Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Disunahkan berangkat ke tempat salat dalam keadaan telah bersuci dan dengan penuh ketenangan; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Bila salah seorang kalian berwudu dengan sempurna kemudian keluar dengan niat ke masjid, maka janganlah dia menyilangkan antara jari-jari tangannya, karena dia sedang dalam salat."
Ketika keluar rumah -walaupun bukan untuk salat- hendaknya membaca doa, "Bismillāh, āmantu billāh, i'taṣamtu billāh, tawakkaltu 'alallāh, wa lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh, allāhumma innī a'ūżu bika an aḍilla aw uḍalla, aw azilla aw uzalla, aw aḥlima aw uḥlama, aw ajhala aw yujhala 'alayya (Dengan menyebut nama Allah, aku beriman kepada Allah. Aku berlindung kepada Allah. Aku bertawakal kepada Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu agar tidak tersesat atau disesatkan, tidak tergelincir atau digelincirkan, tidak berbuat zalim atau dizalimi, dan tidak berbuat jahil atau dijahili)."
Hendaknya berjalan untuk menunaikan salat dengan tenang dan tidak terburu-buru; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Apabila kalian mendengar ikamah dikumandangkan, tetaplah berjalan biasa serta kalian harus tenang. Apa yang kalian dapatkan (dari salat berjamaah) maka lakukanlah, dan apa yang terluput maka sempurnakanlah."
Dia hendaknya memperpendek langkah kakinya seraya membaca doa, "Allāhumma innī as`aluka biḥaqqi as-sā`ilīna 'alaika, wa biḥaqqi mamsyāya hāżā, fa innī lam akhruj baṭaran wa lā riyā`an wa lā sum'atan. Kharajtu ittiqā`a sakhatika, wa-btigā`a marḍātika. As`aluka an tunqiżanī minan-nār, wa an tagfira lī żunūbī jamī'an, innahu la yagfiruż-żunūba illā anta. (Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon kepada-Mu, dengan hak langkahku ini, aku tidak keluar dengan sombong dan angkuh, tidak juga dengan ria dan sumah. Aku keluar untuk menghindari murka-Mu serta mencari rida-Mu. Aku mohon kepada-Mu, selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah seluruh dosaku. Sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau." Juga membaca doa, "Allāhumma ij'al fī qalbī nūran, wa fī lisānī nūran, wa-j'al fī baṣarī nūran, wa fī sam'ī nūran, wa amāmī nūran, wa khalfī nūran, wa 'an yamīnī nūran, wa 'an syimālī nūran, wa fauqī nūran, allāhumma a'ṭinī nūran. (Ya Allah! Berikanlah cahaya di hati dan lisanku. Berikanlah cahaya di penglihatan dan pendengaranku, cahaya di depan dan belakangku, cahaya di kanan dan kiriku, cahaya di atas dan di bawahku. Ya Allah! Berikanlah aku cahaya)."
Ketika masuk masjid dianjurkan mendahulukan kaki kanan sambil membaca doa, "Bismillāh a'ūżu billāhil-'aẓīm wa biwajhihil-karīm wa sulṭānihil-qadīm minasy-syaiṭānir-rajīm, allāhumma ṣalli 'alā muḥammad, allāhumma-gfir lī żunūbī wa-ftaḥ lī abwāba raḥmatika (Dengan menyebut nama Allah, aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung, dengan Wajah-Nya yang mulia dan kerajaan-Nya yang azali, dari setan yang terkutuk. Ya Allah! Limpahkanlah selawat kepada Muhammad. Ya Allah! Ampunilah dosaku dan bukakanlah untukku pintu rahmat-Mu)."
Ketika keluar hendaknya mendahulukan kaki kiri sambil membaca doa, "... wa-ftaḥ lī abwāba faḍlika (... dan bukakanlah untukku pintu karunia-Mu)."
Ketika masuk masjid, janganlah langsung duduk kecuali setelah melaksanakan salat dua rakaat; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Bila salah seorang kalian masuk masjid janganlah dia duduk hingga melaksanakan salat dua rakaat."
Dia juga hendaknya menyibukkan diri dengan zikir kepada Allah, atau diam. Tidak menyibukkan diri dalam pembicaraan dunia. Selama dia dalam keadaan seperti itu, maka dia sama seperti orang yang sedang melaksanakan salat, dan para malaikat akan senantiasa memohonkan ampunan untuknya selama dia tidak menyakiti orang lain atau berhadas (batal wudu).
Berdiri untuk menunaikan salat dianjurkan ketika muazin membaca, "Qad qāmatiṣ-ṣalāh." Ini dilakukan bila imam ada di dalam masjid. Bila imam tidak ada di masjid, maka hal itu dilakukan setelah melihat imam. Ada yang bertanya kepada Imam Ahmad, "Apa yang Anda baca sebelum takbiratul-iḥrām?" Beliau menjawab, "Tidak ada. Karena tidak ada bacaan yang dinukil dari Nabi ﷺ maupun salah satu sahabat beliau." Kemudian imam meluruskan saf dengan menyejajarkan pundak dan mata kaki.
Disunahkan agar menyempurnakan saf mulai dari yang paling depan dan seterusnya dan agar para makmum bersaf dengan lurus dan menutup celah saf. Bagian kanan setiap saf lebih utama. Juga dianjurkan agar orang yang paling utama mendekat dari imam; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Hendaklah yang berada di belakangku adalah yang dewasa dan berakal di antara kalian."
Sebaik-baik saf laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang. Sedangkan sebaik-baik saf wanita adalah yang paling belakang dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan.
Kemudian orang yang mengerjakan salat bertakbir dalam keadaan berdiri -jika mampu- dengan mengucapkan, "Allāhu akbar." Tidak sah dengan bacaan yang lain. Hikmah dari memulai salat dengan bacaan ini yaitu agar orang tersebut menghadirkan keagungan Allah yang dia berdiri menghadap kepada-Nya sehingga dia akan merasa khusyuk. Salat tidak sah bila dia memanjangkan hamzah pada kata "الله" (Allāh), atau "أَكْبَرُ" (akbar). Begitu juga kalau dia membacanya, "إِكْبَار" (ikbār). Orang yang bisu cukup bertakbir dengan hati dan tidak wajib menggerakkan lidahnya, demikian juga hukum bacaannya pada bacaan Al-Fātiḥah, tasbih, dan lainnya.
Disunahkan agar imam mengeraskan bacaan takbirnya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Bila imam telah bertakbir, maka bertakbirlah kalian." Begitu juga saat bacaan "sami'allāhu liman ḥamidah"; berdasarkan sabda beliau, "Bila imam telah membaca, 'Sami'allāhu liman ḥamidah', maka ucapkanlah, 'Rabbanā wa lakal-ḥamd.'"
Sedangkan makmun dan orang yang mengerjakan salat sendiri (munfarid) maka dia membacanya dengan suara sir (pelan), seraya mengangkat kedua tangan dengan meluruskan jari-jari dan merapatkannya. Bagian dalam telapak tangan mengarah ke kiblat, sejajar dengan pundak, jika tidak ada uzur (halangan). Ia mengangkat tangannya sebagai isyarat terbukanya tabir antara dia dengan Rabb-nya, sebagaimana telunjuk sebagai isyarat tentang keesaan Allah.
Kemudian dia menggenggam pergelangan kiri dengan telapak tangan kanan dan meletakkannya di bawah pusar sebagai isyarat merendahkan diri di hadapan Allah 'Azza wa Jalla.
Orang yang mengerjakan salat dianjurkan melihat ke tempat sujudnya di semua posisi salat, kecuali ketika tasyahud, dia diperintahkan untuk melihat ke telunjuknya.
Kemudian orang yang mengerjakan salat membaca doa istiftāḥ dengan suara pelan, yaitu membaca, "Subḥānaka Allāhumma wa biḥamdika ..." Makna: "Subḥānaka Allāhumma" yaitu: aku menyucikan-Mu sesuai dengan keagungan-Mu, ya Allah. Sedangkan bacaan: "wa biḥamdika", ada yang mengatakan maknanya: aku menggabungkan untuk-Mu antara tasbih dan pujian. "Wa tabāraka-i-smuka", maksudnya: keberkahan akan diraih dengan berzikir kepada-Mu. "Wa ta'ālā jadduka" maksudnya: sangat luhur keagungan-Mu. "Wa lā ilāha gairuka" maksudnya: tidak ada sesembahan yang hak di atas bumi dan langit selain-Mu, ya Allah. Diperbolehkan membaca istiftāḥ dengan semua bacaan yang ada dalam hadis.
Selanjutnya membaca ta'awwuż secara pelan, yaitu membaca, "A'ūżu billāhi minasy-syaiṭānir-rajīm." Bila ia membaca bacaan ta'awwuż lainnya yang ada dalam hadis-hadis, maka semuanya bagus. Kemudian membaca basmalah secara pelan. Basmalah tidak termasuk Surah Al-Fātiḥah ataupun surah lainnya. Ia hanyalah sebuah ayat Al-Qur`ān di awal Al-Fātiḥah dan di antara setiap dua surah, kecuali antara Surah Barā`ah dan Al-Anfāl.
Tulisan basmalah disunahkan diletakkan pada awal tulisan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Sulaimān 'alaihis-salām dan Nabi kita ﷺ. Juga dianjurkan dibaca di awal semua aktivitas untuk mengusir setan. Ahmad berkata, "Ia (basmalah) tidak boleh ditulis di awal syair ataupun di tengahnya."
Selanjutnya orang yang mengerjakan salat membaca Al-Fātiḥah secara urut dan bersambung serta lengkap dengan tasydidnya. Al-Fātiḥah adalah rukun di setiap rakaat; sebagaimana disebutkan dalam hadis: "Tidak sah salat orang yang tidak membaca Surah Al-Fātiḥah." Al-Fātiḥah dinamakan juga Ummul-Qur`ān (induk Al-Qur`ān) karena di dalamnya terkumpul perkara-perkara ketuhanan, hari akhirat, kenabian, dan penetapan takdir. Dua ayat pertama menunjukkan perkara ketuhanan. "Māliki yaumid-dīn" (QS. Al-Fātiḥah: 4) menunjukkan adanya alam akhirat. "Iyyāka na'budu wa iyyāka nasta'īn" (QS. Al-Fātiḥah: 5) menunjukkan bahwa perintah, larangan, tawakal, dan ikhlas seluruhnya milik Allah. Di dalamnya terkandung peringatan kepada jalan kebenaran dan penganutnya yang harus diikuti. Juga peringatan dari jalan kesesatan dan penyimpangan.
Dianjurkan untuk berhenti pada setiap ayat, sebagaimana cara bacaan Nabi ﷺ. Surah Al-Fātiḥah adalah surah paling agung dalam Al-Qur`ān. Sedangkan ayat yang paling agung dalam Al-Qur`ān adalah ayat Kursi. Di masing-masing keduanya terdapat sebelas tasydid. Makruh hukumnya berlebihan dalam bacaan tasydid dan mad.
Bila telah selesai membaca Al-Fātiḥah, dia hendaknya membaca: āmīn, setelah berhenti sejenak supaya bisa diketahui kata "āmīn" tidak termasuk Al-Qur`ān. Ia bermakna: Ya Allah! Kabulkanlah. Ia hendaknya dibaca dengan suara keras (jahr) oleh imam dan makmum secara bersamaan dalam salat jahriyyah.
Imam dianjurkan berdiam sejenak setelah Al-Fātiḥah pada salat jahriyyah, berdasarkan hadis riwayat Samurah. Orang yang belum mengetahui bacaannya harus mempelajarinya. Kalau dia tidak mempelajarinya padahal dia mampu, maka salatnya tidak sah.
Orang yang sama sekali tidak bisa membaca Al-Fātiḥah secara baik dan tidak juga surah lainnya dalam Al-Qur`ān, maka dia harus membaca, "Subḥānallāh wal-ḥamdu lillāh wa lā ilāha illallāh wallāhu akbar." Ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Apabila engkau memiliki hafalan Al-Qur`ān, maka bacalah itu. Jika tidak, maka bacalah tahmid, tahlil, dan takbir, kemudian rukuklah." (HR. Abu Daud dan Tirmizi).
Kemudian membaca basmalah secara pelan. Setelahnya membaca satu surah yang sempurna, dan boleh juga hanya membaca satu ayat; hanya saja Ahmad menganjurkan agar ayat tersebut panjang. Jika di luar salat, dia boleh membaca basmalah, baik dengan keras ataupun pelan, terserah keinginannya.
Surah yang dibaca dalam salat Subuh adalah surah-surah Ṭiwāl Al-Mufaṣṣal, yaitu surah-surah yang dmulai dari Surah Qāf; berdasarkan riwayat dari Aus, dia meriwayatkan, Aku bertanya kepada sahabat-sahabat Nabi Muhammad ﷺ, "Bagaimanakah kalian membagi bacaan Al-Qur`ān?" Mereka menjawab, "Tiga surah, lima surah, tujuh surah, sembilan surah, sebelas surah, tiga belas surah, dan surah-surah Al-Mufaṣṣal satu hari." Dimakruhkan membaca Qiṣār Al-Mufaṣṣal dalam salat Subuh tanpa uzur seperti safar, sakit, dan semisalnya.
Dalam salat Magrib dibaca surah-surah Qiṣār Al-Mufaṣṣal. Di sebagian waktu boleh dalam salat Magrib membaca surah-surah Ṭiwāl Al-Mufaṣṣal; karena Nabi ﷺ pernah dalam salat Magrib membaca surah Al-A'rāf. Sedangkan dalam salat-salat yang lain membaca surah-surah Ausāṭ Al-Mufaṣṣal, jika tidak ada uzur. Tetapi jika ada uzur silakan membaca yang lebih pendek.
Wanita boleh membaca dengan suara keras dalam salat jahriyyah bila tidak terdengar laki-laki ajnabi (bukan mahram). Sedangkan orang yang mengerjakan salat sunah di malam hari maka dia harus menimbang maslahat; jika ada orang di dekatnya yang akan terganggu dengan bacaan kerasnya, maka dia membaca secara pelan. Tetapi, jika ada orang yang mendengarkan bacaannya maka dia membaca secara keras.
Bila orang yang salat membaca dengan pelan dalam salat yang seharusnya membaca keras, atau membaca dengan keras dalam salat yang seharusnya membaca pelan, (lalu dia dingatkan), maka hendaknya dia terus melanjutkan bacaannya.
Urutan ayat hukumnya wajib karena ditetapkan berdasarkan nas. Sedangkan urutan surah ditetapkan berdasarkan ijtihad, bukan berdasarkan nas, menurut pendapat mayoritas ulama; sehingga boleh membaca surah apa saja sebelum surah lain. Oleh karena itu, mushaf para sahabat tidak sama dalam urutan penulisannya. Imam Ahmad membenci qiraah Ḥamzah dan Al-Kisā`iy serta idgām kabīr dalam qiraah Abu 'Amr.
Selanjutnya orang yang salat itu mengangkat kedua tangan seperti mengangkat tangan dalam takbīratul-iḥrām setelah selesai membaca surah dan setelah diam sejenak sampai napasnya kembali normal. Tidak boleh menyambung bacaan surah dengan takbir rukuk.
Selanjutnya bertakbir, lalu meletakkan kedua tangan dengan jari-jari direnggangkan pada kedua lutut, masing-masing tangan menggenggam lutut, sembari meluruskan punggungnya secara rata dan menjadikan kepalanya lurus dengan punggung, tidak diangkat dan tidak diturunkan; berdasarkan hadis Aisyah. Kedua sikunya direnggangkan dari lambung; berdasarkan hadis Abu Ḥumaid.
Ketika rukuk dia membaca, "Subḥāna rabbiyal-'aẓīm"; berdasarkan hadis Ḥużaifah yang diriwayatkan oleh Muslim. Batas minimal kesempurnaan bacaannya adalah tiga kali, dan batas maksimal bagi imam sepuluh kali. Ini sama juga dengan hukum bacaan "subḥāna rabbiyal-a'lā" ketika sujud. Tidak boleh membaca Al-Qur`ān ketika rukuk dan sujud karena adanya larangan Nabi ﷺ.
Kemudian dia mengangkat kepala seraya mengangkat kedua tangan seperti mengangkat tangan dalam takbīratul-iḥrām. Imam dan munfarid (orang yang mengerjakan salat secara sendiri) wajib membaca, "Sami'allāhu liman ḥamidah." Makna "sami'a" adalah mengabulkan.
Selanjutnya bila telah tegak berdiri dia membaca, "Rabbanā wa lakal-ḥamdu, mil`us-samāwāti wal-arḍi wa mil`u mā syi`ta min syai`in ba'du. (Ya Rabb kami! Segala puji milik-Mu sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa pun yang Engkau kehendaki setelahnya)."
