣagīr, "Sālim Abul-Ja'd tidak pernah mendengar dari Ziyād bin Labīd."

Hal ini disepakati oleh Aż-Żahabiy dalam Al-Kāsyif.

 ·     Wasiat Menuntut Ilmu Sebelum Dicabut

124- Ibnu Mas'ūd -raḍiyallāhu 'anhu- berkata,

"Hendaklah kalian menimba ilmu sebelum ia dicabut dan dicabutnya ilmu ialah dengan kematian orang-orang berilmu. Hendaklah kalian menimba ilmu karena salah seorang kalian tidak tahu kapan dia membutuhkannya atau dibutuhkan ilmu yang dimilikinya. Kalian akan mendapatkan sejumlah orang yang mengira dirinya mengajak kepada Kitab Allah sementara mereka membuangnya di belakang punggung mereka. Hendaklah kalian menimba ilmu dan tinggalkan bidah dan berlebih-lebihan dalam agama. Hendaklah kalian berpegang pada ilmu lama nan berharga."([269])

(HR. Ad-Dārimiy dengan redaksi yang semisal dengannya).

124- HR. Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (1/50 no. 145); ia berkata, Sulaiman bin Ḥarb dan Abu An-Nu'mān menceritakan kepada kami, dari Ḥammād bin Zaid, dari Ayyūb, dari Abu Qilābah, dia meriwayatkan ...

Perawi-perawinya adalah perawi Aṣ-Ṣaḥīḥ.

125- Dalam Aṣ-Ṣaḥīḥain dari Ibnu 'Amr secara marfū':

"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya dari (dada) manusia, tapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga ketika tidak lagi tersisa seorang yang berilmu, maka orang-orang pun menjadikan orang yang bodoh menjadi pemimpin mereka, kemudian mereka ditanya lalu mereka pun memberi fatwa tanpa ilmu, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan."([270])

125- HR. Bukhari, Kitāb Al-'Ilm (1/194 no. 100) dan Muslim, Kitāb Al-'Ilm (4/2058 no. 2673).

Juga diriwayatkan oleh Bukhari, Kitāb Al-I'tiṣām (13/282 no. 7357) dan Muslim (4/2058).

126- Ali -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Hampir datang pada manusia sebuah masa ketika Islam tidak tersisa kecuali namanya dan Al-Qur`ān tidak tersisa kecuali tulisannya. Masjid mereka megah namun hampa dari petunjuk, orang-orang berilmu mereka adalah orang paling buruk di bawah kolong langit; fitnah datang dari mereka dan akan kembali kepada mereka."

(HR. Al-Baihaqiy dalam Syu'ab Al-Īmān).

126- HR. Al-Baihaqiy dalam Syu'ab Al-Īmān, Bāb fī Nasyr Al-'Ilm (2/311 no. 1908 & 1909) dan Ibnu 'Adiy dalam Al-Kāmil (4/1543) dari jalur Abdullah bin Dukain, dari Ja'far bin Muhammad, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ali.

Sanadnya daif, di dalamnya terdapat dua ilat (cacat):

Pertama: kedaifan Abdullah bin Dukain.

Kedua: keterputusan sanad antara Ali bin Al-Ḥusain dengan Ali bin Abi Ṭālib.

    BAB LARANGAN KERAS MENUNTUT ILMU UNTUK BERDEBAT

 ·     Haramnya Sifat Ria dalam Menuntut Ilmu

127- Ka'ab bin Mālik -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Siapa yang menuntut ilmu untuk berbangga diri di hadapan para ulama atau untuk mendebat orang-orang yang jahil atau untuk menarik perhatian manusia kepadanya, niscaya Allah akan memasukkannya ke neraka."([271])

(HR. Tirmizi).

127- Hasan; HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (5/32 no. 2654): ia berkata, Ahmad bin Al-Miqdām Al-'Ijliy menceritakan kepada kami; ia berkata, Umayyah bin Khālid menceritakan kepada kami; ia berkata, Isḥāq bin Yaḥyā bin Ṭalḥah menceritakan kepada kami; ia berkata, Ibnu Ka'ab bin Mālik menceritakan kepada kami, dari ayahnya.

Tirmizi berkata, "Isḥāq bin Yaḥyā bin Ṭalḥah bukanlah perawi qawiy (yang kuat hafalannya) menurut mereka (ulama hadis), karena dia dilemahkan dari sisi hafalannya."

Saya katakan, "Hadis ini memiliki empat syāhid (penguat),

Pertama: dari riwayat Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (1/93 no. 253) dan lainnya.

Kedua: dari riwayat Jābir yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 254) dan lainnya.

Ketiga: dari riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Daud (3/323 no. 2664) dan Ibnu Majah (no. 252).

Keempat: dari Ibnu Mas'ūd yang diriwayatkan oleh Ad-Dārimiy (1/86 no. 373), yang akan dibawakan oleh penulis pada hadis no. 131."

 ·     Perdebatan Merupakan Sebab Kesesatan

128- Abu Umāmah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan secara marfū':

"Tidaklah suatu kaum tersesat setelah berada di atas petunjuk kecuali karena diberikan perdebatan."([272]) Kemudian beliau membaca firman Allah -Ta'ālā-, "Mereka tidak memberikan (perumpamaan itu) kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja; sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar."([273]) (QS. Az-Zukhruf: 58).

(HR. Ahmad, Tirmizi, dan Ibnu Majah).

128- HR. Tirmizi, Kitāb At-Tafsīr (6/353 no. 3253); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (1/19 no. 48); Ahmad (5/252 & 256); Aṭ-Ṭabarāniy (8/333 no. 8067), dan Al-Ḥākim (2/447); seluruhnya dari jalur Ḥajjāj bin Dīnār, dari Abu Gālib, dari Abu Umāmah.

Tirmizi berkata, "Hasan sahih."

Al-Hākim berkata, "Sahih", dan disepakati oleh Aż-Ẓahabiy.

 ·     Orang yang Paling Dimurkai Allah

129- Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Orang yang paling dimurkai Allah adalah orang yang suka berdebat."([274])

(Muttafaq 'Alaih).

129- HR. Bukhari, Kitāb Al-Maẓālim (5/106 no. 2457), Kitāb At-Tafsīr (8/188 no. 4523), dan Kitāb Al-Aḥkām (13/180 no. 7188).

Imam Al-Bagawiy berkata,

"Al-Aladd: yang berdebat keras (membangkang). Al-Ladad: perdebatan dan perseteruan. Dikatakan, 'Rajulun aladd' (laki-laki pembangkang), 'Imra`atun laddā`' (wanita pembangkang), dan 'Qaum ludd' (kaum yang suka berdebat atau membangkang). Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- berfirman, 'Dan agar engkau dapat memberi peringatan kepada kaum yang membangkang.'([275]) (QS. Maryam: 97). Allah -Ta'ālā- juga berfirman, 'Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.'([276]) (QS. Az-Zukhruf: 58). Dikatakan, "ladadtuhu - aludduhu", artinya: aku mendebatnya lalu aku mengunggulinya."

Sedangkan dalam Fatḥul-Bārī (13/181) disebutkan: "Al-Aladd" ialah pendusta. Sepertinya maksudnya bahwa orang yang suka berdebat seringnya akan jatuh dalam kedustaan.

Sebab kemurkaan Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- terhadap orang yang suka berdebat ialah karena banyak berdebat umumnya akan mengantarkan kepada hal yang pelakunya dicela, karena mayoritas perdebatan dilakukan untuk membela kebatilan dari salah satu pihak yang berdebat.

130- Abu Wā`il meriwayatkan dari Abdullah -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwa dia berkata, "Siapa yang menuntut ilmu karena empat perkara akan masuk neraka -atau kalimat yang semisalnya-: yaitu untuk membanggakan diri di hadapan para ulama, untuk mendebat orang-orang bodoh, untuk menarik perhatian orang kepadanya, atau untuk mendapatkan harta dari para penguasa."