Bila mau, boleh ditambah dengan: "Ahluṡ-ṡanā`i wal-majdi aḥaqqu mā qālal-'abdu, wa kullunā laka 'abdun, lā māni'a limā a'ṭaita wa lā mu'ṭiya limā mana'ta, wa lā yanfa'u żal-jaddi minkal-jaddu. (Engkau yang berhak terhadap semua pujian dan pengagungan, paling benar yang dikatakan oleh hamba. Kami seluruhnya adalah hamba-Mu. Tidak ada yang mampu menghalangi apa yang Engkau beri dan tidak ada yang dapat memberi siapa yang Engkau halangi. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan bagi orang yang memilikinya -selain iman dan amal saleh-, hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan)."
Boleh juga membaca bacaan lain yang datang dari Nabi ﷺ. Bila mau, dia boleh membaca, "Allāhumma rabbanā lakal-ḥamdu"; yaitu tanpa huruf "wāw", berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa'īd Al-Khudriy dan lainnya.
Apabila makmum mendapatkan imam di dalam rukuk ini, maka dia telah mendapatkan rakaat ini. Kemudian dia bertakbir dan turun sujud tanpa mengangkat tangan. Dia meletakkan lutut terlebih dahulu, kemudian kedua tangan, lalu wajahnya. Hendaklah dia menempelkan kening dan hidungnya serta kedua telapak tangannya di lantai. Juga agar dia bertumpu di atas jari-jari kakinya dengan mengarahkan jari-jarinya ke kiblat. Sujud di atas tujuh anggota ini adalah rukun salat. Dianjurkan agar orang yang mengerjakan salat menyentuhkan langsung telapak tangannya (pada lantai), dan merapatkan jari-jari kedua tangannya menghadap ke kiblat tanpa menggenggamnya, sambil mengangkat kedua sikunya.
Makruh hukumnya salat di tempat yang sangat panas atau sangat dingin karena akan menghilangkan kekhusyukan. Disunahkan bagi orang yang sujud supaya merenggangkan kedua sikunya dari lambung, perutnya dari kedua paha, dan kedua pahanya dari betis. Juga agar meletakkan kedua tangannya sejajar pundak dan memisahkan antara kedua lutut dan juga antara kedua telapak kaki.
Kemudian dia mengangkat kepala sembari bertakbir dan duduk secara iftirāsy dengan merebahkan telapak kaki kiri lalu mendudukinya dan menegakkan kaki kanan lalu mengeluarkannya dari bawah badannya, dengan menjadikan bagian bawah telapak kaki ke lantai supaya jari-jarinya mengarah ke kiblat. Ini berdasarkan hadis Abu Ḥumaid tentang tata cara salat Nabi ﷺ.
Kedua tangannya dia hamparkan di atas paha dengan merapatkan jari-jari seraya membaca, "Rabbi igfir lī." Boleh juga ditambahkan dengan doa lain; berdasarkan riwayat Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā-, bahwa Nabi ﷺ ketika duduk antara dua sujud membaca, "Rabbi-gfir lī wa-rḥamnī wa-hdinī wa-rzuqnī wa 'āfinī (Ya Rabb-ku! Ampunilah aku, rahmatilah aku, tunjukilah aku, berilah aku rezeki, dan sembuhkanlah aku)." (HR. Abu Daud).
Setelah itu dia melakukan sujud yang kedua seperti sujud pertama. Bila mau, dia boleh berdoa apa saja di dalamnya; berdasarkan hadis Nabi ﷺ, "Adapun sujud, maka perbanyaklah doa di dalamnya karena sangat pantas untuk dikabulkan bagi kalian." (HR. Muslim). Juga diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Hurairah raḍiyallāhu 'anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ di dalam sujudnya biasa membaca, "Allāhumma igfirlī żanbī kullahu; diqqahu wa jillahu, wa awwalahu wa ākhirahu, wa 'alāniyyatahu wa sirrahu. (Ya Allah! Ampuni dosaku semuanya, yang kecil maupun yang besar, yang pertama maupun yang terakhir, yang tampak maupun yang tersembunyi)."
Setelah itu dia mengangkat kepala sambil bertakbir, lalu berdiri dengan bertumpu pada kedua lutut; berdasarkan hadis Wā`il, kecuali jika dia kesulitan karena sudah tua, sakit, atau lemah.
Kemudian dia mengerjakan rakaat kedua seperti mengerjakan rakaat pertama, kecuali takbīratul-iḥrām dan doa istiftāḥ, ia tidak melakukannya, sekalipun dia tidak membaca istiftāḥ di rakaat pertama.
Kemudian dia duduk tasyahud secara ifitirāsy dengan meletakkan kedua tangan di atas paha, serta jari-jari tangan sebelah kiri diluruskan dan dirapatkan lalu diarahkan ke arah kiblat. Sedangkan tangan kanan, jari kelingking dan jari manis digenggamkan, lalu ibu jari membuat lingkaran bersama jari tengah. Kemudian dia membaca tasyahud dengan suara pelan, dan berisyarat menggunakan jari telunjuk sebelah kanan ketika bertasyahud sebagai isyarat tauhid.
Berisyarat dengan telunjuk ketika berdoa dilakukan di dalam salat dan di luar salat; berdasarkan perkataan Ibnu Az-Zubair: "Nabi ﷺ selalu berisyarat dengan telunjuknya ketika berdoa, dan beliau tidak menggerakkannya." (HR. Abu Daud).
Lalu dia membaca: "At-taḥiyyātu lillāh, waṣ-ṣalawātu waṭ-ṭayyibāt. As-salāmu 'alaika ayyuhan-nabiyyu wa raḥmatullāhi wa barakātuh. As-salāmu 'alainā wa 'alā 'ibādillāhiṣ-ṣāliḥīn. Asyhadu an lā ilāha illallāh wa asyhadu anna Muḥammadan 'abduhu wa rasūluh. (Segala ucapan selamat/penghormatan, selawat dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga keselamatan terlimpah kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta berkah-Nya. Semoga keselamatan terlimpah pada kami dan hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya)." Bacaan tasyahud apa saja yang dia baca asal secara sahih berasal dari Nabi ﷺ, maka hukumnya boleh. Namun, yang paling utama adalah meringankan bacaannya serta tidak ditambah. Ini pada tasyahud awal.
Kemudian, jika salat tersebut adalah salat yang terdiri dari dua rakaat saja, maka dia lanjutkan dengan membaca selawat kepada Nabi ﷺ dengan membaca, "Allāhumma ṣalli 'alā Muḥammad, wa 'alā āli Muḥammad, kamā ṣallaita 'alā āli Ibrāhīm, innaka ḥamīdun majīd. Wa bārik 'alā Muḥammad, wa 'alā āli Muḥammad, kamā bārakta 'alā āli Ibrāhīm, innaka ḥamīdun majīd. (Ya Allah! Limpahkanlah rahmat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau melimpahkan rahmat atas keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia. Dan curahkanlah keberkahan atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau mencurahkan keberkahan atas keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia)."
Boleh juga membaca selawat kepada Nabi ﷺ dengan bacaan-bacaan selawat lainnya yang diriwayatkan dalam Sunnah. "Ālu Muḥammad" ialah ahli bait beliau. "At-Taḥiyyāt" artinya semua ucapan selamat adalah hak dan milik Allah Ta'ālā. "Aṣ-Ṣalawāt" artinya doa. Sedangkan "Aṭ-Ṭayyibāt" ialah amal saleh. Allah Subḥānahu wa Ta'ālā diberikan taḥiyyah (ucapan penghormatan), tidak diberikan ucapan salam karena ucapan salam adalah doa untuk orang yang diberi salam. Diperbolehkan membaca selawat untuk selain Nabi ﷺ dengan ditujukan pada satu orang, jika tidak dilakukan secara sering dan tidak dijadikan sebagai syiar untuk sebagian orang atau sebagian sahabat tanpa yang lain. Disunahkan untuk berselawat kepada Nabi ﷺ di luar salat, dan lebih ditekankan lagi pada saat nama beliau disebut, serta pada pada siang hari Jumat dan malamnya.
Disunahkan (setelah membaca selawat di tasyahud ini) untuk membaca, "Allāhumma innī a'ūżu bika min 'ażābi jahannam wa min 'ażābil-qabri, wa a'ūżu bika min fitnatil-maḥyā wal-mamāt, wa a'ūżu bika min fitnatil-masīḥ ad-dajjāl. (Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab neraka Jahanam dan azab kubur. Aku berlindung kepada-Mu dari fitnah ketika hidup dan setelah mati. Dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Almasih Dajal)."
Seandainya dia tambahkan dengan doa lain yang ada dalam Sunnah, juga bagus; berdasarkan hadis Nabi ﷺ, “Lalu hendaknya ia memilih doa yang paling ia sukai." Ini dilakukan imam selama tidak memberatkan makmum. Juga diperbolehkan berdoa untuk orang tertentu; beradasarkan perbuatan Nabi ﷺ ketika beliau mendoakan orang-orang lemah di Kota Mekah.
Setelah itu dia bersalam dalam keadaan duduk, dimulai dengan bersalam ke kanan dengan mengucapkan, "As-salāmu 'alaikum wa raḥmatullāh." Begitu juga ketika bersalam ke kiri. Menoleh hukumnya sunah, dan ia hendaknya menoleh ke kiri lebih banyak sampai terlihat pipinya. Imam mengeraskan bacaan salam pada salam pertama saja, sedangkan selain imam, keduanya dibaca dengan suara pelan. Disunahkan untuk tidak memanjangkannya, yaitu tidak memanjangkan bacaan salam. Dia meniatkan dengan salam itu untuk menyelesaikan salat. Salamnya itu dia niatkan untuk para malaikat yang menjaga manusia dan untuk orang yang hadir di dekatnya.
Bila salat tersebut lebih dari dua rakaat, dia bangkit (ke rakaat ketiga) sambil bertakbir dengan bertumpu pada bagian depan kakinya ketika selesai dari tasyahud pertama, lalu mengerjakan sisa salatnya seperti rakaat sebelumnya. Hanya saja, dia tidak mengeraskan bacaan dan tidak membaca apa pun selain Surah Al-Fātiḥah. Tetapi kalau dia kerjakan, tidak dimakruhkan.
Setelah itu dia duduk tasyahud kedua dengan cara tawarruk, yaitu dengan menghamparkan kaki kiri dan menegakkan kaki kanan lalu mengeluarkan kedua-duanya dari arah kanan dan meletakkan pantatnya di atas lantai.
Kemudian dia membaca tasyahud seperti dalam tasyahud pertama, kemudian membaca selawat kepada Nabi ﷺ, lalu berdoa, kemudian bersalam.
Setelah itu imam berbalik menghadap ke arah makmum dengan berputar ke arah kanan atau ke kiri. Imam tidak boleh bertahan lama duduk setelah salam menghadap kiblat, dan makmum tidak boleh berpindah sebelum imam; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Aku adalah imam bagi kalian, maka jangan kalian mendahuluiku dalam rukuk, sujud, dan berpindah."
Bila ada jemaah wanita yang ikut salat, para wanita keluar lebih dahulu sementara yang laki-laki bertahan sebentar agar tidak berbaur dengan wanita yang keluar.
Disunahkan untuk berzikir, berdoa, dan beristigfar setelah salat; yaitu membaca, "Astagfirullāh", sebanyak tiga kali.
Setelah itu membaca, "Allāhumma antas-salām wa minkas-salām, tabārakta yā żal-jalāli wal-ikrām. Lā ilāha illallāhu waḥdahū lā syarīka lah, lahul-mulku wa lahul-ḥamdu, wa huwa 'alā kulli syai`in qadīr. Wa lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh. Lā ilāha illallāh, wa lā na'budu illā iyyāhu, lahun-ni'mah walahul-faḍlu, wa lahuṡ-ṡanā`ul-ḥasan. Lā ilāha illallāh, mukhliṣīna lahud-dīn wa law karihal-kāfirūn (Ya Allah! Engkau Maha Pemberi Keselamatan, dan hanya dari-Mu semua keselamatan. Mahasuci Engkau, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan. Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Hanya milik-Nya semua kerajaan dan hanya milik-Nya semua pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Kita tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya. Hanya milik-Nya semua nikmat, hanya milik-Nya semua kebaikan, dan hanya milik-Nya semua pujian yang baik. Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dengan memurnikan ibadah seluruhnya hanya kepada-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak suka)."
"Allāhumma lā māni'a li mā a'ṭaita wa lā mu'ṭiya li mā mana'ta, wa lā yanfa'u żal-jaddi minkal-jaddu. (Ya Allah! Tidak ada yang mampu menghalangi apa yang Engkau beri dan tidak ada yang dapat memberi siapa yang Engkau halangi. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya -selain iman dan amal salehnya-, hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan)."
Kemudian membaca tasbih, tahmid, dan takbir masing-masing 33 kali. Selanjutnya disempurnakan menjadi 100 dengan membaca, "Lā ilāha illallāhu waḥdahū lā syarīka lah, lahul-mulku wa lahul-ḥamdu, wa huwa 'alā kulli syai`in qadīr."
Setelah salat Subuh dan Magrib, sebelum ia berbicara dengan orang lain hendaknya ia membaca doa berikut -sebanyak tujuh kali-, "Allāhumma ajirnī minan-nār (Ya Allah! Peliharalah aku dari api neraka)."
Berdoa dengan suara pelan lebih utama, demikian juga menggunakan doa yang ada dalam hadis-hadis. Doa hendaklah dilakukan dengan penuh adab, khusyuk, kehadiran hati, serta penuh rasa harap dan takut; berdasarkan hadis Nabi ﷺ, "Tidak akan dikabulkan doa yang berasal dari hati yang lalai."
Dia hendaklah bertawasul dengan nama-nama dan sifat Allah, serta dengan tauhid. Termasuk mengupayakan doa di waktu-waktu yang mustajab, yaitu sepertiga akhir malam, antara azan dan ikamah, setelah salat fardu, dan setelah asar di hari Jumat. Dia harus bersabar dalam menunggu doanya dikabulkan, tidak boleh terburu-buru dengan mengatakan; aku telah berdoa dan berdoa, tetapi tidak dikabulkan. Tidak makruh mengkhususkan doa untuk diri sendiri, kecuali dalam doa yang diaminkan oleh orang lain. Dan makruh hukumnya mengangkat suara ketika berdoa.
Di dalam salat dimakruhkan menoleh dengan tolehan yang sedikit, melihat ke atas, salat menghadap gambar pajangan, atau menghadap pandangan manusia, menghadap api sekalipun berupa lampu minyak, dan menghamparkan lengan ketika sujud.
Tidak boleh memulai salat sambil menahan kencing dan buang air besar atau dalam kondisi telah dihidangkan makanan yang dia inginkan, tetapi seharusnya dia menunda salatnya sekalipun berakibat tidak mendapatkan salat berjamaah.
Begitu juga makruh hukumnya memegang kerikil, menyilang jari jemari, bertumpu ke tangan ketika duduk, memegang jenggot, mengikat rambut, dan melipat pakaian. Bila dia menguap, agar dia menahannya sebisa mungkin, tetapi jika tidak bisa ditahan, maka dia meletakkan tangan di atas mulutnya. Termasuk makruh hukumnya meratakan tanah tanpa alasan.
Dia hendaknya mencegah apa yang lewat di hadapannya, walaupun harus dicegah dengan dorongan keras; baik yang lewat tersebut manusia atau yang lain, baik salat tersebut fardu atau sunah. Kalau orang itu enggan, maka dia boleh menyerangnya, walaupun berakibat dia harus sedikit berjalan.
Haram hukumnya lewat di antara orang yang mengerjakan salat dengan sutrah (pembatasnya), dan di hadapannya jika dia tidak memakai sutrah.
Orang yang mengerjakan salat boleh membunuh ular, kalajengking, dan kutu. Begitu juga merapikan pakaian dan serban, membawa dan meletakkan sesuatu, serta berisyarat dengan tangan, muka, dan mata karena suatu keperluan.
Tidak dimakruhkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang mengerjakan salat, dan dia boleh menjawabnya dengan isyarat.
Seorang makmum hendaknya membetulkan bacaan imam jika imam keliru atau lupa. Bila imam lupa atau keliru di dalam gerakan salatnya, maka makmum laki-laki bertasbih dan makmum perempuan menepuk tangan.
Bila dia terpaksa meludah atau membuang ingus ketika salat, maka dia meludah di pakaiannya jika sedang berada di dalam masjid, dan meludah ke sebelah kiri jika di luar masjid. Makruh hukumnya meludah ke arah depan atau ke sebelah kanan.