(HR. Ad-Dārimiy).

130- HR. Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (1/86 no. 373): ia berkata, Abu 'Ubaid Al-Qāsim bin Sallām mengabarkan kepada kami; ia berkata, Abu Ismā'il -yaitu Ibnu Ibrāhīm bin Sulaimān Al-Mu`addib- menceritakan kepada kami; dari 'Āṣim Al-Aḥwal; dari orang yang meriwayatkan kepadanya; dari Abu Wā`il; dari Ibnu Mas'ud.

Di dalam sanadnya terdapat rawi majhūl.

Hadis ini memiliki sejumlah syāhid (penguat), sebagaimana telah disebutkan dalam catatan untuk hadis no. 127.

131- Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā- pernah berkata kepada sekelompok orang yang didengarnya berdebat kusir tentang agama, "Tidakkah kalian mengetahui bahwa Allah memiliki hamba-hamba yang dibuat diam oleh rasa takut kepada Allah, bukan karena tuli dan bisu?! Mereka itulah para ulama, orang-orang yang fasih, orang-orang yang cerdas. Yaitu orang-orang yang berilmu tentang hari-hari Allah. Mereka itu bila mengingat keagungan Allah maka akal mereka terbang, hati mereka luluh, dan lidah mereka kelu. Bila mereka telah sadar dari keadaan tersebut, mereka langsung bersegera menuju kepada Allah dengan amal baik. Mereka menganggap diri mereka lalai, padahal mereka orang-orang cerdas dan kuat. Mereka menganggap diri mereka bersama orang-orang yang sesat dan salah padahal mereka orang-orang baik dan bersih. Ketahuilah, mereka itu tidak menganggap banyak sesuatu yang banyak kepada Allah, mereka tidak puas terhadap sesuatu yang sedikit bagi-Nya, dan mereka tidak menyebut-nyebut amal mereka kepada-Nya. Setiap kali engkau bertemu mereka selalu gigih dan takut."

(HR. Abu Nu'aim).

132- Hasan Al-Baṣriy berkata -ketika mendengar sekelompok orang berdebat-, "Mereka itu orang-orang yang malas beribadah, menganggap ringan ucapan, dan minim waraknya sehingga mereka pun berdebat."

    BAB SEDERHANA DALAM UCAPAN DAN TIDAK MEMAKSAKAN DIRI

133- Abu Umāmah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan secara marfū':

"Malu dan sedikit berbicara adalah dua di antara cabang keimanan. Sedangkan berkata kotor dan banyak bicara adalah dua cabang kemunafikan."([277])

(HR. Tirmizi).

133- Sahih; HR. Tirmizi, Kitāb Al-Birr wa Aṣ-Ṣilah (4/329 no. 2027); Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Īmān (118); Ahmad (5/269); Al-Ḥākim (1/9); dan Al-Baihaqiy dalam Syu'ab Al-Īmān (6/133 no. 7706) dari jalur Muhammad bin Muṭarrif, dari Ḥassān bin 'Aṭiyyah, dari Abu Umāmah.

Tirmizi berkata, "Hasan garīb."

العِيُّ: sedikit bicara.

البَذَاءَةُ: keji dan kotor dalam ucapan.

البَيَانُ: banyak bicara.

Tirmizi berkata, "Yaitu seperti para penceramah yang berpidato lalu berbicara luas dan memasihkan diri dengan memuji manusia pada sesuatu yang tidak mendatangkan rida Allah."

 ·     Siapakah Orang yang Dimurkai Rasulullah -Ṣallallāhu 'Alaihi wa Sallam-?

134- Abu Ṡa'labah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat tempatnya denganku pada hari Kiamat adalah yang paling baik budi pekertinya di antara kalian. Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempatnya dariku pada hari Kiamat adalah yang banyak bicara dan bergaya dalam bicara serta bermulut besar (sombong)."([278])

(HR. Al-Baihaqiy dalam Syu'ab Al-Īmān).

134- HR. Ahmad (4/193 & 194); Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Muṣannaf (8/515 no. 5372); Ibnu Ḥibbān (2/231 no. 482, 12/368 no. 5557); At-Ṭabarāniy (22/221 no. 588); Abu Nu'aim dalam Al-Ḥilyah (3/97, 5/188); Al-Baihaqiy dalam Syu'ab Al-Īmān (4/250 no. 4969); dan Al-Bagawiy dalam Syarḥ As-Sunnah (12/366 no. 3395); seluruhnya dari jalur Daud bin Abi Hind, dari Makḥūl, dari Abu Ṡa'labah Al-Khusyaniy.

Sanadnya munqaṭi' (terputus) karena Mak-ḥūl tidak pernah mendengar dari Abu Ṡa'labah.

Hadis ini dikuatkan oleh hadis berikut ini, juga hadis Ibnu Mas'ūd yang diriwayatkan oleh Aṭ-Ṭabarāniy dalam Al-Kabīr (no. 10423) dan hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/369) secara ringkas, serta Aṭ-Ṭabrāniy dalam Aṣ-Ṣagīr (2/25); sehingga hadis ini sahih dengan adanya beberapa syāhid (penguat) ini.

135- Hadis yang semisal juga diriwayatkan oleh Tirmizi dari Jābir -raḍiyallāhu 'anhu-.

135- HR. Tirmizi, Kitāb Al-Birr wa Aṣ-Ṣilah (4/325 no. 2018) dan Al-Khaṭīb dalam kitab Tārīkh-nya (4/63) dari jalur Ḥibbān bin Hilāl; dia berkata, Mubārak bin Faḍālah menceritakan kepada kami; dari Abu 'Abdi Rabbih Ibnu Sa'īd; dari Muhammad bin Al-Munkadir; dari Jābir, dan seterusnya.

Tirmizi berkata, "Hasan sahih."

Al-Bagawiy berkata dalam Syarḥ As-Sunnah,

"Aṡ-Ṡarṡār: banyak bicara. Dikatakan, ''Ain ṡarṡārah' bermakna mata air itu meluap. Maksudnya orang yang banyak bicara dengan memaksakan diri dan membuat-buatnya.

Al-Mutafaihiq: yang berbicara lebar dan dengan melebarkan mulut, yaitu membukanya. Ia berasal dari kata al-fahq, artinya: penuh."

Al-Mutasyaddiqūn: orang-orang yang banyak bicara tanpa hati-hati. Ada yang mengatakan, maksudnya yang mengolok-olok orang lain dengan memiringkan sisi mulutnya kepada mereka.

 ·     Di Antara Tanda Kiamat: Munculnya Orang-orang yang Mencari Makan dengan Lisan Mereka

136- Sa'ad bin Abi Waqqāṣ -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Tidak akan terjadi hari Kiamat sampai muncul suatu kaum yang (mencari) makan dengan lidahnya sebagaimana sapi yang makan dengan lidahnya."

(HR. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi).

136- HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/184) -dan dari jalur beliau, Al-Bagawiy meriwayatkannya dalam Syarḥ As-Sunnah (12/367 no. 3397)-; beliau berkata, Syuraiḥ bin An-Nu'mān menceritakan kepada kami; ia berkata, Abdul Aziz Ad-Darāwardiy menceritakan kepada kami; dari Zaid bin Aslam; dari Sa'ad bin Abi Waqqāṣ.

Juga diriwayatkan oleh Al-Bazzār, sebagaimana dalam Kasyful-Astār (2/448 no. 2080) dari jalur Aisyah bin Sa'ad, dari ayahnya.

Juga diriwayatkan oleh Al-Bazzār (2/448 no. 2081) dari jalur Abu Ḥayyān At-Taimiy; dia berkata, telah bercerita kepadaku seseorang yang aku lupa namanya, dari Umar bin Sa'ad, dari ayahnya.

Al-Haiṡamiy berkata dalam Majma' Az-Zawā`id (8/116), "Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bazzār dari beberapa jalur, namun di dalamnya terdapat seorang rawi yang tidak disebutkan namanya. Jalur yang paling bagus adalah yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Zaid bin Aslam, dari Sa'ad ...

Para perawinya adalah perawi-perawi Aṣ-Ṣaḥīḥ, hanya saja Zaid bin Aslam tidak pernah mendengar dari Sa'ad. Wallāhu a'lam."

Syekh kami menyebutkan hadis ini dalam As-Silsilah Aṣ-Ṣaḥīḥah (no. 420) dan berkata, "Kesimpulannya, hadis ini dengan semua jalur-jalur ini menjadi hasan, insya Allah, atau sahih; karena hadis ini juga memiliki syāhid (penguat) dari hadis Abdullah bin 'Amr." Namun aku tidak menemukan hadis ini dalam Sunan Abi Daud dan Tirmizi. Barangkali beliau menginginkan hadis berikut ini.

137- Abdullah bin 'Amr -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan secara marfū':

"Sungguh Allah membenci orang-orang fasih yang memutar-mutar lidahnya (karena pamer) sebagaimana sapi yang memutar-mutar lidahnya."([279]) (HR. Tirmizi dan Abu Daud).

137- HR. Tirmizi, Kitāb Al-Adab (5/129 no. 2853); Abu Daud, Kitāb Al-Adab (4/301 no. 5005); dan Ahmad (2/165 & 187) dari jalur Nāfi' bin Umar, dari Bisyr bin 'Āṣim, dari ayahnya, dari Abdullah bin 'Amr.

Tirmizi berkata, "Hasan garīb, dan di dalam pembahasan ini terdapat hadis dari Sa'ad."

Hadis ini dibawakan oleh Syekh kami dalam As-Silsilah Aṣ-Ṣaḥīḥah (no. 880).

138- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Siapa yang belajar kefasihan untuk menyandera hati orang -atau manusia- maka Allah tidak akan menerima amalan wajib dan sunah darinya."([280]) (HR. Abu Daud).

138- HR. Abu Daud, Kitāb Ad-Da'awāt (4/302 no. 5006); ia berkata, Ibnu As-Sarḥ menceritakan kepada kami; ia berkata, Ibnu Wahb menceritakan kepada kami; dari Abdullah bin Al-Musayyib; dari Aḍ-Ḍaḥḥāk bin Syuraḥbīl; dari Abu Hurairah.

Di dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Al-Musayyib, Al-Ḥāfiẓ berkata tentangnya, "Maqbūl." Maksudnya, diterima sebagai penguat. Jika tidak demikian, maka hadisnya layyin.

 ·     Sifat Bicara Rasulullah -Sallallāhu 'Alaihi wa Sallam-

139- Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- berkata, "Ucapan Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- jelas; dapat dipahami oleh setiap orang yang mendengarnya." Aisyah juga berkata, "Beliau berbicara kepada kami dengan ucapan yang seandainya ada yang menghitungnya dia pasti bisa menghitungnya." Aisyah juga berkata, "Sesungguhnya beliau tidak mempercepat ucapan seperti kalian."([281])

(HR. Abu Daud pada sebagiannya).

139- Hadis ini terdiri dari tiga penggal kalimat:

Kalimat pertama: "Ucapan Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- jelas ..." Ini adalah HR. Abu Daud dalam Kitāb Al-Adab (4/261 no. 4839) dan Ahmad (6/138) dari jalur Az-Zuhriy, dari 'Urwah, dari Aisyah, dia berkata, "Ucapan Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- jelas; dapat dipahami oleh setiap orang yang mendengarnya."([282])

Kalimat kedua: HR. Muslim, Kitāb Az-Zuhd (4/2298 no. 2493).

Kalimat ketika: HR. Bukhari, Kitāb Al-Manāqib (6/567 no. 3568) dan Muslim, Kitāb Al-Faḍā`il (4/1940 no. 2493).

140- Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Bila kalian melihat seseorang diberikan sikap zuhud terhadap dunia dan sedikit bicara maka mendekatlah kepadanya karena sungguh dia akan melontarkan kata-kata hikmah."([283])

(HR. Al-Baihaqiy dalam Syu'ab Al-Īmān).

140- HR. Al-Baihaqiy dalam Syu'ab Al-Īmān (4/254 no. 4985) dari jalur Uṡmān bin Ṣāliḥ; dia berkata, Abdullah bin Lahī'ah menceritakan padaku; ia berkata, Darrāj menceritakan padaku; dari Abdurrahman bin Ḥujairah; dari Abu Hurairah.

Di dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Lahī'ah yang merupakan perawi daif dan Darrāj, perawi yang didaifkan.

Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Al-Ḥilyah (7/317) dari jalur Ahmad bin Ḥarmalah; dari kakeknya, Ḥarmalah; dari Ibnu Wahb; ia berkata, Sufyān bin 'Uyainah menceritakan kepada kami; ia berkata, seorang laki-laki yang pendek dari penduduk Mesir yang disebut 'Amr bin Al-Ḥāris menceritakan padaku; dari Ibnu Ḥujairah; dari Abu Hurairah.

Namun di dalam sanadnya terdapat Ahmad bin Ṭāhir yang merupakan seorang pendusta!

Hadis ini memiliki syāhid (penguat) dari hadis Abu Al-Khallād -salah seorang sahabat- yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Kitāb Az-Zuhd (2/1373 no. 4101); Bukhari dalam At-Tārīkh Al-Kabīr (9/27-28); Abu Nu'aim dalam Al-Ḥilyah (10/405); dan Aṭ-Ṭabarāniy dalam Al-Kabīr (22/392 no. 975).

Sanadnya daif, yaitu munqaṭi' karena Abu Farwah seorang yang daif dan tidak pernah mendengar hadis dari sahabat.

Hadis ini memiliki syāhid lain dari hadis Abdullah bin Ja'far yang diriwayatkan oleh Abu Ya'lā dalam Musnad-nya (12/175 no. 6803), namun di dalam sanadnya terdapat Umar bin Hārūn, seorang matrūk.

Hadis ini dibawakan oleh Syekh kami dalam As-Silsilah Aṣ-Ṣaḥīḥah (no. 1923).

141- Buraidah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, Aku mendengar Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda,

"Sesungguhnya sebagian kefasihan itu adalah sihir, sebagian ilmu ialah kejahilan, sebagian syair adalah kata-kata hikmah, dan sebagian perkataan bukan pada tempatnya."([284])

141- HR. Abu Daud, Kitāb Al-Adab (4/303 no. 5012); ia berkata, Muhammad bin Yaḥyā bin Fāris menceritakan pada kami; ia berkata, Sa'īd bin Muhammad menceritakan pada kami; ia berkata, Abu Tamīlah menceritakan pada kami; ia berkata, Abu Ja'far An-Naḥwiy Abdullah bin Ṡābit menceritakan padaku; ia berkata, Ṣakhr bin Abdullah bin Buraidah menceritakan padaku; dari ayahnya; dari kakeknya.

Abu Daud berkata di penghujung hadis ini, "Ṣa'ṣa'ah bin Ṣūḥān lalu berkata, 'Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sungguh benar.' Adapun sabda beliau, 'Sesungguhnya sebagian kefasihan itu adalah sihir'([285]) yaitu seseorang yang berada pada pihak yang salah ketika lebih lihai berargumen dari pihak yang benar lalu dia menyihir orang-orang dengan kefasihannya sehingga kebenaran menjadi hilang. Adapun sabda beliau, 'Sebagian ilmu itu ialah kejahilan'([286]) yaitu seorang yang berilmu memaksakan diri untuk mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya sehingga hal itu tidak diketahuinya. Kemudian sabda beliau, 'Sebagian syair adalah kata hikmah'([287]); maksudnya ialah nasihat-nasihat dan perumpamaan-perumpamaan yang mengingatkan manusia."