Makruh hukumnya bagi selain makmum untuk salat tidak menghadap sutrah, walaupun tidak dikhawatirkan akan ada yang lewat, baik berupa dinding atau sesuatu tegak seperti tombak ataupun yang lainnya seukuran tinggi sandaran pelana. Disunahkan agar dia mendekat dari sutrah; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Jika salah seorang dari kalian melaksanakan salat, hendaklah dia menghadap ke sutrah dan mendekatinya." Dia juga harus sedikit bergeser darinya, berdasarkan amalan Nabi ﷺ. Bila tidak ada yang bisa dijadikan sebagai sutrah, maka dia boleh membuat garis. Bila ada sesuatu yang lewat di belakang sutrah, hukumnya tidak makruh. Bila sutrah tidak ada, atau sutrah ada, lalu lewat di hadapannya antara dia dan batasan sutrah seorang perempuan, anjing, atau keledai, maka salatnya batal.
Dia boleh melihat mushaf ketika membaca Al-Qur`ān dalam salat, dan boleh berdoa ketika melewati ayat rahmat dan memohon perlindungan ketika melewati ayat tentang azab.
Berdiri adalah rukun dalam salat fardu; berdasarkan firman Allah Ta'ālā, "Dan berdirilah melaksanakan (salat) karena Allah dengan khusyuk." (QS. Al-Baqarah: 238). Ini dikecualikan bagi orang yang tidak mampu berdiri, orang yang tidak memiliki pakaian, orang yang ketakutan, atau makmum yang salat di belakang imam ratib yang tidak mampu berdiri. Bila dia mendapatkan imam sedang melakukan rukuk, maka dia wajib berdiri terlebih dahulu seukuran untuk takbīratul-iḥrām.
Takbīratul-iḥrām adalah rukun, begitu juga membaca surah Al-Fātiḥah bagi imam dan orang yang mengerjakan salat sendiri, dan juga rukuk; berdasarkan firman Allah Ta'ālā, "Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah dan sujudlah ..." (QS. Al-Ḥajj: 77).
Abu Hurairah raḍiyallāhu 'anhu juga meriwayatkan bahwasanya ada seorang laki-laki yang datang ke masjid lalu melaksanakan salat. Setelah salat, dia datang menemui Nabi ﷺ dan mengucapkan salam kepada beliau. Beliau bersabda, "Kembalilah, dan ulangi salatmu karena kamu belum mengerjakan salat!" Hingga dia melakukannya sebanyak tiga kali. Setelah itu dia berkata, "Demi Allah yang telah mengutusmu sebagai seorang nabi yang membawa kebenaran! Aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari ini. Maka ajarilah aku." Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya, “Jika kamu hendak mengerjakan salat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah ayat-ayat Al-Qur`ān yang mudah bagimu. Kemudian rukuklah hingga kamu melakukan rukuk dengan tenang, kemudian bangkitlah dari rukuk hingga kamu berdiri tegak. Lalu sujudlah hingga kamu sujud dengan tenang, kemudian bangkitlah hingga kamu duduk dengan tenang. Kemudian kerjakanlah semua hal tersebut pada seluruh rakaat salatmu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, An-Nasā`i, dan Ibnu Majah). Ini menunjukkan bahwa semua yang disebutkan dalam hadis ini tidak boleh gugur dari amalan salat sama sekali. Karena kalau boleh gugur, pasti telah dibolehkan gugur dari laki-laki badui yang jahil ini.
Ṭuma`nīnah (tenang) di dalam gerakan-gerakan ini adalah rukun, sebagaimana telah dijelaskan. Ḥużaifah pernah melihat seorang laki-laki yang tidak melakukan rukuk dan sujud dengan sempurna, maka dia berkata, "Engkau belum menunaikan salat dengan benar. Seandainya engkau meninggal, engkau meninggal tidak di atas agama yang Allah fitrahkan kepada Muhammad ﷺ."
Tasyahud akhir adalah salah satu rukun salat; berdasarkan hadis Ibnu Mas’ūd raḍiyallāhu 'anhu, ia meriwayatkan, Sebelum bacaan tasyahud diwajibkan kepada kami, kami membaca, "As-salāmu 'alallāh, as-salāmu 'alā Jibrīl, as-salāmu 'alā Mīkā`īl’ (Semoga keselamatan bagi Allah, semoga keselamatan bagi Jibril, semoga keselamatan bagi Mikail)." Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, "Janganlah kalian mengucapkan demikian, tetapi bacalah, 'At-Taḥiyyātu lillāh ...'" (HR. An-Nasā`i dan semua perawinya ṡiqah).
Wajib-wajib salat yang dapat gugur karena lupa ada delapan:
- takbir selain takbīratul-iḥrām;
- ucapan "sami'allāhu liman ḥamidah" bagi imam dan yang salat sendiri;
- bacaan "rabbanā walakal-ḥamdu" untuk semua;
- bacaan tasbīḥ ketika rukuk;
- tasbīḥ ketika sujud;
- bacaan "rabbi igfir lī" ketika duduk antara dua sujud;
- tasyahud pertama;
- untuk tasyahud pertama. Selebihnya merupakan sunah bacaan maupun gerakan.
Yang merupakan sunah bacaan ada tujuh belas:
- membaca istiftāḥ,
- membaca ta'awwuż,
- membaca basmalah,
- membaca āmīn,
- membaca surah di dua rakaat pertama dan di semua rakaat pada salat Subuh, Jumat, Id, dan salat sunah,
- mengeraskan bacaan pada tempat bacaan keras
- dan membaca pelan pada tempat bacaan pelan,
- bacaan zikir "mil`us-samā`i wal-arḍi" sampai selesai,
- tambahan bacaan tasbih (lebih dari satu kali) setelah yang pertama ketika rukuk
- dan ketika sujud,
- begitu juga dalam bacaan "rabbi igfir lī",
- membaca doa perlindungan setelah tasyahud akhir,
- membaca selawat dan doa keberkahan kepada Nabi ﷺ dan keluarga beliau.
Selain hal tersebut adalah sunah-sunah gerakan, seperti: merapatkan jari-jari, meluruskannya, dan menghadapkannya ke arah kiblat ketika takbīratul-iḥrām, juga ketika hendak rukuk, dan bangkit dari rukuk, lalu menurunkan tangan setelah itu, menggenggamkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri dan meletakkannya di bawah pusar, melihat ke tempat sujud, merenggangkan kedua kaki ketika berdiri dan bertumpu kepadanya secara bergiliran, membaca secara tartil, meringankan bacaan bagi imam, bacaan rakaat pertama lebih panjang dari rakaat kedua, kedua tangan menggenggam kedua lutut dengan jari-jari direnggangkan ketika rukuk, juga meluruskan dan meratakan punggung serta menjadikan kepala sejajar dengan punggung, meletakkan kedua lutut sebelum dua tangan ketika sujud dan mengangkat kedua tangan sebelum dua lutut ketika bangkit, menempelkan kening dan hidung ke lantai saat sujud, merenggangkan kedua lengan dari lambung, perut dari dua paha, dan dua paha dari kedua betis saat sujud, menegakkan kedua kaki dan meletakkan bagian dalam jari-jari kaki menyentuh lantai dengan direnggangkan, meletakkan tangan sejajar pundak dengan jari-jari diluruskan ketika sujud disertai mengarahkan jari-jari tangan dengan dirapatkan ke arah kiblat, menempelkan tangan dan kening ke tempat sujud, berdiri menuju rakaat berikutnya dengan bertumpu di atas ujung telapak kaki dengan menumpukan tangan di atas paha, duduk iftirāsy ketika duduk antara dua sujud dan tasyahud pertama, kemudian duduk tawaruk di tasyahud kedua, meletakkan tangan di atas paha dengan jari-jari diluruskan dan dirapatkan serta diarahkan ke arah kiblat ketika duduk antara dua sujud dan tasyahud, serta menggenggam jari kelingking dan jari manis tangan kanan disertai melingkarkan ibu jari bersama jari tengah dan berisyarat dengan telunjuk, menoleh ke kanan dan ke kiri ketika bersalam, dan melebihkan salam ke kiri atas salam ke kanan ketika menoleh.
Adapun sujud sahwi, Imam Ahmad menerangkan bahwa terdapat lima hadis dan peristiwa dari Nabi ﷺ tentangnya; yaitu beliau mengucapkan salam setelah baru mengerjakan salat dua rakaat, (ada juga) beliau mengucapkan salam setelah baru mengerjakan tiga rakaat, juga ketika melakukan kelebihan (gerakan), atau kekurangan, dan beliau berdiri setelah rakaat kedua tanpa bertasyahud.
Al-Khaṭṭābiy berkata, "Yang menjadi patokan di kalangan ulama ialah kelima hadis ini." Maksudnya adalah dua hadis Ibnu Mas'ūd, hadis Abu Sa'īd, hadis Abu Hurairah, dan hadis Ibnu Buḥainah.
Sujud sahwi diperintahkan ketika ada penambahan, pengurangan, dan ragu-ragu di dalam salat fardu dan sunah, kecuali kalau ragu-ragu tersebut sering, maka dianggap waswas setan sehingga harus dibuang. Demikian halnya dalam wudu, mandi, dan istinja.
Bila seseorang menambah gerakan yang merupakan amalan salat seperti berdiri, rukuk, sujud, atau duduk secara sengaja, maka salatnya itu batal. Tetapi bila dia melakukannya karena lupa maka dia melakukan sujud sahwi; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Apabila seseorang menambah atau mengurangi di dalam salatnya, hendaklah dia melakukan sujud sahwi dua kali sujud." (HR. Muslim). Ketika dia ingat, maka dia langsung kembali ke urutan salat itu tanpa takbir. Bila dia menambah rakaat, maka dia langsung menghentikannya ketika ingat dan melanjutkan perbuatan sebelumnya, dan dia tidak perlu bertasyahud lagi jika sebelumnya telah bertasyahud, kemudian dia melakukan sujud sahwi dan salam.
Makmum yang masbuk tidak boleh menghitung rakaat yang lebih. Orang yang yakin bahwa imam menambah rakaat tidak boleh mengikuti kesalahan imam tersebut. Bila dia sebagai imam atau salat sendiri, lalu diingatkan oleh dua orang yang terpercaya, maka dia harus kembali. Dan dia tidak boleh kembali jika diingatkan hanya oleh satu orang, kecuali dia meyakininya benar, karena Nabi ﷺ tidak langsung menerima ucapan sahabat Żul-Yadain.
Gerakan yang sedikit tidak membatalkan salat, seperti perbuatan Nabi ﷺ membuka pintu untuk Aisyah serta perbuatan beliau menggendong dan meletakkan Umamah.
Jika dia membaca bacaan yang disyariatkan dalam salat di selain tempatnya, seperti membaca Al-Qur`ān ketika duduk dan membaca tasyahud ketika berdiri, salatnya tidak batal. Tetapi dia harus sujud sahwi karena telah lupa; berdasarkan keumuman sabda Nabi ﷺ, "Apabila salah seorang kalian lupa, hendaklah dia melakukan sujud sahwi dua kali sujud."
Bila dia bersalam sebelum salatnya selesai dengan sengaja, maka salatnya batal. Tetapi jika itu dilakukan karena lupa, kemudian dia ingat tidak lama setelahnya, maka dia menyempurnakan salatnya walaupun sudah keluar dari masjid atau berbicara sedikit untuk kepentingan salat itu.
Bila dia berbicara karena lupa, atau dia tertidur kemudian berbicara, atau ketika sedang membaca dia salah mengucapkan selain kata Al-Qur`ān, maka salatnya tidak batal. Bila dia tertawa terbahak-bahak, salatnya dihukumi batal berdasarkan ijmak, namun salatnya tidak batal bila hanya tersenyum.
Bila dia lupa satu rukun selain takbīratul-iḥrām, lalu dia ingat ketika sedang membaca Al-Fātiḥah di rakaat setelahnya, maka rakaat yang ada kekurangannya menjadi batal dan rakaat berikutnya langsung menggantikannya, dan dia tidak perlu mengulangi doa iftitāḥ, sebagaimana disebutkan oleh Ahmad. Tetapi kalau dia mengingatnya sebelum membaca Al-Fātiḥah, maka dia mengulang doa iftitāḥ dan yang setelahnya.
Bila dia lupa tasyahud pertama dengan langsung bangkit, maka dia harus kembali dan mengerjakan tasyahud selama dia belum berdiri sempurna; berdasarkan hadis Al-Mugīrah yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Bila dia sudah tegak berdiri, maka makmum wajib mengikutinya dan tasyahud gugur darinya lalu diganti dengan sujud sahwi.
Siapa yang ragu dengan jumlah rakaat, maka dia ambil yang pasti (lebih sedikit). Ketika makmum ragu maka dia mengikuti sesuai gerakan imamnya. Bila dia mendapatkan imam sedang rukuk kemudian dia ragu apakah imam telah mengangkat kepala sebelum berhasil menyusulnya dalam keadaan rukuk, maka dia tidak menghitung rakaat tersebut. Bila dia bersikap mengambil yang pasti, maka dia mengerjakan sisanya, sedangkan makmum mengerjakannya setelah imam bersalam, setelah itu ia bersujud sahwi.
Makmum tidak memiliki kewajiban untuk sujud sahwi kecuali bila imam lupa, maka dia bersujud bersamanya walaupun dia belum menyelesesaikan tasyahud, kemudian dia menyempurnakan salatnya setelah sujud tersebut. Makmum yang masbuk melakukan sujud sahwi bila dia bersalam bersama imam karena lupa, demikian juga kalau dia lupa ketika bersama imam atau setelah terlepas dari imam.
Waktu sujud sahwi ialah sebelum salam, kecuali bila dia bersalam sementara salatnya masih kurang satu rakaat atau lebih maka ia bersujud setelah salam; berdasarkan hadis 'Imrān dan Żul-Yadain. Juga kecuali dia mengambil yang lebih kuat menurut dugaannya, jika kita mengambil pendapat itu, maka dia bersujud setelah salam, berdasarkan hadis Ali dan Ibnu Mas'ūd.
Bila dia lupa sujud sahwi sebelum salam atau setelahnya, maka dia melakukan sujud sahwi itu selama jeda waktunya tidak lama. Cara sujud sahwi serta apa yang dibaca ketika sujud dan setelah bangun sama seperti sujud salat.
Abul-'Abbās berkata, "Kelak hari Kiamat, salat sunah akan digunakan untuk menyempurnakan salat fardu manakala tidak dikerjakan dengan sempurna. Tentang ini terdapat dalam sebuah hadis marfū'. Begitu juga zakat dan amal saleh lainnya."
Ibadah sunah yang paling utama ialah jihad, kemudian yang mengikutinya seperti infak di medan jihad dan lainnya. Kemudian menuntut ilmu dan mengajarkannya. Abu Ad-Dardā` berkata, "Orang yang berilmu dan penuntut ilmu sama dalam hal pahala. Sedangkan orang-orang yang lainnya adalah bodoh, tidak memiliki kebaikan." Diriwayatkan dari Ahmad, bahwa ia berkata, "Menuntut ilmu adalah amal saleh yang afdal bagi orang yang benar niatnya." Ahmad juga berkata, "Belajar di sebagian malam lebih aku sukai daripada menghidupkannya dengan salat." Ahmad juga berkata, "Seseorang wajib menuntut ilmu yang akan menegakkan agamanya." Ada yang bertanya, "Apa misalnya?" Dia menjawab, "Yaitu yang tidak boleh tidak diketahui, seperti salat, puasa, dan semisalnya."
Kemudian setelah itu salat (yang sunah), berdasarkan hadis: "Istikamahlah kalian. Kalian tidak akan mampu melakukan semuanya. Ketahuilah, sesungguhnya amal saleh kalian yang paling utama adalah salat."
Kemudian setelahnya ibadah yang manfaatnya dirasakan orang lain seperti menjenguk orang sakit, membantu kebutuhan seorang muslim, dan mendamaikan di antara orang yang berselisih; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang amal kalian yang paling baik dan lebih utama dari derajat puasa dan salat? Yaitu mendamaikan hubungan antara manusia. Sesungguhnya kerusakan hubungan di antara manusia itulah yang memutuskan (merusak)." (Disahihkan oleh Tirmizi). Ahmad juga berkata, "Mengantar jenazah lebih utama dari salat."
Perbuatan yang manfaatnya dirasakan orang lain bertingkat-tingkat; sehingga sedekah kepada kerabat yang membutuhkan lebih utama daripada memerdekakan budak, dan memerdekakan budak lebih utama daripada bersedekah kepada selain keluarga, kecuali pada masa kelaparan.
Kemudian mempelajari ibadah haji. Anas raḍiyallāhu 'anhu meriwayatkan secara marfū', "Siapa yang keluar dalam rangka mencari ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai kembali." (Tirmizi berkata, "Hasan garīb"). Syekh berkata, "Menuntut ilmu dan mengajarkannya termasuk jihad, dan merupakan salah satu jenisnya." Beliau juga berkata, "Mengisi sepuluh Zulhijah dengan ibadah sepanjang siang dan malam lebih utama daripada jihad yang tidak sampai mengorbankan nyawa dan harta." Dalam riwayat dari Ahmad disebutkan, bahwa tidak ada sesuatu pun yang bisa menyerupai ibadah haji karena beratnya rasa letih yang terkandung di dalamnya, juga karena agungnya syiar-syiarnya, di dalamnya terdapat momen perkumpulan manusia yang tidak ada tandingannya dalam Islam, terdapat momen sore di Arafah (yang merupakan waktu yang sangat utama), dan sebagaimana ibadah haji juga menguras harta dan tenaga.