Adapun sabda beliau, "Sebagian perkataan bukan pada tempatnya"([288]) yaitu engkau melontarkan perkataan dan pembicaraanmu kepada orang yang tidak mementingkannya serta tidak menginginkannya.

Sanadnya daif, di dalamnya terdapat Abdullah bin Ṡābit, seorang majhūl, sedangkan Ṣakhr berderajat maqbūl.

Penggalan pertama hadis ini memiliki syāhid dari hadis Abdullah bin Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari (10/237 no. 5767).

Adapun penggalan, "Sebagian syair adalah kata hikmah",([289]) maka ia sahih sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmizi (no. 3756), Ibnu Majah (no. 3756), Abu Daud (no. 5011), dan Ahmad (1/269 & 272) dari hadis Ibnu 'Abbās.

Lihat Ṣaḥīḥ Ibni Ḥibbān (13/94) (no. 778).

Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar berkata dalam Fatḥul-Bārī (10/237),

"Al-Khaṭṭābiy berkata, 'Kefasihan itu terbagi dua:

Salah satunya: kefasihan yang dengannya terwujud suatu penjelasan terhadap suatu maksud dengan cara apa pun.

Yang kedua: kefasihan yang dibuat-buat dengan tujuan memesona pendengar dan menarik hatinya. Ia mirip dengan sihir bila telah mencengkeram hati dan menguasai jiwa sampai mengalihkan sesuatu dari hakikatnya dan memalingkannya dari jalurnya sehingga tampak dalam rupa yang lain. Hal ini bila membawa kepada kebenaran maka ia terpuji, namun jika membawa kepada kebatilan maka ia tercela.

Oleh karena itu, kefasihan yang menyerupai sihir itulah yang tercela.' Namun ucapan ini tertolak karena tidak ada halangan untuk menamakan yang lainnya (yang terpuji) sebagai sihir juga. Karena kata sihir digunakan pada upaya menarik dan menjadikan condong. Sebagian ulama memahami hadis ini sebagai pujian dan anjuran untuk membaguskan ucapan dan memasihkannya. Sementara sebagian yang lain memahaminya sebagai celaan bagi orang yang membuat-buat ucapan dan memaksakan diri untuk membaguskannya serta memalingkan sesuatu dari makna lahirnya."

Adapun sabda beliau, "Sebagian perkataan bukan pada tempatnya", Ibnu Al-Aṡīr berkata dalam An-Nihāyah (3/331), "Yaitu engkau memaparkan ucapanmu kepada orang yang tidak mengiginkannya dan yang bukan kepentingannya. Dikatakan, ''Iltu aḍ-ḍāllah - a'īlu - īlan', bermakna: engkau tidak tahu ke mana mencarinya. Seakan-akan dia tidak mengetahui siapa yang membutuhkan perkataannya lalu melontarkannya kepada orang yang tidak menginginkannya."

142- 'Amr bin Al-'Āṣ -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa suatu hari dia berbicara lalu seseorang berdiri dan berbicara panjang, maka 'Amr berkata, "Seandainya dia berbicara sederhana niscaya hal itu lebih baik baginya. Aku pernah mendengar Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, 'Aku melihat -atau diperintahkan- agar sederhana dalam ucapan, karena sederhana itu yang terbaik.'"([290])

(Keduanya HR. Abu Daud).

Tamat dengan mengucapkan segala puji bagi Allah, Rabbul-'Ālamīn dengan pujian yang setinggi-tingginya.

142- HR. Abu Daud, Kitāb Al-Adab (4/302 no. 5008); ia berkata, Sulaiman Ibnu Abdul Hamid Al-Bahrāniy menceritakan pada kami; bahwa dia membaca pada tulisan Ismail bin 'Ayyāsy -juga diceritakan kepadanya Muhammad bin Ismail, putranya, dia berkata, ayahku menceritakan padaku-; dia berkata, Ḍamḍam menceritakan padaku; dari Syuraiḥ bin Ubaid; dia berkata, Abu Ẓabiyyah menceritakan pada kami; bahwa 'Amr bin Al-'Āṣ, suatu hari berbicara ...

Al-Ḥāfiẓ menyatakan bahwa Abu Ẓabiyah adalah maqbūl, yaitu bila memiliki penguat (tābi').



([1]) HR. Al-Ḥākim (3/388-389) dan Aṭ-Ṭabarāniy dalam Al-Ausaṭ (3846), serta disahihkan oleh Al-Ḥākim dan disepakati oleh Aż-Żahabiy. Hadis ini juga memiliki jalur-jalur lain sebagaimana disebutkan oleh Al-'Allāmah Al-Albāniy dalam komentar beliau terhadap kitab Fiqh As-Sīrah (hal. 108).

([2]) HR. Bukhari (3456) dan Muslim (2669) dari Abu Sa'īd Al-Khudriy.

([3]) HR. Bukhari, Kitāb Al-I'tiṣām bil-Kitāb was-Sunnah (6889); Muslim, Kitāb Al-'Ilmu (2669); dan Ahmad (3/84).

([4]) HR. Muslim, Kitāb Al-Īmān (145); Ibnu Majah, Kitāb Al-Fitan (3986); dan Ahmad (2/389).

([5]) HR. Muslim (145) dari Abu Hurairah.

([6]) QS. Asy-Syūrā: 11.

([7]) QS. Aṣ-Ṣāffāt: 180-182.

([8]) QS. Al-Mu`minūn: 102-103.

([9]) QS. Al-Anbiyā`: 28.

([10]) QS. Al-Baqarah: 255.

([11]) QS. An-Najm: 26.

([12]) QS. Al-Muddaṡṡir: 48.

([13]) Mukadimah ini saya petik dengan ringkas dari kitab "Asy-Syaikh Muḥammad ibn 'Abdul-Wahhāb: 'Aqīdatuhu As-Salafiyyah wa Da'watuhu Al-Iṣlāḥiyyah wa Ṡanā`ul-'Ulamā` 'Alaihi" karya Syekh Ahmad bin Ḥajar Ālu Abū Ṭāmī, dan kitab "Da'āwā Al-Munāwi`īn li Da'wati Asy-Syaikh Muḥammad bin 'Abdul-Wahhāb: 'Arḍ wa Naqd" karya Syekh Abdul Aziz Ālu 'Abdullaṭīf.

([14]) HR. Muslim, Kitāb Az-Zuhd wa Ar-Raqā`iq (2985); Ibnu Majah, Kitāb Az-Zuhd (4202); dan Ahmad (2/301).

([15]) QS. Aż-Żāriyāt: 56.

([16]) QS. An-Nisā`:116.

([17]) QS. Yūnus:31

([18]) QS. Az-Zumar: 3.

([19]) QS. Yūnus:18.

([20]) QS. Al-Baqarah: 254.

([21]) QS. Al-Baqarah: 255.

([22]) QS. Al-Anfāl: 39.

([23]) QS. Fuṣṣilat: 37.

([24]) QS. Āli Imrān: 80.

([25]) QS. Al-Mā`idah: 116.

([26]) QS. Al-Isrā`: 57.

([27]) QS. An-Najm: 19-20.

([28]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-Fitan (2180) dan Ahmad ( 5/218).

([29]) HR. Tirmizi (2180), Ahmad (5/218), Aṭ-Ṭayālisiy (1346), Al-Ḥumaidiy (848), Ibnu Abī 'Āṣim (76), dan Ibnu Ḥibbān (1835); sanadnya sahih.

([30]) QS. Al-'Ankabūt: 65.

([31]) HR. Muslim, Kitāb Al-Īmān (179) dan Ahmad (4/405).

([32]) HR. Muslim, Kitāb Al-Īmān (179) dan Ahmad (4/405).

([33]) QS. Al-Anbiyā`:47.

([34]) QS. Ar-Ra'd:26.