Abu Umāmah meriwayatkan, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi ﷺ, "Amalan apakah yang paling utama?" Beliau bersabda, "Hendaklah engkau berpuasa, karena ia tidak ada bandingannya." (HR. Ahmad dan lainnya dengan sanad hasan).
Syekh berkata, "Bisa jadi masing-masing amalan lebih utama di sebagian keadaan, berdasarkan praktik Nabi ﷺ dan para Khulafa Rasyidin sesuai kebutuhan dan kepentingan." Ini senada dengan perkataan Ahmad, "Lihatlah apa yang lebih bermaslahat bagi hatimu lalu kerjakanlah." Ahmad juga menguatkan keutamaan tafakur di atas salat dan sedekah. Hal itu dapat dipahami bahwa amalan hati lebih utama daripada amalan anggota badan, sedangkan yang dimaksud oleh ulama-ulama mujtahid mazhab Hanbali ialah amalan anggota badan. Ini dikuatkan oleh hadis: "Amalan yang paling dicintai Allah adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah." Juga hadis: "Tali Islam yang paling kuat ..."
Salat sunah yang paling utama secara berurutan adalah salat kusuf, salat witir, salat sunah subuh, salat sunah magrib, kemudian salat-salat rawatib lainnya.
Waktu salat witir dimulai setelah salat Isya sampai terbit fajar, sedangkan waktunya yang paling utama adalah di akhir malam bagi orang yang yakin akan bangun. Jika tidak, maka dia mengerjakan witir sebelum tidur. Ia minimal satu rakaat dan maksimal sebelas rakaat. Yang afdal agar ia bersalam setiap dua rakaat kemudian ditutup dengan satu rakaat. Tetapi jika dia melakukan cara yang lain sebagaimana beberapa variasi yang diriwayatkan secara sahih dari Nabi ﷺ maka bagus. Minimal yang sempurna ialah tiga rakaat, dan paling utama dikerjakan dengan dua salam. Boleh dikerjakan dengan satu salam dan satu tasyahud, dan boleh juga dikerjakan seperti salat Magrib.
Salat sunah rawatib ada sepuluh rakaat, dan mengerjakannya di rumah lebih utama. Yaitu: 2 rakaat sebelum Zuhur, 2 rakaat setelah Zuhur, 2 rakaat setelah Magrib, 2 rakaat setelah Isya, dan 2 rakaat sebelum Subuh.
Disunahkan untuk meringankan salat sunah Subuh dengan membaca Surah Al-Kāfirūn dan Al-Ikhlāṣ. Atau pada rakaat pertama membaca ayat, "Qūlū āmannā billāhi wamā unzila ilainā ..." yang ada dalam QS. Al-Baqarah (136). Dan pada rakaat kedua membaca, "Qul yā ahlal-kitābi ta'ālaū ilā kalimatin sawā`in bainanā wa bainakum ..." (QS. Āli 'Imrān: 64)
Salat sunah boleh juga dikerjakan di atas kendaraan.
Tidak ada sunah khusus sebelum salat Jumat, sedangkan setelahnya disunahkan salat dua rakaat atau empat rakaat. Salat sunah ini bisa sekaligus sebagai salat Tahiyat Masjid.
Dianjurkan untuk memisahkan antara salat fardu dan salat sunah dengan berbicara atau berjalan; berdasarkan hadis Mu'āwiyah. Siapa yang yang tidak mendapatkan sebagiannya dianjurkan untuk mengadanya. Juga dianjurkan mengerjakan salat sunah antara azan dan ikamah.
Salat tarawih hukumnya sunah yang dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ. Mengerjakannya secara berjamaah lebih diutamakan, dan imam mengeraskan bacaannya, sebagaimana diwarisi oleh generasi khalaf dari generasi salaf. Kemudian melakukan salam setiap dua rakaat; berdasarkan hadis: "Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat." Waktunya dimulai setelah salat Isya dan sunah Isya, dan sebelum witir hingga terbit fajar. Kemudian mengerjakan witir setelah itu.
Jika seseorang memiliki kebiasaan salat tahajud, dia hendaknya menjadikan salat witirnya setelah itu; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Jadikanlah akhir salat malam kalian dengan witir." Bila orang yang memiliki kebiasaan tahajud berniat mengikuti imam sampai selesai, maka dia berdiri ketika imam bersalam lalu menambah satu rakaat; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Siapa yang melakukan salat tarawih bersama imam hingga imam selesai, Allah tuliskan baginya pahala salat satu malam." (Disahihkan oleh Tirmizi).
Disunahkan menghafal Al-Qur`ān sesuai ijmak, dan membacanya lebih utama dari semua zikir lainnya. Seseorang diwajibkan menghafal yang wajib dibaca dalam salat. Orang tua/wali hendaknya mengajarkan anaknya mulai dari Al-Qur`ān sebelum ilmu yang lain, kecuali kalau sulit.
Dianjurkan untuk mengkhatamkan Al-Qur`ān setiap minggu, dan kurang dari itu sesekali. Dan diharamkan menundanya jika dikhawatirkan lupa. Dia hendaknya membaca taawuz sebelum membaca, dan berusaha ikhlas serta mengusir perusak-perusaknya. Juga hendaknya mengkhatamkan Al-Qur`ān pada musim dingin di awal malam dan pada musim panas di awal siang. Ṭalḥah bin Muṣarrif berkata, "Aku menemukan orang-orang baik dari umat ini menganjurkan hal itu. Mereka mengatakan, 'Bila khatam di awal siang maka malaikat akan mendoakannya hingga petang, dan bila khatam di awal malam maka malaikat akan mendoakannya hingga pagi.'" (HR. Ad-Dārimiy dari Sa'ad bin Abi Waqqāṣ dengan sanad hasan).
Dianjurkan agar membaguskan bacaan Al-Qur`ān serta membacanya dengan tartil, membaca dengan khusyuk dan tadabur, memohon kepada Allah Ta'ālā ketika membaca ayat rahmat dan berlindung kepada-Nya ketika membaca ayat tentang siksa, dan tidak mengeraskan bacaan di tengah-tengah orang yang sedang salat, tidur, atau membaca Al-Qur`ān hingga sampai mengganggu mereka.
Boleh membaca Al-Qur`ān sambil berdiri, duduk, berbaring, berkendara, dan berjalan. Juga tidak makruh hukumnya membaca Al-Qur`ān di jalan ataupun dalam keadaan hadas kecil. Makruh hukumnya membaca di tempat-tempat yang kotor.
Dianjurkan berkumpul untuk membaca Al-Qur`ān dan mendengarkan orang yang membacanya. Tidak boleh berbicara di dekat orang yang membaca Al-Qur`ān dengan pembicaraan yang tidak bermanfaat.
Imam Ahmad memakruhkan bacaan yang cepat. Ahmad juga membenci bacaan secara laḥn, yaitu bacaan menyerupai nyanyian. Dan tidak makruh hukumnya membaca dengan tarjī' (lebih tinggi dari tartil). Siapa yang menafsirkan Al-Qur`ān dengan logikanya tanpa dasar ilmu, silakan mengambil tempat di neraka, dan dia telah salah jalan walaupun benar.
Orang yang berhadas tidak boleh memegang mushaf. Dia boleh membawanya dengan gantungan, atau di dalam kantung barang dan dengan lapis lengan tangan. Dia boleh membuka lembarannya dengan lidi dan semisalnya. Dia juga boleh menyentuh buku tafsir dan buku-buku lainnya yang mengandung ayat Al-Qur`ān. Orang yang berhadas boleh menulis Al-Qur`ān tanpa menyentuhnya.
Diperbolehkan mengambil upah dari menyalin Al-Qur`ān. Juga diperbolehkan melapisinya dengan sutra. Al-Qur`ān tidak boleh dibelakangi atau menjulurkan kaki ke arahnya dan hal-hal lain yang mengandung tindakan tidak menjunjung dan mengagungkan Al-Qur`ān. Makruh hukumnya menghias Al-Qur`ān dengan emas atau perak, menuliskan tanda pembagian-pembagian Al-Qur`ān, nama surah, jumlah ayat, dan lainnya yang tidak pernah ada di zaman sahabat.
Haram hukumnya menulis Al-Qur`ān atau apa saja yang mengandung nama Allah dengan sesuatu yang tidak suci. Jika ada yang ditulis dengan itu atau ditulis di atasnya maka wajib dicuci. Bila mushaf telah lapuk atau rusak maka ia harus ditanam karena Uṡmān raḍiyallāhu 'anhu menanam mushaf-mushaf itu di antara kubur Nabi dan mimbar.
Dianjurkan mengerjakan salat sunah muṭlaq di semua waktu kecuali di waktu-waktu terlarang. Salat malam lebih dianjurkan dan lebih utama daripada salat sunah di waktu siang. Salat malam setelah tidur lebih diutamakan karena istilah nāsyi`ah tidak berlaku kecuali setelah tidur.
Dianjurkan berzikir kepada Allah Ta'ālā ketika bangun tidur dan membaca zikir-zikir yang ada dalam Sunnah, di antaranya: "Lā ilāha illallāhu waḥdahū lā syarīka lah, lahul-mulku wa lahul-ḥamdu, wa huwa 'alā kulli syai`in qadīr. Alḥamdulillāh wa subḥānallāh wa lā ilāha illallāh wallāhu akbar, wa lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh. (Tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Hanya milik-Nya semua kerajaan dan hanya milik-Nya semua pujian, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Segala puji milik Allah, aku menyucikan Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)."
Kemudian jika dia mengucapkan, "Allāhumma igfir lī. (Ya Allah! Ampunilah aku)", atau dia berdoa maka doanya akan dikabulkan. Bila dia mengerjakan wudu dan salat maka salatnya pasti diterima.
Kemudian membaca zikir, "Al-ḥamdu lillāh al-lażī aḥyānī ba'da mā amātanī wa ilahin-nusyūr, lā ilāha illā anta waḥdaka, lā syarīka laka, subḥānaka astagfiruka li żanbī wa as`aluka raḥmataka. Allāhumma zidnī 'ilman wa lā tuzig qalbī ba'da iż hadaitanī wa hab lī min ladunka raḥmatan innaka antal-wahhāb. Al-ḥamdu lillāhil-lażī radda 'alayya rūḥī wa 'āfānī fī jasadī wa ażina lī biżikrihi. (Segala puji milik Allah yang telah menghidupkanku kembali setelah mematikanku. Hanya kepada-Nya kebangkitan. Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau semata, tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku menyucikan-Mu. Aku memohon ampunan kepada-Mu dari dosaku. Aku memohon kepada-Mu rahmat-Mu. Ya Allah! Berikan tambahan ilmu kepadaku dan jangan sesatkan hatiku setelah Engkau menunjukiku. Berikanlah kepadaku rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi. Segala puji bagi Allah yang masih mengembalikan ruhku dan memberikan keafiatan pada badanku serta memperkenankanku untuk berzikir kepada-Nya)."
Setelah itu dia bersiwak. Bila dia mengerjakan salat malam, dia boleh membaca doa iftitāḥ seperti doa iftitāḥ dalam salat fardu bila mau. Atau dengan yang lainnya bila mau, misalnya: “Allāhumma lakal-ḥamdu anta nūrus-samāwāti wal-arḍi wa man fīhinna, wa lakal-ḥamdu anta qayyūmus-samāwāti wal-arḍi wa man fīhinna, wa lakal-ḥamdu anta malikus-samāwāti wal-arḍi wa man fīhinna, wa lakal-ḥamdu antal-ḥaqq, wa wa'dukal-ḥaqq, wa qaulukal-ḥaqq, wa liqā`ukal-ḥaqq, wal-jannatu ḥaqq, wan-nāru ḥaqq, wan-nabiyyūna ḥaqq, was-sā'atu ḥaqq. Allāhumma laka aslamtu, wa bika āmantu, wa 'alaika tawakkaltu, wa ilaika anabtu, wa bika khāṣamtu, wa ilaika ḥākamtu, fa-gfir lī mā qaddamtu wa mā akhkhartu wa mā asrartu wa mā a'lantu wa mā anta a'lamu bihī minni, antal-muqaddimu wa antal-mu`akhkhiru, lā ilāha illā anta, wa lā quwwata illā bika. (Ya Allah! Hanya milik-Mu segala pujian. Engkau adalah cahaya bagi langit dan bumi serta semua yang ada padanya. Hanya milik-Mu segala pujian. Engkau yang mengurus langit dan bumi serta semua yang ada padanya. Hanya milik-Mu semua pujian. Engkau pemilik langit dan bumi serta semua yang ada padanya. Hanya milik-Mu segala pujian. Engkaulah Al-Ḥaqq (Mahabenar). Hanya janji-Mu yang benar. Hanya firman-Mu yang benar. Pertemuan dengan-Mu benar ada. Surga itu benar ada, neraka itu benar ada, para nabi itu benar ada, dan hari Kiamat itu benar ada. Ya Allah! Hanya kepada-Mu aku berserah diri. Hanya kepada-Mu aku beriman. Hanya kepada-Mu aku bertawakal. Hanya kepada-Mu aku kembali. Hanya kepada-Mu aku mengadu. Dan hanya kepada-Mu aku berhukum. Maka ampunilah dosa-dosaku yang telah aku lakukan maupun yang belum aku lakukan, yang aku sembunyikan maupun yang aku tampakkan, dan yang Engkau lebih mengetahuinya daripada diriku. Engkaulah Al-Muqaddim dan Al-Mu`akhkhir. Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan-Mu).”
Bila mau, dia boleh membaca, "Allāhumma rabba jibrīl wa mikā`īl wa isrāfīl, fāṭiras-samāwāti wal-arḍi, 'ālimal-gaibi wasy-syahādah, anta taḥkumu baina 'ibādika fīmā kānū fīhi yakhtalifūn, ihdinī limā ukhtulifa fīhi minal-ḥaqq bi iżnika, innaka tahdī man tasyā`u ilā ṣirātim-mustaqīm. (Ya Allah! Tuhan Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui perkara gaib dan yang tampak. Engkaulah yang menetapkan keputusan pada apa yang diperselisihkan di antara hamba-Mu. Tunjukkanlah aku kepada kebenaran yang diperselisihkan (manusia) dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus)."
Disunahkan agar memulai salat tahajud dengan dua rakaat ringan dan agar seseorang memiliki salat sunah yang dia rutinkan dan dia kada bila terlewatkan.
Dianjurkan untuk membaca zikir-zikir yang ada dalam Sunnah ketika pagi dan petang, ketika tidur dan bangun, ketika masuk dan keluar rumah, dan lain sebagainya.
Mengerjakan salat sunah di rumah lebih utama, begitu juga membaca dengan pelan dalam salat yang tidak diperintahkan secara berjamaah. Tidak mengapa mengerjakan salat sunah secara berjamaah selama tidak dijadikan sebagai kebiasaan.
Dianjurkan untuk memperbanyak istigfar ketika akhir malam. Siapa yang terlewatkan dari rutinitas tahajudnya, dia boleh mengadanya sebelum zuhur. Tidak diperbolehkan salat sunah dalam keadaan berbaring.
Mengerjakan salat Duha sunah hukumnya. Waktunya dimulai dari setelah selesai waktu larangan salat hingga sebelum waktu zawal. Mengerjakannya ketika panas telah menyengat lebih utama. Ia berjumlah dua rakaat, dan bagus lagi bila ditambah.
Disunahkan mengerjakan salat istikharah ketika merencanakan suatu urusan; yaitu mengerjakan salat dua rakaat selain salat fardu. Setelah itu berdoa, "Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu supaya diberikan pilihan yang terbaik, karena Engkau Maha Mengetahui. Dan aku memohon kepada-Mu diberikan kemampuan, karena Engkau Mahakuasa. Aku memohon kepada-Mu sebagian dari karunia-Mu yang besar. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedang aku tidak mampu, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha mengetahui yang gaib. Ya Allah! Jika Engkau mengetahui perkara ini -dia menyebutkan langsung perkara itu- lebih baik bagiku dalam agama dan duniaku dan dalam kehidupanku dan akhiratku (urusan dunia dan akhiratku), maka tetapkanlah ia untukku dan mudahkanlah, kemudian berkahilah ia untukku. Jika Engkau mengetahui perkara ini buruk bagiku dalam agama dan duniaku dan dalam kehidupanku dan akhiratku, maka palingkanlah ia dariku dan palingkan aku darinya, dan tetapkanlah untukku yang lebih baik di mana pun berada, kemudian buatlah aku rida kepadanya." Setelah itu dia melakukan konsultasi. Istikharah tidak dilakukan ketika dia telah bertekad untuk mengerjakan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
Dianjurkan mengerjakan salat Tahiyat Masjid, salat sunah wudu, dan menghidupkan antara Magrib dan Isya (dengan salat).