([35]) QS. Al-A'rāf: 143.

([36]) Kata "يمين" (tangan kanan) disebutkan dalam riwayat Muslim, Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Adapun redaksi riwayat Bukhari menyebut, "يد الله" (tangan Allah).

([37]) Disebutkan dalam manuskrip (تغيضها - tagīḍuhā), yaitu dengan "tā`".

([38]) HR. Ahmad (5/162).

([39]) HR. Ahmad (5/173).

([40]) HR. Muslim, Kitāb Al-Birr wa Aṣ-Ṣilah wal-Ādāb (2582); Tirmizi, Kitāb Ṣifah Al-Qiyāmah war-Raqā`iq wal-Wara' (2420); dan Ahmad (2/235).

([41]) QS. An-Nisā`:58.

([42]) QS. An-Nisā`:58.

([43]) QS. Asy-Syūrā: 11.

([44]) QS. Asy-Syūrā: 11.

([45]) QS. Asy-Syūrā: 11.

([46]) QS. Asy-Syūrā: 11.

([47]) QS. An-Naḥl: 74.

([48]) QS. Al-Anbiyā`:18.

([49]) QS. Al-Furqān: 33.

([50]) HR. Bukhari, Kitāb At-Tauḥīd (6944) dan Ahmad (2/52).

([51]) HR. Bukhari, Kitāb Ad-Da'awāt (5950); Muslim, Kitāb At-Taubah (2747); dan Ahmad (3/213).

([52]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Adab (5653) dan Muslim, Kitāb At-Taubah (2754).

([53]) HR. Bukhari, Kitāb Bad`ul-Khalq (3022); Muslim, Kitāb At-Taubah (2751); Tirmizi, Kitāb Ad-Da'awāt (3543); Ibnu Majah, Kitāb Az-Zuhd (4295); dan Ahmad (2/358).

([54]) QS. Al-Mujādilah:21.

([55]) QS. Ṭāhā: 52.

([56]) HR. Bukhari, Kitāb Ar-Riqāq (6104); Muslim, Kitāb At-Taubah (2752); Tirmizi, Kitāb Ad-Da'awāt (3541); Ibnu Majah, Kitāb Az-Zuhd (4293); Ahmad (2/526); dan Ad-Dārimiy, Kitāb Ar-Riqāq (2785).

([57]) QS. Al-Aḥzāb: 43.

([58]) QS. Al-A'rāf: 156.

([59]) HR. Muslim, Kitāb At-Taubah (2753).

([60]) HR. Muslim, Kitāb At-Taubah (2753).

([61]) HR. Muslim, Kitāb Ṣifatul-Qiyāmah wal-Jannah wan-Nār (2808) dan Ahmad (3/125).

([62]) HR. Muslim, Kitāb Aż-Żikr wad-Du'ā` wat-Taubah wal-Istigfār (2734); Tirmizi, Kitāb Al-Aṭ'imah (1816); dan Ahmad (3/100).

([63]) QS. Asy-Syūrā: 11.

([64]) HR. Tirmizi, Kitāb Az-Zuhd (2312); Ibnu Majah, Kitāb Az-Zuhd (4190); dan Ahmad (5/173).

([65]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Jumu'ah (997); Muslim, Kitāb Al-Kusūf (901); An-Nasā`i, Kitāb Al-Kusūf (1474); Ahmad (6/164); dan Malik, Kitāb An-Nidā` li Aṣ-Ṣalāh (444).

([66]) HR. Bukhari, Kitāb At-Tafsīr (8/280 no. 4621) dan Kitāb Ar-Riqāq (11/319 no. 6486); dan Muslim, Kitāb Al-Faḍā`il (4/1832 no. 2359). Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar dalam Fatḥul-Bārī (11/319) berkata, "Pengetahuan yang dimaksudkan dalam hadis ini adalah yang terkait dengan keagungan Allah serta pembalasan-Nya terhadap orang-orang yang durhaka kepada-Nya, kedahsyatan yang terjadi ketika sekarat dan kematian, di dalam kubur, dan ketika hari Kiamat. Korelasi antara banyak menangis dan sedikit tertawa di tempat ini jelas. Maksudnya ialah untuk menakuti ... Al-Ḥasan Al-Baṣriy berkata, 'Siapa yang mengetahui bahwa kematian adalah tempat kembalinya, kiamat adalah tempat perjanjiannya, dan berdiri di hadapan Allah adalah tempat dia bersaksi, sepatutnya dia akan banyak bersedih di dunia.' Al-Kirmāniy berkata, 'Di dalam hadis ini terkandung ṣinā'atul-badī'; berupa penyandingan antara tertawa dengan menangis dan sedikit dengan banyak serta kesetaraan masing-masing dari keduanya.'"

([67]) HR. Muslim, Kitāb Al-Birr wa Aṣ-Ṣilah wal-Ādāb (2621).

([68]) HR. Muslim, Kitāb At-Taubah (2755); Tirmizi, Kitāb Ad-Da'awāt (3542); dan Ahmad (2/397).

([69]) HR. Bukhari, Kitāb Ar-Riqāq (6123) dan Ahmad (1/442).

([70]) HR. Bukhari, Kitāb Ar-Riqāq (6113); Muslim, Kitāb Az-Zuhd wa Ar-Raqā`iq (2988); Tirmizi, Kitāb Az-Zuhd (2314); Ahmad (2/334); dan Malik, Kitāb Al-Jāmi' (1849).

([71]) HR. Bukhari (11/308) dari Abu Hurairah.

([72]) HR. Bukhari, Kitāb Aḥādīṡ Al-Anbiyā` (3280); Muslim, Kitāb As-Salām (2245); dan Ahmad (2/510).

([73]) HR. Bukhari, Kitāb Aḥādīṡ Al-Anbiyā` (3295); Muslim, Kitāb Al-Birr wa Aṣ-Ṣilah wal-Ādāb (2242); dan Ad-Dārimiy, Kitāb Ar-Riqāq (2814).

([74]) Perkataan Az-Zuhriy ini disebutkan oleh Muslim.

([75]) Hal itu telah disebutkan secara sahih dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-; sebagaimana diriwayatkan Bukhari (1/176) dan Muslim (2876) dari Aisyah.

([76]) يُقَادُوْنَ - yuqādūna (mereka digiring): ini adalah redaksi Abu Daud. Sedangkan redaksi Bukhari: "يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ" (mereka masuk surga). Adapun Ahmad, maka redaksinya ialah, "يُجَاءُ بِهِمْ" (mereka didatangkan)."

([77]) HR. Abu Daud, Kitāb Al-Jihād (2677) dan Ahmad (2/302).

([78]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Adab (5748); Muslim, Kitāb Sifatul-Qiyāmah wal-Jannah wan-Nār (2804); dan Ahmad (4/405).

([79]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Adab (5693); Muslim, Kitāb Al-Birr wa Aṣ-Ṣilah wal-Ādāb (2637); Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (3161); Ahmad (2/413); dan Malik, Kitāb Al-Jāmi' (1778).

([80]) HR. Bukhari (1367) dan Muslim (949) dari Anas.

([81]) HR. Bukhari, Kitāb Mawāqīt Aṣ-Ṣalāh (529); Muslim, Kitāb Al-Masājid wa Mawāḍi' Aṣ-Ṣalāh (633); Tirmizi, Kitāb Ṣifatul-Jannah (2551); Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (4729); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (177); dan Ahmad (4/360).

([82]) QS. Ṭāhā: 130.

([83]) HR. Muslim, Kitāb Al-Īmān (181); Tirmizi, Kitāb Ṣifatul-Jannah (2552); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (187); dan Ahmad (4/332).

([84]) HR. Bukhari, Kitāb Ar-Riqāq (6137).