Sujud tilawah hukumnya sunah muakadah, tidak wajib; bedasarkan perkataan Umar, "Siapa yang melakukan sujud, perbuatannya tepat, dan siapa yang tidak melakukan sujud tidak berdosa." (HR. Malik dalam Al-Muwaṭṭa`). Sujud tilawah ini juga dianjurkan bagi orang yang menyimak (bacaan ayat-ayat sajdah). Orang yang sedang berkendara melakukan sujud dengan berisyarat ke arah tujuan kendaraannya. Sedangkan orang yang sedang berjalan, dia bersujud di tanah dengan menghadap ke arah kiblat. Orang yang hanya mendengar (bacaan ayat sajdah) tidak mengerjakan sujud tilawah; berdasarkan riwayat dari para sahabat. Ibnu Mas'ūd berkata kepada seorang remaja yang membaca Al-Qur`ān, "Sujudlah. Karena engkau imam kami."
Juga dianjurkan melakukan sujud syukur ketika ada nikmat baru yang besar pada perkara umum atau perkara yang khusus untuknya.
Ketika seseorang melihat orang lain mendapat musibah dalam agama atau badannya maka dia dianjurkan untuk mengucapkan, "Al-ḥamdu lillāh al-lażī 'āfānī mimmā ibtalāka bihi wa faḍḍalanī 'alā kaṡīrin mimman khalaqa tafḍīlā. (Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari ujian yang Dia timpakan kepadamu serta telah melebihkanku di atas banyak makhluk ciptaan-Nya)."
Waktu-waktu larangan ada lima:
- setelah salat Subuh hingga matahari terbit;
- setelah matahari terbit hingga naik seukuran satu tombak;
- ketika matahari tegak di atas hingga tergelincir;
- setelah salat Asar hingga matahari menjelang tenggelam;
- dan setelah itu hingga benar-benar tenggelam.
Pada waktu-waktu ini, diperbolehkan mengada salat fardu, menunaikan nazar, mengerjakan salat sunah dua rakaat tawaf, dan mengulang salat berjamaah jika salat ditegakkan sementara dia ada di masjid. Khusus salat jenazah boleh dilakukan di dua waktu larangan yang panjang.
Salat berjamaah minimal dilakukan oleh dua orang kecuali pada salat Jumat dan Id. Salat berjamaah hukumnya fardu ain ketika di negeri sendiri dan ketika perjalanan, bahkan ketika takut. Allah Ta'ālā berfirman, "Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama-sama mereka ..." (QS. An-Nisā`: 102).
Salat berjamaah lebih utama 27 derajat dari salat sendiri. Salat berjamaah dikerjakan di masjid. Masjid yang lebih tua lebih utama, begitu juga masjid yang lebih banyak jemaahnya dan yang lebih jauh.
Seseorang tidak boleh menjadi imam di sebuah masjid mendahului imam tetapnya, kecuali dengan seizinnya. Kecuali bila imam terlambat maka hal itu tidak dimakruhkan; berdasarkan perbuatan Abu Bakar dan Abdurrahman bin 'Auf.
Tidak boleh memulai salat sunah bila salat berjamaah telah diikamahkan. Bila salat berjamaah diikamahkan sementara dia sedang mengerjakan salat sunah, maka dia harus segera menyelesaikannya dengan ringkas.
Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, berarti dia telah mendapatkan salat jamaah tersebut. Dan sebuah rakaat akan didapatkan dengan mendapatkan rukuk bersama imam. Takbīrātul-iḥrām dapat mewakili dan menggugurkan kewajiban takbir rukuk, berdasarkan perbuatan Zaid bin Ṡābit dan Ibnu Umar, sementara tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi mereka. Tetapi tetap mengerjakan keduanya lebih utama supaya keluar dari menyelisihi pendapat yang mewajibkannya.
Bila dia mendapatkan imam setelah rukuk berarti dia tidak mendapatkan rakaat tersebut, dan kewajibannya untuk mengikuti imam serta dianjurkan langsung ikut bersamanya berdasarkan hadis tersebut.
Orang yang masbuk tidak boleh berdiri menyempurnakan keterlambatannya kecuali setelah imam mengucapkan salam yang kedua.
Bila dia mendapatkan imam dalam sujud sahwi setelah salam, maka dia tidak ikut masuk bersama imam.
Bila dia tertinggal salat jamaah, dianjurkan agar ada yang mau salat bersamanya; berdasarkan saba Nabi ﷺ, "Siapakah yang mau bersedekah kepada orang ini dengan melakukan salat (berjamaah) bersamanya."
Makmum tidak wajib membaca Al-Fātiḥah, berdasarkan firman Allat Ta'ālā, "Dan apabila dibacakan Al-Qur’ān, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A'rāf: 204). Ahmad berkata, "Semua ulama berijmak bahwa ayat ini berbicara tentang mendengarkan Al-Qur`ān di dalam salat."
Makmum dianjurkan untuk membacanya ketika imam tidak mengeraskan bacaan. Mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan tabiin berpendapat agar makmum membacanya ketika imam membaca dengan pelan sebagai bentuk menghindari ikhtilaf dengan orang yang mewajibkannya. Tetapi kita tidak membacanya ketika imam membaca dengan keras berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Makmum harus segera mengerjakan gerakan-gerakan salat setelah imam secara langsung, tanpa menunggu sampai imam selesai. Makruh hukumnya bila makmum melakukan gerakan bersamaan dengan imam, dan haram hukumnya bila mendahului imam.
Bila makmum melakukan rukuk atau sujud sebelum imam karena tidak sengaja maka dia harus kembali supaya ia melakukannya setelah imam. Bila tidak dia kerjakan, padahal dia tahu dan dengan sengaja, maka salatnya batal.
Bila ia terlambat dari imam satu rukun tanpa uzur, hukumnya sama dengan mendahului imam. Tetapi bila karena sebuah uzur seperti tertidur atau lalai, atau karena imam terlalu cepat maka ia harus mengerjakannya lalu segera menyusul imam.
Bila makmum terlambat satu rakaat karena uzur maka ia harus mengikuti imam di sisa salatnya lalu mengganti rakaat tersebut setelah salam imam.
Dianjurkan kepada imam bila ada suatu kejadian yang menuntut makmum keluar membatalkan salat supaya ia meringankan salatnya. Tetapi dimakruhkan untuk terlalu cepat dengan kecepatan yang akan menghalangi seorang makmum dari mengerjakan apa yang disunahkan.
Dianjurkan untuk memanjangkan bacaan di rakaat pertama agar lebih panjang dari rakaat kedua. Juga dianjurkan kepada imam supaya menunggu orang yang baru masuk supaya ia bisa mendapatkan rakaat tersebut selama tidak memberatkan makmum lain.
Orang yang paling pantas menjadi imam ialah yang paling banyak dan bagus hafalan Al-Qur`ān-nya. Adapun hal Nabi ﷺ mendahulukan Abu Bakar padahal ada sahabat lain yang lebih banyak dan bagus hafalannya seperti Ubay bin Ka'ab dan Mu'āż, maka telah dijelaskan oleh Imam Ahmad bahwa hal itu beliau lakukan agar mereka paham bahwa Abu Bakar lebih didahulukan dalam kepemimpinan yang paling besar (sebagai khalifah). Yang lain menyatakan, bahwa alasan beliau mendahulukan Abu Bakar padahal ada sabda beliau, "Yang berhak mengimami suatu kaum adalah orang yang paling bagus hafalan Al-Qur`ān-nya; jika mereka setara dalam hafalan Al-Qur`ān, maka yang paling berilmu tentang Sunnah," adalah agar dapat diketahui bahwa Abu Bakar adalah yang paling bagus hafalan dan ilmu Al-Qur`ān-nya di antara mereka, karena mereka tidak melewati sebagian Al-Qur`ān hingga mereka mempelajari makna dan pengamalannya; sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas'ūd, "Seseorang di antara kami dahulu, bila mempelajari sepuluh ayat Al-Qur`ān, ia tidak akan melewatinya hingga mempelajari makna dan pengamalannya."
Muslim juga meriwayatkan dari Abu Mas'ūd Al-Badriy, bahwa Nabi ﷺ bersabda, "Yang berhak mengimami suatu kaum adalah orang yang paling bagus bacaan Al-Qur`ān-nya. Jika mereka setara dalam bacaan (hafalan), maka dipilih yang paling menguasai (mengerti) Sunnah. Jika dalam penguasaan Sunnah sama, maka yang dipilih adalah yang paling dahulu hijrah (ke Madinah). Jika dalam hal hijrah sama, maka dipilih yang lebih tua umurnya. Jangan sekali-kali seseorang mengimami orang lain di tempat kekuasaannya dan tidak duduk di tempat khususnya kecuali dengan izinnya."
Dan dalam Aṣ-Ṣaḥīḥain: "Hendaklah yang mengimami kalian yang paling tua." Di sebagian redaksi Abu Mas'ūd disebutkan: "Jika mereka setara dalam hijrah, maka yang paling lebih dulu masuk Islam."
Tidak boleh salat di belakang orang yang meminta upah dengan menjadi imam. Abu Daud berkata, "Imam Ahmad pernah ditanya tentang imam yang mengatakan: saya menjadi imam salat kalian di bulan Ramadan dengan upah sekian dan sekian, beliau menjawab, 'Aku mohon keselamatan kepada Allah. Siapa yang mau salat di belakang orang ini?!'"
Orang yang tidak bisa berdiri jangan dijadikan sebagai imam. Kecuali imam sebuah perkampungan, yaitu semua imam ratib, bila ia mengalami sakit maka mereka salat di belakangnya dengan cara duduk.
Bila imam salat dalam keadaan hadas atau membawa najis, tetapi ia tidak mengetahuinya kecuali setelah selesai salat, maka orang-orang yang mengerjakan salat di belakangnya tidak perlu mengulang salat. Yang mengulang salat hanya imam sendiri pada saat hadas.
Makruh hukumnya seseorang menjadi imam bagi suatu kaum sementara kebanyakan mereka membencinya dengan seBAB : yang benar. Sah salat orang yang berwudu di belakang imam yang bertayamum.
Disunahkan agar makmum berdiri di belakang imam; berdasarkan hadis Jābir dan Jabbār ketika mereka berdiri di samping kanan dan kiri Nabi ﷺ, maka beliau mengambil tangan keduanya lalu mendorong mereka agar berdiri di belakang beliau. (HR. Muslim).
Adapun salat Ibnu Mas'ūd bersama 'Alqamah dan Al-Aswad dan dia berdiri di antara mereka berdua, telah dijawab oleh Ibnu Sīrīn bahwa hal itu karena tempatnya sempit.
Bila makmum satu orang maka dia berdiri di sebelah kanan imam. Bila ia berdiri di sebelah kiri, maka imam memutarnya ke kanan dan takbīratul-iḥrāmnya tidak batal.
Bila ia mengimami satu orang laki-laki dan satu orang perempuan, maka makmum laki-laki di samping kanannya dan makmum perempuan di belakangnya; berdasarkan hadis Anas yang diriwayatkan oleh Muslim.
Dekatnya saf makmum dari imam lebih diutamakan. Demikian juga di antara saf makmum satu sama lain. Termasuk berdirinya imam di tengah-tengah saf; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Jadikanlah imam berada di tengah-tengah kalian dan tutuplah celah-celah saf."
Anak kecil (yang telah mencapai usia tamyiz) sah berdiri dalam saf; berdasarkan perkataan Anas raḍiyallāhu 'anhu, "Aku dan anak kecil itu bersaf di belakang Nabi ﷺ, sedangkan nenekku di belakang kami."
Bila makmum berdiri sendiri di belakang saf maka salatnya tidak sah. Bila makmum dapat melihat imam atau melihat orang yang di belakang imam, salatnya sah sekalipun saf-saf tidak terhubung. Demikian juga sekiranya dia tidak melihat salah satunya bila dia masih dapat mendengar takbir, karena masih dimungkinkan mengikuti imam dengan mendengar takbir, persis seperti apabila dia melihatnya. Bila mereka dipisahkan oleh jalan dan saf terputus maka salat tersebut tidak sah. Sedangkan Al-Muwaffaq Ibnu Qudāmah dan lainnya memilih pendapat bahwa hal itu tidak menghalangi sahnya bermakmum karena tidak ada nas dan ijmak terkait itu.
Makruh hukumnya bila tempat imam lebih tinggi dari makmum. Ibnu Mas'ūd pernah berkata kepada Ḥużaifah, "Bukankah engkau mengetahui bahwa dahulu para sahabat melarang hal itu?" Dia menjawab, "Benar." (HR. Asy-Syāfi'i yang semua perawi sanadnya ṡiqah). Tetapi tidak mengapa bila lebih tinggi sedikit seukuran tangga mimbar; berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Sahl: "bahwasanya Rasulullah ﷺ mengerjakan salat di atas mimbar, kemudian beliau turun dengan cara mundur dan bersujud di tanah."
Dan tidak mengapa bila tempat makmum lebih tinggi, karena Abu Hurairah raḍiyallāhu 'anhu pernah mengerjakan salat di bagian atas masjid dengan mengikuti salat imam. (HR. Asy-Syāfi'i).
Makruh hukumnya imam mengerjakan salat sunah di tempat melaksanakan salat fardu setelahnya; berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Mugīrah secara marfū' dalam riwayat Abu Daud. Tetapi Imam Ahmad berkata, "Aku tidak mengetahuinya dari selain Ali."
Makmun tidak boleh bersalam sebelum imam; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Janganlah kalian mendahuluiku dalam rukuk, sujud, maupun salam."
Makruh hukumnya bagi selain imam untuk mengkhususkan tempat salat di dalam masjid, yaitu dia tidak mengerjakan salat fardu kecuali pada tempat tersebut; berdasarkan larangan Nabi ﷺ dari perbuatan mengkhususkan tempat salat seperti unta mengkhususkan tempat tidur.
Diperbolehkan (diberikan uzur) untuk tidak menghadiri salat Jumat dan salat berjamaah bagi orang sakit dan orang yang takut kehilangan hartanya atau apa saja yang dijaga, karena kesulitan yang ditimbulkannya lebih banyak daripada basahnya pakaian karena hujan yang merupakan uzur menurut kesepakatan; berdasarkan perkataan Ibnu Umar, "Muazin Rasulullah ﷺ biasa mengumandangkan, 'Ṣallū fī riḥālikum (salatlah di tempat kalian)', ketika malam yang dingin atau berhujan dalam perjalanan." (HR. Bukhari dan Muslim).
Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan, bahwasanya Ibnu 'Abbās memerintahkan muazinnya ketika turun hujan pada hari Jumat, "Jika engkau telah mengumandangkan, 'Asyhadu anna Muḥammadar-Rasūlullāh', maka jangan dilanjutkan dengan, 'Ḥayya 'alaṣ-ṣalāh'. Tetapi serukanlah, 'Ṣallū fī buyūtikum (Salatlah di rumah kalian)'." Namun tampaknya orang-orang mengingkari hal itu, maka Ibnu 'Abbās pun berkata, "Yang demikian itu telah dikerjakan oleh orang yang lebih baik dariku -yakni Rasulullah ﷺ. Sesungguhnya aku tidak mau meminta kalian keluar berjalan di lumpur dan licin."
Makruh hukumnya datang ke masjid bagi orang yang telah makan bawang merah atau putih sekalipun di masjid tidak ada orang, karena malaikat terganggu juga dengannya.
Orang yang sakit diwajibkan salat dengan berdiri dalam salat fardu; berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh 'Imrān: "Salatlah kamu sambil berdiri. Jika tidak mampu, salatlah sambil duduk. Jika tidak mampu, salatlah sambil berbaring." (HR. Bukhari). Ditambahkan dalam riwayat An-Nasā`i: "Jika tidak mampu, salatlah sambil telentang." Kemudian ia berisyarat ketika rukuk dan sujud semampunya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, “Apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian.”
Sah hukumnya mengerjakan salat fardu di atas kendaraan, baik dengan berhenti atau sambil berjalan ketika khawatir terkena kotoran oleh lumpur atau hujan; berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ya'lā bin Umayyah, yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan dia berkata, "Seperti inilah yang diamalkan oleh para ulama."
Seorang musafir diperkenankan untuk mengqasar khusus salat yang empat rakaat, juga diperbolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadan. Bila ia mengerjakan salat di belakang imam yang mengerjakan salat sempurna, maka ia wajib mengerjakan salat sempurna.
Bila ia tinggal untuk menyelesaikan suatu keperluan tanpa niat menetap dan ia tidak tahu kapan keperluan tersebut akan selesai, atau karena ia tertahan oleh hujan atau sakit, maka selama itu ia boleh mengerjakan salat secara qasar. Hukum yang terkait safar (perjalanan jauh) ada empat: qasar, jamak, mengusap (khuf dan sejenisnya), dan tidak berpuasa.
Musafir boleh menjamak antara salat Zuhur dan Asar, juga antara salat Magrib dan Isya di waktu salah satunya, tetapi meninggalkannya lebih diutamakan, kecuali menjamak salat di Arafah dan Muzdalifah pada musim haji.
Jamak juga diperbolehkan bagi orang sakit yang mengalami kesulitan jika salat setiap waktu, karena Nabi ﷺ pernah mengerjakan salat jamak tanpa ada seBAB : takut ataupun safar. Juga berdasarkan hadis, wanita yang istihadah boleh menjamak salat. Istihadah adalah salah satu jenis penyakit. Imam Ahmad beralasan bahwa kesulitan akibat sakit lebih berat daripada safar. Imam Ahmad juga berpendapat diperbolehkannya jamak ketika di negeri sendiri (tidak musafir) ketika ada kondisi darurat atau kesibukan.
Imam Ahmad berkata, "Telah sah di dalam hadis bahwa Nabi ﷺ mengerjakan salat khauf sebanyak enam atau tujuh cara, semuanya boleh. Adapun hadis Sahl, maka aku memilihnya." Yaitu tata cara salat khauf ketika Perang Żātur-Riqā': "Sekelompok pasukan berdiri bersama Nabi ﷺ, sedangkan sebagian yang lain berdiri menghadap musuh. Kemudian beliau mengerjakan salat bersama kelompok yang sedang bersama beliau satu rakaat, selanjutnya beliau tetap diam berdiri sedangkan mereka menyelesaikan salat mereka sendiri, kemudian mereka salam dan berdiri menghadap musuh. Kemudian sebagian yang lainnya datang dan Nabi mengerjakan salat bersama mereka satu rakaat yang tersisa, selanjutnya beliau tetap diam duduk sedangkan mereka menyempurnakan salat mereka sendiri, kemudian Nabi bersalam bersama mereka." (Muttafaq 'Alaih).
Imam juga diperbolehkan salat bersama masing-masing kelompok dan bersalam bersama mereka. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasā`i).
Dianjurkan untuk tetap membawa senjata dalam salat khauf; berdasarkan firman Allah Ta'ālā, "... dan hendaklah mereka menyandang senjata mereka." Seandainya ada yang berpendapat wajib, tentu hal itu bisa diterima; berdasarkan firman Allah Ta'ālā, "Dan tidak mengapa kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu sakit." (QS. An-Nisā`: 102).
Ketika rasa takut tinggi, mereka boleh melakukan salat sambil berjalan dan berkendara, baik menghadap kiblat ataupun tidak; berdasarkan firman Allah Ta'ālā, "Jika kamu takut (ada bahaya), salatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan." (QS. Al-Baqarah: 239). Dan mereka berisyarat sesuai kemampuan dengan menjadikan sujud lebih rendah dari rukuk. Dan salat berjamaah tidak boleh dilakukan jika tidak memungkinkan untuk mengikuti imam.
Salat Jumat hukumnya fardu ain bagi setiap muslim, balig, berakal, laki-laki, merdeka, bertempat tinggal tetap, dan tergabung dalam satu nama (kawasan). Siapa yang menghadirinya padahal dia tidak termasuk yang wajib melaksanakannya, maka salatnya itu sah. Bila dia mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia menyempurnakannya dua rakaat sebagai salat Jumat. Tetapi jika tidak, maka dia menyempurnakannya empat rakaat sebagai salat Zuhur.
Salat Jumat harus didahului oleh dua khotbah yang berisi pujian kepada Allah, dua kalimat syahadat, dan wasiat yang menggerakkan hati. Juga disebut khotbah (bentuk tunggal).
Imam berkhotbah di atas mimbar atau tempat yang tinggi. Imam memberi salam kepada makmum ketika pertama kali masuk dan ketika telah menghadap makmum. Setelah itu, dia duduk hingga azan selesai; berdasarkan hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Kemudian dia duduk sebentar di antara dua khotbah; berdasarkan hadis yang terdapat dalam Aṣ-Ṣaḥīḥain yang diriwayatkan oleh Umar. Imam berkhotbah dengan berdiri; berdasarkan perbuatan Nabi ﷺ. Ia hendaknya menghadap ke depan dan meringkas khotbahnya.
Salat Jumat dikerjakan sebanyak dua rakaat dengan mengeraskan bacaan. Pada rakaat pertama membaca Surah Al-Jumu'ah dan pada rakaat kedua Surah Al-Munāfiqūn, atau Surah Sabbiḥ (Al-A'lā) dan Al-Gāsyiyah. Masing-masing telah disebutkan dalam hadis yang sahih.
Pada salat Subuh di hari Jumat hendaknya membaca Surah Alif Lām Mīm As-Sajdah dan Surah Al-Insān, tetapi makruh bila dilakukan terus-menerus.
Bila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka salat Jumat gugur bagi orang yang hadir dalam salat hari raya, kecuali imam, salat Jumat tidak gugur darinya.
Salat sunah bakda Jumat sebanyak dua atau empat rakaat. Tidak ada salat sunah qabliyah-nya, tetapi dianjurkan untuk melakukan salat sunah muṭlaq sesukanya.
Juga disunahkan sebelum menuju salat Jumat untuk mandi, bersiwak, memakai minyak wangi, dan memakai pakaian yang paling bagus serta berangkat dengan segera dan berjalan kaki.
Jika azan kedua sudah dikumandangkan, maka wajib hukumnya untuk segera berangkat pergi melaksanakan salat Jumat dengan tenang dan khusyuk, lalu duduk mendekat kepada imam.
Dianjurkan untuk memperbanyak doa pada hari itu dengan harapan akan bertepatan dengan waktu dikabulkannya doa.
Dan waktu yang paling diharapkan adalah saat-saat terakhir setelah Asar, dan bila dia telah bersuci sambil menunggu salat Magrib, karena dia dianggap berada dalam salat.
Juga dianjurkan agar memperbanyak selawat kepada Nabi ﷺ pada siang dan malam hari Jumat.
Makruh hukumnya melangkahi pundak-pundak orang, kecuali dia melihat ada tempat kosong dan tidak bisa sampai ke sana kecuali dengan seperti itu.
Tidak diperbolehkan memerintahkan orang lain bangun atau berdiri lalu dia duduk di tempatnya, sekalipun itu budak ataupun anaknya.
Orang yang datang ke masijd ketika imam sedang berkhotbah, ia tidak boleh duduk hingga melaksanakan salat sunah dua rakaat secara ringan.
Tidak boleh berbicara dan berbuat sia-sia ketika imam sedang berkhotbah; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Barang siapa yang mengusap kerikil maka ia telah berbuat sia-sia." (Disahihkan oleh Tirmizi).
Siapa yang merasakan kantuk hendaklah berpindah tempat sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadis yang disahihkan oleh Tirmizi.
Jika hari raya tidak diketahui kecuali setelah waktu zawal (tengah hari), maka imam keluar keesokan harinya dan salat Id bersama manusia.
Dianjurkan menyegerakan salat Idul Adha dan mengakhirkan salat Idul Fitri. Juga dianjurkan pada Idul Fitri agar makan beberapa butir kurma dengan bilangan yang ganjil sebelum keluar menuju lapangan. Sedangkan dalam Idul Adha seseorang hendaknya tidak makan kecuali setelah salat.
Bila dia pergi melalui sebuah jalan, maka dia pulang melalui jalan yang lain. Salat Id dianjurkan agar dilaksanakan di lapangan terdekat sebanyak dua rakaat.
Salatnya dimulai dengan takbīratul-iḥrām kemudian bertakbir enam takbir dan lima takbir di rakaat kedua dengan mengangkat tangan di setiap takbir. Di dua rakaat itu ia membaca Surah Sabbiḥ (Al-A'lā) dan Al-Gāsyiyah. Bila salat telah selesai, imam lalu berkhotbah. Salat Id tidak memiliki salat sunah qabliyah dan ba'diyah.
Disunahkan agar penduduk kota dan perkampungan melakukan takbir pada dua hari raya dan mengeraskannya di masjid-masjid dan di jalan-jalan. Dan lebih ditekankan lagi di malam hari raya dan ketika keluar menuju lapangan.
Dalam Idul Adha takbir muṭlaq (waktunya tidak ditentukan) dimulai dari awal sepuluh Zulhijah, sedangkan takbir muqayyad (waktunya setelah salat fardu) dimulai dari salat Subuh di hari Arafah hingga Asar terakhir hari tasyrik.
Dianjurkan agar bersungguh-sungguh mengerjakan amal saleh pada sepuluh hari pertama Zulhijah.
Waktu salat gerhana dimulai sejak terjadi gerhana hingga gerhana selesai. Salat gerhana hukumnya sunah muakadah, baik ketika bermukim ataupun bersafar, bahkan ia juga disunahkan bagi perempuan.
Pada saat gerhana dianjurkan agar berzikir kepada Allah, berdoa dan beristigfar, memerdekakan budak, dan bersedekah. Kemudian jika salat telah selesai dikerjakan sementara gerhana belum selesai, maka salat gerhana tidak perlu diulang, tetapi mereka melanjutkan zikir dan istigfar kepada Allah hingga gerhana selesai.
Panggilan untuk mengerjakan salat gerhana adalah "Aṣ-ṣalātu jāmi'ah". Salat gerhana dikerjakan sebanyak dua rakaat dengan mengeraskan bacaan dan memperpanjang bacaan surah, rukuk, dan sujud. Setiap satu rakaat terdiri dari dua rukuk. Tetapi rakaat kedua lebih pendek dari rakaat pertama. Setelah itu melakukan tasyahud dan salam.
Bila ternyata gerhana sudah selesai, maka salat diselesaikan dengan ringkas; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Maka salatlah dan berdoalah sampai gerhana yang menimpa kalian selesai."
Salat istisqā` (istiska) hukumnya sunah muakadah, baik ketika bermukim ataupun bersafar. Tata cara pelaksanaannya seperti salat hari raya. Dianjurkan agar dilaksanakan di awal pagi dan keluar dengan khusyuk, merendahkan diri, dan berdoa; berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbās yang disahihkan oleh Tirmizi.
Imam mengimami salat para makmum, kemudian berkhotbah satu khotbah dengan memperbanyak istigfar dan doa dengan mengangkat tangan. Dia berdoa dengan doa berikut:
Allāhumma isqinā gaiṡan mugīṡan hanī`an marī`an gadaqan mujallalan saḥḥan 'āmman ṭabaqan dā`iman nāfi'an gaira ḍārrin 'ājilan gaira ājil.
Allāhumma asqi 'ibādaka wa bahā`imaka wa-nsyur raḥmataka wa aḥyī baladakal-mayyit, allāhumma asqinal-gaiṡa wa lā taj'alnā minal-qāniṭīn, allāhumma suqyā raḥmah wa lā suqyā 'ażāb, wa lā balā` wa lā hadmin, wa lā garqin.
Allāhumma inna bil-'ibādi wal-bilādi minal-awā`i wal-jahdi waḍ-ḍanki mā lā nasykūhu illā ilaika.
Allāhumma anbit lanaz-zar'a wa adir lanaḍ-ḍar'a wa asqinā min barakātis-samā` wa anzil 'alainā min barakātik, allāhumma innā nastagfiruka, innaka kunta gaffāran, fa arsilis-samā`a 'alainā midrāran
(Ya Allah! Turunkanlah kepada kami hujan yang menolong, yang baik dan nikmat, yang menumbuhkan dan menyuburkan, yang melimpah, merata dan deras, yang menyeluruh dan besar, yang terus-menerus tidak berhenti, yang mendatangkan manfaat bukan mudarat, yang segera tidak tertunda).
(Ya Allah! Turunkanlah hujan untuk hamba-hamba-Mu dan hewan ternak-Mu, sebarkanlah rahmat-Mu, dan hidupkanlah negeri-Mu yang mati. Ya Allah! Turunkanlah kepada kami hujan dan jangan jadikan kami menjadi bagian orang-orang yang putus asa. Ya Allah! Turunkanlah kepada kami hujan rahmat, bukan hujan siksa dan musibah, bukan hujan mengancurkan dan menenggelamkan).
(Ya Allah! Sesungguhnya hamba-hamba-Mu dan negeri-negeri mengalami kelaparan tinggi, kesusahan, dan kesempitan yang tidak kami adukan kecuali kepada-Mu).
(Ya Allah! Tumbuhkanlah bagi kami tumbuh-tumbuhan, limpahkanlah kepada kami susu, tumpahkanlah kepada kami sebagian berkah langit, dan turunkanlah kepada sebagian keberkahan-Mu. Ya Allah! Sesungguhnya kami memohon ampun kepada-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, maka kirimkanlah kepada kami hujan yang lebat dan terus-menerus)."
Dianjurkan agar imam berputar ke arah kiblat di ketika khotbah, kemudian membalik sorbannya dengan menjadikan yang sebelah kanan ke kiri dan sebaliknya; karena Nabi ﷺ membalik punggungnya kepada manusia dan menghadap kiblat kemudian beliau membalik sorbannya. (Muttafaq 'Alaih).
Kemudian imam berdoa dengan suara pelan ketika telah menghadap kiblat. Bila mereka melakukan doa istisqā` setelah salat lima waktu atau ketika khotbah Jumat, mereka telah melakukan sesuai Sunnah.
Dianjurkan untuk diam (berdiri) sejenak di awal hujan dan mengeluarkan barang dan pakaiannya supaya basah oleh hujan, lalu keluar menuju lembah jika air telah mengalir lalu berwudu.
Ketika melihat hujan maka dianjurkan untuk membaca, "Allāhumma ṣayyiban nāfi'an (Ya Allah! Jadikanlah hujan ini bermanfaat)."
Bila air bertambah banyak dan dikhawatirkan hujan terlalu besar, dianjurkan untuk membaca, "Allāhumma ḥawālainā wa lā 'alainā, allāhumma 'alaẓ-ẓirābi wal-ākāmi wa buṭūnil-awdiyah wa manābitisy-syajar (Ya Allah! Turunkanlah hujan ini ke sekitar kami, bukan ke tempat tinggal kami. Ya Allah! Alihkanlah hujan ini ke bukit-bukit dan pegunungan serta ke lembah-lembah dan tempat tumbuh pepohonan)."
Dianjurkan untuk berdoa ketika turun hujan: "Muṭirnā bi faḍlillāh wa raḥmatihi (Kita telah diberikan hujan dengan karunia dan rahmat Allah)."
Bila melihat mendung atau angin bertiup kencang, maka dia memohon kepada Allah kebaikannya dan berlindung dari keburukannya; tidak boleh menghujat hujan, tetapi berdoa, "Allāhumma innī as`aluka khaira hāżihir-rīḥa wa khaira mā fīhā wa khaira mā arsalta bihī, wa a'ūżu bika min syarrihā wa syarri mā fīhā, wa syarri mā arsalta bihī, allāhumma-j'alhā raḥmatan wa lā taj'alhā 'ażāban, allāhumma-j'alhā riyāḥan wa lā taj'alhā rīḥan (Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu kebaikan angin ini, kebaikan yang dibawanya, dan kebaikan yang dikirim bersamnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya, keburukan yang dibawanya, dan keburukan yang dikirim bersamanya. Ya Allah! Jadikanlah angin ini sebagai rahmat, dan janganlah Engkau jadikan sebagai azab)."
Bila mendengar suara guruh dan halilintar agar membaca, "Allāhumma lā taqtulnā bi gaḍabika wa lā tuhliknā bi 'ażābika, wa 'āfinā qabla żālika, subḥāna man sabbaḥar-ra'du biḥamdih wal-malā`katu min khīfatihi (Ya Allah! Janganlah Engkau musnahkan kami dengan murka-Mu, dan jangan Engkau binasakan kami dengan siksa-Mu. Selamatkanlah kami sebelum itu. Mahasuci Allah, guruh bertasbih dengan memuji-Nya dan juga para malaikat karena takut kepada-Nya)."
Bila mendengar ringkikan keledai dan gonggongan anjing agar berlindung kepada Allah dari setan. Dan bila mendengar kokok ayam agar berdoa memohon karunia kepada Allah.
Boleh hukumnya berobat berdasarkan kesepakatan para ulama dan hal itu tidak bertentangan dengan perintah tawakal. Berobat menggunakan kayy (sundutan besi yang dipanaskan) hukumnya makruh. Dianjurkan melakukan ating antisipasi dengan meninggalkan ating makanan dam minuman (diet).