([85]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Jumu'ah (1094); Muslim, Kitāb Ṣalātul-Musāfirīn wa Qaṣruhā (758); Tirmizi, Kitāb Aṣ-Ṣalāh (446); Abu Daud, Kitāb Aṣ-Ṣalāh (1315); Ibnu Majah, Kitāb Iqāmatuṣ-Ṣalāh was-Sunnah fīhā (1366); Ahmad (2/419); Malik, Kitāb An-Nidā` li Aṣ-Ṣalāh (496); dan Ad-Dārimiy, Kitāb Aṣ-Ṣalāh (1479).

([86]) HR. Bukhari, Kitāb At-Tafsīr Al-Qur`ān (4598); Muslim, Kitāb Al-Īmān (180); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (186); Ahmad (4/416); dan Ad-Dārimiy, Kitāb Ar-Riqāq (2822).

([87]) QS. Ar-Raḥmān: 62.

([88]) HR. Ahmad (2/304, 305 & 445); Tirmizi (2526); Ibnu Ḥibbān (2387); Aṭ-Ṭayālisiy (2583), dan Ad-Dārimiy (2/333) dengan sanad daif. Tetapi hadis ini memiliki syawāhid yang menguatkannya. Silakan lihat Ṡifatul-Jannah (100) & (136) karya Imam Abu Nu'aim Al-Aṣbahāniy.

([89]) Pada no. 261). Juga diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Al-Ḥilyah (6/204); Al-Bazzār dalam Musnadnya (4/189 - pada zawā`id-nya); Abu Asy-Syaikh sebagaimana dalam Ḥādī Al-Arwāḥ (hal. 95); dan Ibnu Abi Ad-Dunyā sebagaimana dalam Al-Bidāyah wa An-Nihāyah (2/384). Sanadnya jayyid karena merupakan riwayat Wuhaib bin Khālid dari Al-Jarīriy, sebelum Al-Jarīriy mengalami ikhtilāṭ (kekalutan hafalan hadis); sebagaimana dalam Al-Kawākib An-Nayyirāt (hal. 174).

([90]) HR. Tirmizi, Kitāb Ṣifatul-Jannah (2525).

([91]) HR. Muslim, Kitāb As-Salām (2229); Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (3224); dan Ahmad (1/218).

([92]) Dalam redaksi Muslim, Tirmizi, dan An-Nasā`i disebutkan: "يَقْرِفُوْنَ", maksudnya: mereka mencampurnya dengan kebohongan.

([93]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Adab (5859); Muslim, Kitāb As-Salām (2228); dan Ahmad (6/87).

([94]) HR. Bukhari, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (4424); Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (3223); dan Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (194).

([95]) HR. Bukhari, Kitāb Ar-Riqāq (6154); Muslim, Kitāb Ṣifatul-Qiyāmah wal-Jannah wa An-Nār (2787); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (192); Ahmad (2/374); dan Ad-Dārimiy, Kitāb Ar-Riqāq (2799).

([96]) HR. Bukhari, Kitāb At-Tauḥīd (6977); Muslim, Kitāb Ṣifatul-Qiyāmah wal-Jannah wa An-Nār (2787); Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (4732); dan Ad-Dārimiy, Kitāb Ar-Riqāq (2799).

([97]) QS. Az-Zumar: 67.

([98]) HR. Bukhari, Kitāb At-Tauḥīd (6977); Muslim, Kitāb Ṣifatul-Qiyāmah wal-Jannah wa An-Nār (2788); dan Ibnu Majah, Kitāb Az-Zuhd (4275).

([99]) HR. Bukhari, Kitāb At-Tauḥīd (6982) dan Ahmad (4/432).

([100]) QS. Hūd: 7.

([101]) HR. Muslim, Kitāb Al-Qadar (2653); Tirmizi, Kitāb Al-Qadar (2156); dan Ahmad (2/169).

([102]) HR. Muslim (2653).

([103]) QS. Hūd: 7.

([104]) HR. Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (3109); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (182); dan Ahmad (4/11).

([105]) HR. Ahmad (4/11-12), Ibnu Majah (182), dan Tirmizi (3109). Tetapi sanadnya daif karena Wakī' bin 'Adas majhūl.

([106]) HR. Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (3319) dan Ahmad (5/317).

([107]) HR. Tirmizi (2155 & 3319), Ahmad (5/317), Aṭ-Ṭayālisiy (577), Ibnu Abi 'Āṣim (107), dan Al-Ājurriy (hal. 177) dari dua jalur yang saling menguatkan satu sama lain.

([108]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Adab (5742); Muslim, Kitāb Ṣalātul-Istisqā` (897); An-Nasā`i, Kitāb Al-Istisqā` (1518); Abu Daud, Kitāb Aṣ-Ṣalāh (1174); Ibnu Majah, Kitāb Iqāmatuṣ-Ṣalāh wa As-Sunnah fīhā (1180); Ahmad (3/261); dan Malik, Kitāb Al-Jāmi' (1768).

([109]) HR. Bukhari, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (4690); An-Nasā`i, Kitāb Al-Janā`iz (2078); dan Ahmad (2/351).

([110]) HR. Bukhari, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (4212).

([111]) QS. Al-An'ām: 101.

([112]) HR. Bukhari, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (4549); Muslim, Kitāb Al-Alfāẓ minal-Adab wa Gairihā (2246); Abu Daud, Kitāb Al-Adab (5274); Ahmad (2/238); dan Malik, Kitāb Al-Jāmi' (1846).

([113]) QS. Al-Anbiyā`:101.

([114]) QS. Al-Ahzāb:38.

([115]) QS. Aṣ-Ṣāffāt: 96.

([116]) QS. Al-Qamar: 49.

([117]) HR. Muslim, Kitāb Al-Qadar (2653); Tirmizi, Kitāb Al-Qadar (2156); dan Ahmad (2/169).

([118]) Takhrīj (kajian sanad) hadis ini ada dalam As-Silsilah Aṣ-Ṣaḥīḥah (no. 34).

([119]) QS. Al-Anfāl:75.

([120]) QS. Aṭ-Ṭalāq:12.

([121]) QS. Qāf: 4.

([122]) QS. Yāsīn:12.

([123]) QS. Al-Ḥajj: 70.

([124]) QS. Al-Ḥajj: 18.

([125]) QS. Yāsīn:82.

([126]) QS. At-Takwīr: 29.

([127]) QS. Az-Zumar: 62.

([128]) QS. Fāṭir: 3.

([129]) QS. Al-Lail: 5.

([130]) QS. Al-Lail: 8.

([131]) QS. Al-A'rāf: 172.

([132]) HR. Bukhari, Kitāb Bad`ul-Khalq (3036); Muslim, Kitāb Al-Qadar (2643); Tirmizi, Kitāb Al-Qadar (2137); Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (4708); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (76); dan Ahmad (1/414).

([133]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Marḍā (5349); Muslim, Kitāb Ṣifatul-Qiyāmah wal-Jannah wa An-Nār (2816); Ibnu Majah, Kitāb Az-Zuhd (4201); dan Ahmad (2/256).

([134]) HR. Bukhari dan Muslim.

([135]) HR. Muslim, Kitāb Al-Qadar (2644) dan Ahmad (4/7).

([136]) HR. Muslim, Kitāb Al-Qadar (2662); An-Nasā`i, Kitāb Al-Janā`iz (1947); Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (4713); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (82); dan Ahmad (6/208).

([137]) HR. Bukhari dan Muslim.

([138]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Janā`iz (1315); An-Nasā`i, Kitāb Al-Janā`iz (1873); Ibnu Majah, Kitāb Mā Jā`a fil-Janā`iz (1605); dan Ahmad (3/152).

([139]) HR. Ahmad dengan sanad hasan; sebagaimana disebutkan dalam Ṣaḥīḥ Al-Jāmi' (5772).

([140]) HR. Muslim, Kitāb Al-Qadar (2655); Ahmad (2/110); dan Malik, Kitāb Al-Jāmi' (16630).