Diharamkan berobat menggunakan sesuatu yang haram, baik berupa makanan, minuman, ataupun suara yang melalaikan; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, “Janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” Haram hukumnya menggunakan jimat (tamīmah), yaitu pelindung atau penangkal yang biasa digantung.
Dianjurkan untuk banyak mengingat kematian dan mempersiapkan diri untuk itu serta menjenguk orang yang sakit. Orang yang sakit boleh mengabarkan penyakit yang ia rasakan selama bukan untuk mengeluh setelah memuji Allah.
Bersabar hukumnya wajib. Mengadu kepada Allah tidak bertentangan dengan kewajiban sabar, bahkan hal itu dituntut. Dia wajib berprasangka baik kepada Allah dan tidak mengharapkan kematian lantaran musibah dan penyakit yang menimpanya.
Orang yang menjenguk dianjurkan mendoakan kesembuhan bagi yang sakit. Bila tanda-tanda kematian telah ating pada orang sakit, dianjurkan untuk menuntunnya mengucapkan Lā ilāha illallāh dan menghadapkannya ating kiblat.
Bila dia sudah meninggal, kedua matanya dipejamkan dan keluarganya tidak boleh mengucapkan kecuali ucapan yang baik karena para malaikat mengaminkan apa yang mereka ucapkan. Kemudian ia ditutup dengan kain dan disegerakan menyelesaikan hutangnya serta melunasi tanggungannya berupa nazar ataupun kafarat; berdasarnya sabda Nabi ﷺ, “Jiwa seorang mukmin itu tergadai dengan hutangnya hingga dibayarkan.” (Dihasankan oleh Tirmizi).
Disunahkan agar menyegerakan penyelenggaraan jenazahnya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, “Tidak layak jenazah seorang muslim ditahan di antara keluarganya.” (HR. Abu Daud). Makruh melakukan na’yu, yaitu mengumumkan kematian ala jahiliah.
Memandikan, menyalati, memikul, mengafani, dan menguburkan jenazah dengan dihadapkan ke kiblat hukukmnya fardu kifayah, dan makruh hukumnya mengambil upah di salah satunya. Begitu juga dimakruhkan membawa jenazah ke selain negerinya tanpa kebutuhan.
Dianjurkan kepada orang yang memandikan agar memulai dari anggota wudu dan bagian kanan. Dianjurkan untuk memandikannya sebanyak tiga atau lima kali, dan boleh sekali. Bila janin gugur setelah berumur lebih dari empat bulan, ating dimandikan dan disalati; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, “Janin yang mati keguguran disalati dan kedua orang tuanya didoakan dengan ampunan dan rahmat.” (Disahihkan oleh Tirmizi dengan redaksi: “Anak kecil disalati …”).
Bila jenazah tidak mungkin dimandikan karena tidak ada air atau lainnya, ating ditayamumkan.
Yang wajib dilakukan dalam mengafaninya ialah menutupinya seluruh tubuhnya dengan sebuah kain. Bila tidak didapatkan apa yang bisa menutup seluruh tubuhnya, maka dimulai dari menutup auratnya, kemudian kepalanya, selanjutnya ke bawah, lalu sisa tubuhnya ditutup dengan rumput atau daun.
Ketika salat jenazah, imam berdiri sejajar dada mayat laki-laki dan bagian tengah mayat perempuan. Kemudian ia bertakbir dan membaca Al-Fātiḥah, kemudian bertakbir dan membaca selawat kepada Nabi ﷺ, kemudian bertakbir dan mendoakan jenazah yang disalati, kemudian bertakbir yang keempat dan berdiri sejenak kemudian bersalam satu kali ke kanan.
Orang yang mengerjakan salat mengangkat tangan di setiap takbir, kemudian tetap berdiri di tempatnya hingga jenazah diangkat. Hal itu diriwayatkan dari Umar.
Disunahkan bagi orang yang belum ikut menyalatkannya untuk menyalatinya setelah ia diletakkan atau setelah selesai penguburannya di area kuburan walaupun dikerjakan berjamaah hingga satu bulan sejak jenazah dikuburkan.
Boleh melakukan penguburan di malam hari. Tetapi makruh ketika matahari baru terbit, ketika matahari baru tenggelam, dan ketika matahari tegak di atas.
Dianjurkan untuk membawa jenazah dengan mempercepat langkat dengan kecepatan yang tidak berlebihan.
Para pengantar dimakruhkan duduk hingga jenazah diletakkan di tanah untuk dikuburkan. Orang yang mengantar harus mengikuti jenazah dengan khusyuk dan memikirkan kematian.
Makruh hukummnya tersenyum dan membicarakan urusan dunia. Dianjurkan agar jenazah dimasukkan ke dalam kuburnya dari arah kakinya, jika itu lebih mudah, dan makruh hukumnya menutup/memayungi kubur jenazah laki-laki.
Laki-laki tidak dimakruhkan menguburkan jenazah perempuan sementara di sana ada mahramnya. Kubur dengan model lahad (ceruk ke samping) lebih utama daripada model syaqq (lubang ke bawah), dan disunahkan agar dibuat lebih dalam dan lebih lebar.
Makruh hukumnya menguburkan jenazah dalam peti. Ketika meletakkan jenazah hendaknya membaca, “Bismillāh wa ‘alā millati Rasūlillāh.” Disunahkan berdoa di kubur setelah penguburan dengan berdiri di dekatnya, dan dianjurkan kepada orang yang hadir untuk menaburinya dengan tanah menggunakan dua tangan dari arah kepalanya sebanyak tiga kali.
Dianjurkan untuk meninggikan kubur seukuran satu jengkal, dan makruh bila lebih dari itu; berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Ali raḍiyallāhu ‘anhu, “Jangan tinggalkan gambar (bernyawa) kecuali engkau hilangkan, dan tidak pula kubur yang tinggi kecuali engkau ratakan.” (HR. Muslim).
Kemudian kuburan itu disiram dengan air dan diberikan batu-batu kecil untuk menyangga tanahnya. Boleh memberi tanda menggunakan batu dan semisalnya supaya mudah dikenal; berdasarkan hadis yang diriwayatkan tentang kubur ‘Uṡmān bin Maẓ’ūn.
Tidak diperbolehkan menyemen dan membangun kubur, bahkan bangunannya wajib dirobohkan, serta tidak boleh menambahkan tanah kubur dengan selain tanahnya; karena adanya larangan yang diriwayatkan Abu Daud.
Tidak diperbolehkan mencium kubur, memberinya minyak wangi, membakar kemenyan, duduk di atasnya, dan buang air di atasnya dan begitu juga di antara kubur.
Tidak boleh juga meminta kesembuhan dengan tanah kubur. Haram hukumnya memberikan lampu pelita untuk kubur dan membangun masjid di atasnya, bahkan wajib dihancurkan. Juga, tidak diperbolehkan berjalan menggunakan sandal di kuburan berdasarkan hadis. Ahmad berkata, “Sanadnya bagus.”
Dianjurkan untuk melakukan ziarah kubur tanpa melakukan perjalanan jauh; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, “Tidak boleh melakukan perjalanan jauh kecuali menuju tiga masjid.” Tetapi ziarah kubur tidak diperbolehkan bagi perempuan; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, “Allah melaknat para wanita yang berziarah kubur dan orang-orang yang menjadikan kubur sebagai masjid dan memasang lampu pelita di atasnya.” (HR. Ahli As-Sunan)
Makruh mengusap-usap badan dengannya, salat di sampingnya, dan ating ke kubur untuk berdoa di sisinya karena ini termasuk kemungkaran, bahkan termasuk cabang kesyirikan.
Dianjurkan bagi orang yang berziarah dan yang lewat di kubur untuk membaca: “As-salāmu ‘alaikum dāra qaumin mu`minīn, wa innā in syā`Allāhu bikum lāḥiqūn, yarḥamul-mustaqdimīna minnā wa minkum wal-musta`khirīn, nas`alullāha lanā wa lakumul-‘āfiyah. Allāhumma lā taḥrimnā ajrahum wa lā taftinnā ba’dahum, wa-gfir lanā wa lahum (Semoga keselamatan untuk kalian wahai penghuni kuburan kaum mukminin, sesungguhnya kami insya Allah pasti akan menyusul kalian. Semoga Allah merahmati orang-orang yang lebih dulu meninggal dari kami dan kalian dan yang ating belakangan. Kami memohon keselamatan kepada Allah untuk kami dan untuk kalian. Ya Allah! Jangan halangi kami dari pahala mereka, dan jangan jadikan kami terfitnah setelahnya. Ampunilah kami dan mereka).”
Terdapat keleluasaan antara menggunakan bentuk ma’rifah (as-salāmu) atau nakirah (salāmun) ketika memberi salam kepada orang hidup. Memulai salam hukumnya sunah, sedangkan membalasnya hukumnya wajib. Sekiranya dia telah mengucapkan salam kepada seseorang, kemudian dia bertemu lagi kedua kalinya, atau ketiga dan seterusnya, dia tetap memberinya salam.
Tidak boleh membungkuk ketika salam. Tidak diperbolehkan memberi salam kepada perempuan, kecuali perempuan tua yang tidak lagi memikat. Begitu juga dianjurkan memberi salam ketika berpisah. Dia juga memberi salam ketika masuk pada keluarganya lalu mengatakan, “Allāhumma innī as`aluka khairal-mūlij wa khairal-makhraj, bismillāhi walajnā, wa bismillāhi kharajnā, wa ‘alallāhi tawakkalnā (Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepadamu sebaik-baik tempat masuk dan sebaik-baik tempat keluar. Dengan menyebut nama Allah kami masuk, dan dengan menyebut nama Allah kami keluar, dan hanya kepada Allah kami bertawakal).”
Dianjurkan untuk berjabat tangan; berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Anas. Tetapi tidak boleh berjabat tangan dengan perempuan bukan mahram. Juga dianjurkan memberi salam kepada anak-anak. Anak kecil, orang yang jumlahnya sedikit, orang yang berjalan kaki, dan orang yang berkendara masing-masing memberi salam kepada yang kebalikannya.
Bila disampaikan kepadanya salam dari seseorang, maka dianjurkan agar dia menjawab dengan: ‘alaika wa ‘alaihis-salām.
Dianjurkan bagi masing-masing dari dua orang yang bertemu agar berusaha memulai salam dan tidak lebih dari ucapan: as-salāmu ‘alaikum wa raḥmatullāhi wabarakātuh.
Ketika seseorang ingin menguap hendaknya ditahan sebisa mungkin, tetapi jika tidak bisa ditahan maka hendaknya menutup mulutnya. Bila dia bersin, wajahnya ditutup dan suaranya direndahkan lalu memuji Allah Ta’ālā dengan suara keras hingga terdengar oleh teman duduknya. Kemudian orang yang mendengarnya mengucapkan: yarḥamukallāh. Setelah itu dijawab oleh orang yang bersin dengan mengatakan: yahdīkumullāhu wa yuṣliḥu bālakum. Jika ada orang yang bersin lalu tidak memuji Allah maka dia tidak didoakan dengan doa “yarḥamukallāh”. Bila dia bersin kedua dan ketiga, maka dia tetap didoakan seperti pertama. Kemudian setelah itu didoakan kesembuhan.
Wajib hukumnya meminta izin bagi orang yang mau masuk rumah, baik kerabat ataupun bukan kerabat. Bila diizinkan maka dia masuk, jika tidak maka dia kembali. Meminta izin batasannya sebanyak tiga kali dan tidak lebih dari itu. Tata cara meminta izin yaitu mengucapkan, “As-salāmu ‘alaikum. Apakah saya boleh masuk?” Kemudian dia duduk di ujung majelis dan tidak memisahkan antara dua orang kecuali dengan seizin mereka.
Dianjurkan melakukan takziah kepada orang yang diuji dengan kematian. Tetapi makruh hukumnya mengadakan perkumpulan untuk itu. Tidak ada kalimat tertentu yang harus diucapkan oleh orang yang bertakziah. Dia hendaknya menguatkannya untuk bersabar dan mengingatkannya dengan janji pahala serta berdoa untuk yang mati.
Orang yang mendapat musibah hendaknya mengucapkan, “Al-ḥamdu lillāhi rabbil-‘ālamīn, innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn, allāhumma ajirnī fī muṣībatī wa-khluf lī khairan minhā (Segala puji milik Allah, Tuhan semesta alam. Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan kita semua akan kembali kepada-Nya. Ya Allah! Berikanlah aku pahala dalam musibah yang menimpaku, dan berikanlah kepadaku ganti yang lebih baik).”
Bila dia mengerjakan salat untuk mengamalkan firman Allah Ta’ālā, “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat”, maka hal itu bagus dan telah dikerjakan oleh Ibnu ‘Abbās.
Sabar hukumnya wajib, tetapi tidak dimakruhkan menangisi mayat. Sedangkan meratap hukumnya haram. Nabi ﷺ berlepas diri dari aṣ-ṣāliqah, al-ḥāliqah, dan asy-syāqqah. Aṣ-Ṣāliqah artinya perempuan yang berteriak-teriak ketika musibah. Al-Ḥāliqah ialah perempuan yang mencukur rambutnya. Sedangkan asy-syāqqah adalah perempuan yang menyobek pakaiannya. Dan haram hukumnya menampakkan keluh kesah.
Zakat wajib pada hewan ternak, hasil bumi, uang, dan barang dagangan dengan lima syarat: Islam, merdeka, memiliki nisab, dimiliki secara utuh, dan genap satu tahun.
Zakat diwajibkan pada harta anak kecil dan orang gila, sebagaimana diriwayatkan dari Umar, Ibnu 'Abbās, dan lainnya, sementara tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka.
Kemudian zakat juga diwajibkan pada kelebihan nisab sesuai dengan hitungannya, kecuali hewan ternak, tidak ada zakat pada kelebihan antara dua nisabnya (waqṣ).
Zakat juga tidak diwajibkan pada harta wakaf yang diperuntukkan untuk umum seperti masjid. Tetapi zakat diwajibkan pada hasil bumi yang diwakafkan untuk orang tertentu.
Begitu juga orang yang memiliki piutang pada orang yang kaya, seperti pinjaman utang dan mahar, dan telah genap satu tahun sejak dia memilikinya, maka dia diwajibkan mengeluarkan zakatnya bila telah menerimanya atau menerima sebagiannya. Ini adalah ijmak sahabat, sekalipun yang diterima belum mencapai nisab.
Diperbolehkan mengeluarkan zakat sebelum objek zakat dimiliki, bila seBAB : kewajiban zakat telah ada. Adapun penundaan zakat hingga ia dimiliki adalah rukhsah, sehingga tidak sama seperti menyegerakan zakat.
Bila di tangannya terdapat sebagian nisab, sedangkan sisanya berupa piutang atau hewan yang lepas, maka dia diwajibkan mengeluarkan zakat untuk yang ada di tangannya. Begitu juga piutang yang dipinjamkan kepada orang miskin, harta yang dirampas, dan hak yang tidak dikembalikan, maka wajib dizakatkan sekali ketika berhasil dimiliki; sebagaimana diriwayatkan dari Ali dan Ibnu 'Abbās berdasarkan keumumannya.
Bila dia mendapatkan tambahan harta, maka tambahan harta itu tidak wajib dizakatkan hingga genap satu tahun, kecuali tambahan berupa anak ternak dan laba bisnis; berdasarkan perkataan Umar, "Hitung pada mereka yang belum genap setahun, tetapi jangan itu yang diambil." (HR. Malik). Juga berdasarkan perkataan Ali, dan tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi mereka berdua. Tambahan harta itu bila mencapai nisab digabung dengan harta yang dia miliki bila sejenis atau dihukumi sejenis seperti perak dengan emas. Tetapi jika tidak sejenis dengan tambahan harta yang telah mencapai nisab tersebut atau tidak dihukumi sejenis, maka dia memiliki hukum sendiri.
Zakat pada ternak tidak diwajibkan kecuali pada ternak yang digembalakan di sebagian besar waktu dalam satu tahun. Sehingga bila pakannya dibeli atau dikumpulkan maka tidak ada zakatnya. Ternak yang wajib dizakatkan ada tiga macam:
Zakat pada unta tidak wajib kecuali setelah mencapai jumlah 5 ekor, yaitu zakatnya seekor kambing. Selanjutnya 10 ekor zakatnya 2 ekor kambing, 15 ekor zakatnya 3 ekor kambing, 20 ekor zakatnya 4 ekor kambing; berdasarkan ijmak di semuanya.