([141]) QS. Al-Qadr: 4.

([142]) QS. Ar-Rahmān: 29.

([143]) Syifā`ul-'Alīl (1/61-74).

([144]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-Qadar (2155).

([145]) HR. Tirmizi, Kitāb Aṭ-Ṭibb (2065) dan Ibnu Majah, Kitāb Aṭ-Ṭibb (3437).

([146]) HR. Muslim, Kitāb Al-Qadar (2664); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (79); dan Ahmad (2/370).

([147]) QS. Al-Baqarah:177.

([148]) QS. Fuṣṣilat: 30.

([149]) QS. An-Nisā`: 172.

([150]) QS. Al-Anbiyā`:19-20.

([151]) QS. Fāṭir: 1.

([152]) QS. Gāfir: 7.

([153]) HR. Muslim, Kitāb Az-Zuhd wa Ar-Raqā`iq (2996) dan Ahmad (6/153).

([154]) HR. An-Nasā`i, Kitāb Aṣ-Ṣalāh (448) dan Ahmad (4/210).

([155]) HR. Tirmizi, Kitāb Az-Zuhd (2312); Ibnu Majah, Kitāb Az-Zuhd (4190); dan Ahmad (5/173).

([156]) QS. Aṣ-Ṣāffāt: 165-166.

([157]) HR. Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (4727).

([158]) QS. An-Najm: 5-6.

([159]) QS. At-Takwīr: 19-21.

([160]) QS. At-Takwīr: 21.

([161]) HR. Bukhari, Kitāb Bad`ul-Khalq (30360); Muslim, Kitāb Al-Īmān (174); dan Ahmad (1/395).

([162]) HR. Muslim, Kitāb Al-Īmān (174); Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (3283); dan Ahmad (1/449).

([163]) QS. An-Najm:116.

([164]) HR. Bukhari, Kitāb Bad`ul-Khalq (3061); Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (3283); dan Ahmad (1/449).

([165]) HR. Ahmad (6/120).

([166]) HR. Bukhari, Kitāb Bad`ul-Khalq (3062); Muslim, Kitāb Al-Īmān (177); dan Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (3068).

([167]) HR. Bukhari, Kitāb Bad`ul-Khalq (3046); Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (3158); dan Ahmad (1/357).

([168]) QS. Maryam: 64.

([169]) HR. Ahmad (3/224).

([170]) HR. Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (3243) dan Ahmad (3/7).

([171]) Ini tidak sahih. Lihat: Mu'jam Al-Manāhī Al-Lafẓiyyah (hal. 238) karya Syekh Bakr Abu Zaid.

([172]) Ini juga tidak sahih. Lihat: Silsilah Al-Aḥādīṡ Aḍ-Ḍa'īfah (923) karya Syekh Al-Albāniy.

([173]) QS. An-Nisā`: 172.

([174]) QS. Al-Anbiyā`: 20.

([175]) QS. Gāfir: 49.

([176]) QS. Az-Zukhruf: 77.

([177]) QS. At-Taḥrīm: 6.

([178]) QS. Al-Muddaṡṡir: 30-31.

([179]) QS. Al-Muddaṡṡir: 31.

([180]) QS. Ar-Ra'd: 11.

([181]) Lihat Ad-Durr Al-Manṡūr (4/613) karya As-Suyūṭiy.

([182]) QS. Qāf: 17-18.

([183]) QS. Al-Infiṭār: 10-12.

([184]) HR. An-Nasā`i, Kitāb Al-Gusl wa At-Tayammum (406); Abu Daud, Kitāb Al-Ḥammām (4012); dan Ahmad (4/224).

([185]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-Adab (2794); Abu Daud, Kitāb Al-Ḥammām (4017); dan Ibnu Majah, Kitāb An-Nikāḥ (1920).

([186]) HR. Bukhari, Kitāb Bad`ul-Khalq (3051); Muslim, Kitāb Al-Masājid wa Mawāḍi' Aṣ-Ṣalāh (632); An-Nasā`i, Kitāb Aṣ-Ṣalāh (485); Ahmad (2/486); dan Malik, Kitāb An-Nidā` li Aṣ-Ṣalāh (413).

([187]) HR. Bukhari, Kitāb Mawāqīt Aṣ-Ṣalah (530); Muslim, Kitāb Al-Masājid wa Mawāḍi' Aṣ-Ṣalāh (632); An-Nasā`i, Kitāb Aṣ-Ṣalāh (485); Ahmad (2/396); dan Malik, Kitāb An-Nidā` li Aṣ-Ṣalāh (413).

([188]) QS. Al-Isrā`:78.

([189]) QS. Al-Isrā`: 78.

([190]) HR. Muslim, Kitāb Aż-Żikr wa Ad-Du'ā` wa At-Taubah wal-Istigfār (2699); Tirmizi, Kitāb Al-Qirā`āt (2945); Abu Daud, Kitāb Aṣ-Ṣalāh (1455); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (225); Ahmad (2/252); dan Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (344).

([191]) HR. Tirmizi, Kitāb Ad-Da'awāt (3535); An-Nasā`i, Kitāb Aṭ-Ṭahārah (158); dan Ahmad (4/239).

([192]) QS. Al-A'rāf: 3.

([193]) HR. Muslim, Kitāb Faḍā`il Aṣ-Ṣaḥābah (2408); Ahmad (4/367); dan Ad-Dārimiy, Kitāb Faḍā`il Al-Qur`ān (3316).

([194]) HR. Abu Daud, Kitāb Al-Manāsik (1905); Ibnu Majah, Kitāb Al-Manāsik (3074); dan Ad-Dārimiy, Kitāb Al-Manāsik (1850).

([195]) QS. Al-Jinn: 1-2.

([196]) QS. Maryam: 64.

([197]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-Amṡāl (2859) dan Ahmad (4/183).

([198]) QS. Āli 'Imrān:70.

([199]) QS. Āli 'Imrān:7.

([200]) QS. Al-An'ām: 153.

([201]) QS. Al-'Ankabūt: 51.

([202]) QS. An-Nisā`: 59.

([203]) QS. An-Nūr: 56.

([204]) QS. Al-Ḥasyr: 7.

([205]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Īmān (25) dan Muslim, Kitāb Al-Īmān (22).

([206]) QS. Al-Ḥasyr: 7.

([207]) QS. Al-Ḥasyr: 7.

([208]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Libās (5595); Muslim, Kitāb Al-Libās wa Az-Zīnah (2125); Tirmizi, Kitāb Al-Adab (2782); An-Nasā`i, Kitāb Az-Zīnah (5099); Abu Daud, Kitāb At-Tarajjul (4169); Ibnu Majah, Kitāb An-Nikāḥ (1989); Ahmad (1/434); dan Ad-Dārimiy, Kitāb Al-Isti`żān (2647).

([209]) QS. Al-Ḥasyr: 7.

([210]) Ma'rifatus-Sunan wal-Āṡār (10755) karya Al-Baihaqiy.

([211]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Īmān (16); Muslim, Kitāb Al-Īmān (43); Tirmizi, Kitāb Al-Īmān (2624); An-Nasā`i, Kitāb Al-Īmān wa Syarā`i'uhu (4988); Ibnu Majah, Kitāb Al-Fitan (4033); dan Ahmad (3/103).

([212]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Īmān (15); Muslim, Kitāb Al-Īmān (44); An-Nasā`i, Kitāb Al-Īmān wa Syarā`i'uhu (5013); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (67); Ahmad (3/278); dan Ad-Dārimiy, Kitāb Ar-Riqāq (2741).

([213]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2663); Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (4605); dan Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (13).

([214]) HR. Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (4604).

([215]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2664); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (12); dan Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (586).

([216]) QS. Al-Aḥzāb: 21.

([217]) QS. Al-An'ām: 159.

([218]) QS. Asy-Syūrā: 13.

([219]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2676); Ibnu Mājah, Al-Muqaddimah (44); Ahmad (4/126); dan Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (95).

([220]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2676); Abu Dud, Kitāb As-Sunnah (4607); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (44); Ahmad (4/126); dan Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (95).

([221]) HR. Bukhari, Kitāb Al-I'tiṣām bil-Kitāb wa As-Sunnah (6849) dan Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (207).

([222]) HR. Bukhari, Kitāb Aṣ-Ṣulḥ (2550); Muslim, Kitāb Al-Aqḍiyah (1718); Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (4606); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (14); dan Ahmad (6/270).

([223]) HR. Bukhari dan Muslim.

([224]) Kesahihan ucapan ini dari Asy-Syāfi'iy masih dipertanyakan.

([225]) HR. Bukhari, Kitāb Al-I'tiṣām bil-Kitāb was-Sunnah (6851); Muslim, Kitāb Al-Imārah (1835); An-Nasā`i, Kitāb Al-Isti'āżah (5510); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (3); dan Ahmad (2/361).

([226]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Jihād wa As-Siyar (2797); Muslim, Kitāb Al-Imārah (1835); An-Nasā`i, Kitāb Al-Isti'āżah (5510); Ibnu Majah, Kitāb Al-Jihād (2859); dan Ahmad (2/387).

([227]) HR. Muslim.

([228]) QS. An-Nisā`: 80.

([229]) HR. Bukhari, Kitāb An-Nikāḥ (4776).

([230]) HR. Muslim, Kitāb Al-Īmān (145); Ibnu Mājah, Kitāb Al-Fitan (3986); dan Ahmad (2/389).

([231]) HR. Ibnu Majah, Kitāb Al-Fitan (3993) dan Ahmad (3/120).

([232]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-Īmān (2641).

([233]) QS. At-Taubah: 69.

([234]) HR. Muslim, Kitāb Al-'Ilm (2674); Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2674); Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (4609); Ahmad (2/397); dan Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (513).

([235]) HR. Muslim, Kitāb Al-Imārah (1893); Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2671); Abu Daud, Kitāb Al-Adab (5129); dan Ahmad (4/120).

([236]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2677) dan Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (210).

([237]) Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (185).

([238]) Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (214).

([239]) HR. Muslim, Kitāb Al-'Ilm (2666); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (85); dan Ahmad (2/185).

([240]) HR. Bukhari, Kitāb Al-'Ilm (86); Muslim, Kitāb Al-Kusūf (905); dan Malik, Kitāb An-Nidā` li Aṣ-Ṣalāh (447).

([241]) QS. Muḥammad: 19.

([242]) QS. Fuṣṣilat: 53.

([243]) Ini adalah hadis hasan. As-Suyutiy memiliki buku ringkas yang mengumpulkan jalur-jalur hadis ini beserta kajian kesahihannya, yang dicetak dengan suntingan Syekh Ali bin Hasan Al-Ḥalabiy.

([244]) QS. An-Naḥl: 43.

([245]) HR. Bukhari, Kitāb Al-'Ilm (71); Muslim, Kitāb Al-Imārah (1037); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (221); Ahmad (4/93); Malik, Kitāb Al-Jāmi' (1667); dan Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (226).

([246]) HR. Bukhari, Kitāb Al-'Ilm (79); Muslim, Kitāb Al-Faḍā`il (2282); dan Ahmad (4/399).

([247]) HR. Bukhari, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (4273); Muslim, Kitāb Al-'Ilm (2665); Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (2994); Abu Daud, Kitāb As-Sunnah (4598); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (47); Ahmad (6/48); dan Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (145).

([248]) HR. Muslim, Kitāb Al-Īmān (50) dan Ahmad (1/458).

([249]) HR. Ahmad (3/387) dan Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (435).

([250]) HR. Bukhari, Kitāb Al-I'tiṣām bil-Kitāb was-Sunnah (6858); Muslim, Kitāb Al-Faḍā`il (1337); Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2679); An-Nasā`i, Kitāb Manāsik Al-Ḥajj (2619); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (2); dan Ahmad (2/258).

([251]) QS. An-Naḥl: 43.

([252]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2658) dan Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (232).

([253]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2676); Abu Daud, Kitāb Al-'Ilm (3660); Ibnu Mājah, Al-Muqaddimah (2304); Ahmad (5/183); dan Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (229).

([254]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2658).

([255]) HR. Abu Daud, Kitāb Al-Farā`iḍ (2885) dan Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (54).

([256]) HR. Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (2951) dan Ahmad (1/233).

([257]) HR. Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (2950) dan Ahmad (1/233).

([258]) HR. Abu Daud, Kitāb Al-'Ilm (3657); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (53); Ahmad (2/321); dan Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (159).

([259]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2682); Abu Daud, Kitāb Al-'Ilm (3641); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (223); dan Ahmad (5/196).

([260]) HR. Tirmizi, Kitāb Ad-Da'awāt (3535); An-Nasā`i, Kitāb Aṭ-Ṭahārah (158); dan Ahmad (4/239).

([261]) QS. Al-Isrā`: 24.

([262]) QS. Al-Ḥasyr: 215.

([263]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2682); Abu Daud, Kitāb Al-'Ilm (3641); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (223); dan Ahmad (5/196).

([264]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2687) dan Ibnu Majah, Kitāb Az-Zuhd (4169).

([265]) HR. Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (297).

([266]) HR. Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (354).

([267]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2653) dan Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (288).

([268]) HR. Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (288).

([269]) HR. Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (143).

([270]) HR. Bukhari, Kitāb Al-'Ilm (2673); Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2652); Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (52); Ahmad (2/162); dan Ad-Dārimiy, Al-Muqaddimah (239).

([271]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-'Ilm (2654).

([272]) HR. Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (3253) dan Ibnu Majah, Al-Muqaddimah (48).

([273]) QS. Az-Zukhruf: 58.

([274]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Maẓālim wal-Gaṣb (2325); Muslim, Kitāb Al-'Ilm (2668); Tirmizi, Kitāb Tafsīr Al-Qur`ān (2976); An-Nasā`i, Kitāb Ādāb Al-Quḍāt (5423); dan Ahmad (6/205).

([275]) QS. Maryam: 97.

([276]) QS. Az-Zukhruf: 58.

([277]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-Birr wa Aṣ-Ṣilah (2027) dan Ahmad (5/269).

([278]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-Birr wa Aṣ-Ṣilah (2018).

([279]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-Adab (2853) dan Abu Daud, Kitāb Al-Adab (5005).

([280]) HR. Abu Daud, Kitāb Al-Adab (5006).

([281]) HR. Bukhari, Kitāb Al-Manāqib (3375); Muslim, Kitāb Az-Zuhd wa Ar-Raqā`iq (2493); Tirmizi, Kitāb Al-Manāqib (3639); Abu Daud, Kitāb Al-'Ilm (3654); dan Ahmad (6/157).

([282]) HR. Timizi, Kitāb Al-Manāqib (3639) dan Abu Daud, Kitāb Al-Adab (4839).

([283]) HR. Ibnu Majah, Kitāb Az-Zuhd (4101).

([284]) HR. Muslim, Kitāb Al-Jumu'ah (869); Ahmad (4/263); dan Ad-Dārimiy, Kitāb Aṣ-Ṣalāh (1556).

([285]) HR. Muslim, Kitāb Al-Jumu'ah (869); Ahmad (4/263); dan Ad-Dārimiy, Kitāb Aṣ-Ṣalāh (1556).

([286]) HR. Abu Daud, Kitāb Al-Adab (5012).

([287]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-Adab (2845) dan Ibnu Majah, Kitāb Al-Adab (3756).

([288]) HR. Abu Daud, Kitāb Al-Adab (5012).

([289]) HR. Tirmizi, Kitāb Al-Adab (2845) dan Ibnu Majah, Kitāb Al-Adab (3756).

([290]) HR. Abu Daud, Kitāb Al-Adab (5008).