Bila jumlahnya mencapai 25 ekor maka zakatnya seekor bintu makhāḍ, yaitu unta betina yang telah genap setahun. Bila ia tidak memiliki bintu makhāḍ, maka bisa diganti dengan seekor ibnu labūn, yaitu unta jantan yang telah genap 2 tahun. Selanjutnya 36 ekor zakatnya seekor bintu labūn (unta betina yang telah genap 2 tahun), 46 ekor zakatnya seekor ḥiqqah (unta betina yang telah genap 3 tahun), 61 ekor zakatnya seekor jaża'ah (unta betina yang telah genap 4 tahun), 76 ekor zakatnya 2 ekor bintu labūn, 91 ekor zakatnya 2 ekor ḥiqqah, dan 121 zakatnya 3 ekor bintu labūn.
Setelah itu hitungan zakatnya stabil, yaitu setiap 40 ekor zakatnya seekor bintu labūn dan setiap 50 ekor zakatnya seekor ḥiqqah. Bila jumlahnya 200 ekor maka berlaku sama dua hitungan, dia boleh mengeluarkan 4 ekor ḥiqqah bila mau, atau 5 ekor bintu labūn bila ia mau.
Zakat pada sapi tidak wajib kecuali setelah mencapai jumlah 30 ekor, yaitu zakatnya seekor tabī' (yang jantan), atau tabī'ah (yang betina), masing-masing adalah sapi yang telah genap satu tahun. Selanjutnya 40 ekor zakatnya musinnah (sapi betina yang telah genap 2 tahun) dan 60 ekor zakatnya 2 tabī'. Selanjutnya setiap 30 ekor zakatnya seekor tabī' dan setiap 40 ekor zakatnya seekor musinnah.
Zakat pada kambing tidak wajib kecuali setelah mencapai jumlah 40 ekor, yaitu zakatnya seekor kambing hingga jumlah 120. Bila jumlahnya sudah 121, maka zakatnya 2 ekor hingga jumlah 200. Bila lebih seekor, zakatnya 3 ekor hingga jumlah 300 maka zakatnya 4 ekor. Selanjutya setiap 100 ekor zakatnya satu ekor.
Tidak boleh mengambil tais (kambing pejantan), tidak juga harimah, yaitu betina yang sudah tua. Begitu juga 'awār -yaitu yang memiliki cacat-, rabā -yaitu yang memiliki anak sedang diasuh-, yang sedang bunting, yang gemuk nan sehat, maupun harta yang terbaik; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Tetapi ambillah yang pertengahan dari harta di antara kalian. Sesungguhnya Allah tidak meminta kalian yang terbaik, dan tidak juga memerintahkan kalian sesuatu yang terburuk." (HR. Abu Daud). Penggabungan hewan-hewan ternak menjadikan dua jenis harta seperti satu harta.
Zakat hasil bumi diwajibkan pada semua yang ditakar dan bisa tersimpan lama berupa makanan pokok dan lainnya dengan dua syarat:
- Pertama: mencapai nisab; yaitu 5 wasaq, dan 1 wasaq sama dengan 60 ṣā'. Hasil buah dan tanaman satu tahun digabung menjadi satu untuk menyempurnakan nisab.
- Kedua: nisab tersebut adalah miliknya ketika waktu wajib zakat; sehingga zakat tidak diwajibkan pada penghasilan tukang pungut, atau yang diperoleh sebagai pemberian maupun sebagai upah panen.
Ukuran yang diwajibkan ialah sepersepuluh bagi yang disiram tanpa biaya, kemudian setengah dari sepersepuluh bagi yang menggunakan biaya, dan tiga perempatnya bagi yang menggunakan kedua-duanya. Jika terjadi perbedaan maka yang dipakai adalah yang paling banyak manfaatnya. Dan ketika tidak diketahui maka yang dipakai adalah sepersepuluh.
Zakat biji-bijian wajib dikeluarkan setelah dibersihkan dan zakat buah setelah kering. Tidak diperbolehkan membeli zakat dan sedekah sendiri. Tetapi jika zakat atau sedekah tersebut kembali kepadanya lewat warisan maka diperbolehkan.
Pemerintah hendaknya mengirim tukang taksir zakat, dan cukup satu orang, lalu disisakan untuk pemiliknya seukuran kebutuhannya dan kebutuhan orang-orang yang ada dalam tanggungannya hingga waktu matang. Bila tukang taksir tidak menyisakannya, pemilik tanaman boleh mengambil sendiri. Imam Ahmad menilai makruh melakukan panen di malam hari.
Tidak ada pengulangan zakat pada hasil bumi yang disimpan setelah dikeluarkan zakatnya walaupun bertahan sekian tahun, kecuali kalau disimpan sebagai dagangan, maka ia dihitung setiap tahun.
Nisab emas ialah 20 miṡqāl (dinar) dan nisab perak 200 dirham, sedangkan ukuran zakatnya ialah seperempat puluh. Masing-masing dari keduanya digabung dengan yang lain untuk menyempurnakan nisab. Begitu juga nilai barang dagangan digabung dengan masing-masing dari keduanya.
Tidak ada zakat pada perhiasan yang mubah, tetapi jika disiapkan untuk dagangan maka berlaku padanya zakat.
Laki-laki boleh memakai cincin perak, dan lebih diutamakan agar dipakai di kelingking tangan kiri. Imam Ahmad melemahkan hadis tentang memakai cincin di tangan kanan. Makruh hukumnya bagi laki-laki dan perempuan memakai cincin besi, kuningan, dan logam; sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad.
Diperbolehkan menghias gagang pedang dan ikat pinggang dengan perak karena para sahabat raḍiyallāhu 'anhum memakai ikat pinggang yang dihias dengan perak. Juga diperbolehkan bagi perempuan memakai perhiasan emas dan perak yang biasa mereka pakai.
Haram hukumnya laki-laki menyerupai perempuan dan juga sebaliknya; dalam hal pakaian dan lainnya.
Zakat pada barang dagangan diwajibkan bila nilainya telah mencapai nisab dan diniatkan sebagai dagangan. Tidak ada zakat pada barang yang dipersiapkan untuk disewakan berupa properti, hewan, dan lainnya.
Zakat fitrah adalah pembersih bagi orang yang puasa dari perkataan batil dan keji. Hukumnya fardu ain bagi setiap muslim jika ia memiliki kelebihan makanan pokok untuk dirinya dan untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya di hari raya dan malam harinya. Kadarnya (setiap jiwa) sebesar satu ṣā' sebagai zakat dirinya dan orang-orang yang dia tanggung dari kalangan kaum muslimin. Dia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah untuk pekerjanya. Jika dia tidak mampu mengeluarkan untuk semua, maka dia mulai dari dirinya kemudian yang terdekat dan seterusnya.
Zakat fitrah tidak wajib terhadap janin secara ijmak. Siapa yang sukarela menyantuni seorang muslim selama bulan Ramadan, seharusnya ia juga mengeluarkan zakat fitrahnya.
Zakat fitrah boleh disegerakan sehari atau dua hari sebelum hari raya. Zakat fitrah tidak boleh diakhirkan hingga lewat hari raya Idul Fitri. Bila terjadi, maka dia berdosa dan harus dikada.
Yang paling afdal agar dikeluarkan pada hari raya sebelum mengerjakan salat Id. Yang diwajibkan ialah sebesar satu ṣā' kurma, gandum, kismis, jelai, atau keju. Bila ia tidak mendapatkannya, maka ia mengeluarkan yang semisalnya dari makanan pokok negerinya. Imam Ahmad suka bila makanan yang dikeluarkan dibersihkan, dan dia menisbahkannya kepada Ibnu Sīrīn. Diperbolehkan memberi sekian orang dari kewajiban satu orang dan sebaliknya.
Tidak boleh menunda pengeluaran zakat dari waktu wajibnya ketika hal itu dimungkinkan. Kecuali ketika wakil pemerintah atau mustahik zakat tidak ada. Begitu juga petugas zakat boleh menundanya dan membiarkannya di pemiliknya karena uzur kekeringan dan semisalnya seperti kelaparan. Imam Ahmad berdalil dengan perbuatan Umar.
Mustahik zakat ada delapan, tidak boleh diberikan kepada yang lain, berdasarkan ayat Al-Qur`ān:
§ Pertama dan kedua: fakir dan miskin. Seseorang tidak diperbolehkan minta-minta sementara dia masih memiliki sesuatu yang mencukupinya. Dan tidak mengapa meminta air minum, meminjam, dan berhutang. Dan diwajibkan memberi makan orang yang lapar, memberi pakaian orang yang tidak memiliki pakaian, dan menebus tawanan.
§ Ketiga: amil zakat atau pekerja zakat; seperti tukang pungut, tukang tulis, tukang hitung, dan tukang takar, dan hal ini tidak diperkenankan dari Ahli Bait. Pemerintah diberikan pilihan antara mengutus pekerja zakat tanpa kontrak atau dengan ditentukan upahnya.
§ Keempat: muallaf (orang yang ingin direbut hatinya); yaitu tokoh-tokoh yang ditaati di tengah kabilahnya, seperti orang kafir yang diharapkan akan masuk Islam atau seorang muslim yang diharapkan akan bertambah kuat imannya ketika diberikan, atau dia akan mengislamkan rekannya atau menasihatinya atau menahan keburukannya. Dan tidak halal bagi seorang muslim yang mengambil apa yang diberikan kepadanya untuk menahan keburukannya, seperti sogokan.
§ Kelima: budak; yaitu budak mukātab (yang menebus dirinya). Zakat juga boleh digunakan untuk menebus tawanan muslim dari tangan orang kafir karena hal itu bagian dari memerdekakan orang. Juga diperbolehkan membeli budak untuk dimerdekakan; berdasarkan keumuman firman Allah: "... dan untuk memerdekakan hamba sahaya."
§ Keenam: orang yang terlilit hutang; orang yang berhutang terbagi dua. Salah satunya yang berhutang untuk mendamaikan perselisihan, yaitu orang yang menanggung sejumlah harta untuk meredakan permasalahan. Sedangkan yang kedua ialah orang yang berhutang untuk dirinya sendiri dalam kepentingan yang mubah.
§ Ketujuh: fī sabīlillāh, yaitu orang-orang yang berperang. Mereka diberikan kebutuhan perangnya sekalipun mereka mampu. Ibadah haji termasuk fī sabīlillāh.
§ Kedelapan: ibnu sabīl; yaitu musafir yang kehabisan bekal, tidak memiliki sesuatu yang bisa mengantarnya hingga negerinya. Dia diberi sebanyak biaya yang bisa mengantarnya hingga ke negerinya sekalipun dia mampu di negerinya.
Bila orang yang tidak diketahui mampu mengklaim miskin, pengakuannya itu diterima. Bila dia memiliki badan kuat dan diketahui memiliki penghasilan maka dia tidak boleh diberikan. Tetapi jika dia tidak diketahui memiliki penghasilan, maka dia diberikan setelah diberi tahu bahwa tidak ada hak di dalam zakat bagi orang yang mampu maupun berbadan kuat dan bisa bekerja.
Bila orang yang bukan kerabat kita lebih membutuhkan maka zakat itu tidak diberikan kepada kerabat lalu orang lain dihalangi darinya. Tidak boleh mengutamakan keluarga dengan zakat, tidak juga digunakan untuk menolak celaan, tidak untuk mempekerjakan orang, dan tidak pula untuk melindungi hartanya.
Sedekah disunahkan setiap waktu, tetapi secara diam-diam lebih diutamakan. Demikian juga ketika dalam keadaan sehat, dengan hati senang, dan di bulan Ramadan; berdasarkan perbuatan Nabi ﷺ. Termasuk pada waktu-waktu dibutuhkan; berdasarkan firman Allah Ta'ālā, "Atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan."
Sedekah kepada kerabat adalah sedekah dan silaturahmi, apalagi kalau ada permusuhan sebelumnya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Engkau bersilaturahmi kepada orang yang memutusmu." Kemudian tetangga, berdasarkan firman Allah Ta'ālā, "Dan tetangga dekat dan tetangga jauh." Juga orang yang sangat membutuhkan; berdasarkan firman Allah Ta'ālā, "Atau orang miskin yang sangat fakir."
Tidak boleh bersedekah dengan merugikan diri atau merugikan orang yang memberi pinjaman hutang atau yang wajib dinafkahi. Siapa yang ingin bersedekah dengan seluruh hartanya sementara dia memiliki keluarga yang dapat dia penuhi kebutuhan mereka dengan penghasilannya dan diketahui dia orang yang bertawakal dengan baik, maka hal itu dianjurkan; berdasarkan kisah Abu Bakar Aṣ-Ṣiddīq. Jika tidak, maka hal itu tidak diperbolehkan dan dia dilarang.
Dimakruhkan bagi orang yang tidak sabar terhadap kesulitan hidup untuk bersedekah hingga mengurangi dirinya dari kecukupan sempurna.
Haram hukumnya mengungkit-ungkit sedekah, dan hal itu adalah dosa besar yang dapat menghapus pahalanya.
Siapa yang memisahkan hartanya untuk disedekahkan, kemudian ia terhalang oleh sesuatu, dianjurkan agar ia meneruskannya. Sebagaimana 'Amr bin Al-'Āṣ raḍiyallāhu 'anhu bila dia telah mengeluarkan makanan untuk seorang pengemis kemudian dia tidak menemukannya, maka dia akan memisahkannya. Dianjurkan agar bersedekah dengan sesuatu yang bagus, tidak boleh memilih yang jelek kemudian bersedekah dengannya.
Sedekah yang paling utama adalah sedekah orang yang memiliki sedikit harta; dan ini tidak bertentangan dengan hadis: "Sebaik-baik sedekah adalah setelah memenuhi kebutuhan diri." Yang dimaksud dengan sedekah orang yang sedikit hartanya yaitu setelah dia memenuhi kebutuhan keluarganya.
Puasa Ramadan adalah salah satu rukun Islam yang diwajibkan pada tahun ke-2 Hijriah. Rasulullah ﷺ menunaikan ibadah puasa sebanyak sembilan kali Ramadan.
Dianjurkan untuk melihat hilal di malam ke-30 Syakban dan wajib menunaikan ibadah puasa bila hilal Ramadan terlihat. Bila hilal tidak terlihat padahal langit cerah, maka umat Islam menyempurnakan Syakban tiga puluh hari kemudian berpuasa setelahnya tanpa ada khilaf.
Disyariatkan ketika melihat hilal supaya bertakbir tiga kali lalu berdoa, "Allāhumma ahillahū 'alainā bil-amni wal-īmāni was-salāmah wal-islām wat-taufīq limā tuḥibbu wa tarḍāhu, rabbī wa rabbukallāh, hilāla khairin wa rusydin (Ya Allah! Terbitkanlah hilal ini kepada kami bersama keamanan dan keimanan, keselamatan dan keislaman, dan kemudahan kepada apa yang Engkau cintai dan ridai. Tuhanku dan tuhanmu adalah Allah. Semoga menjadi hilal kebaikan dan kelurusan)."
Dalam penetapan hilal Ramadan dapat diterima kesaksian satu orang yang terpercaya, pendapat ini dinisbahkan oleh Tirmizi kepada mayoritas ulama. Orang yang melihat hilal sendiri kemudian kesaksiannya ditolak, maka dia harus berpuasa dan tidak berbuka (berlebaran) kecuali bersama masyarakat. Tetapi bila dia melihat hilal Syawal sendirian, maka dia tidak boleh berhenti berpuasa.
Seorang musafir diperbolehkan berbuka (membatalkan puasanya) bila telah melewati perkumpulan rumah-rumah kampungnya. Tetapi lebih diutamakan agar dia berpuasa supaya menghindarkan diri dari menyelisihi mayoritas ulama.
Wanita yang hamil dan menyusui bila khawatir terhadap dirinya atau anaknya diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Bila dia hanya khawatir terhadap janin/anaknya saja, maka dia menggantinya dengan memberi makan satu orang miskin persatu hari.
Orang yang sakit bila merasa khawatir celaka, maka dia dimakruhkan mengerjakan puasa; berdasarkan ayat Al-Qur`ān. Orang yang tidak mampu berpuasa karena tua atau sakit yang kecil harapan akan sembuh, maka dia diberi keringanan tidak berpuasa lalu memberi makan kepada satu orang miskin per satu hari.
Bila lalat atau debu terbang dan masuk ke dalam tenggorokan, atau air masuk ke dalam tenggorokannya tanpa sengaja, maka puasanya tidak batal.
Puasa wajib tidak akan sah kecuali disertai dengan niat sejak malam hari. Sedang puasa sunah sah dilakukan dengan niat dari siang hari sebelum waktu zawal dan setelahnya.
Barang siapa yang makan, minum, berobat di hidung dengan minyak atau lainnya lalu masuk ke tenggorokan, memakai suntikan, muntah dengan sengaja, membekam, maupun berbekam maka puasanya batal, tetapi orang yang melakukan sebagiannya dengan lupa maka dia tidak membatalkan puasanya.
Diperbolehkan makan dan minum ketika masih ragu dengan terbit fajar; berdasarkan firman Allah Ta'ālā, "Dan makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar."
Siapa yang membatalkan puasanya dengan jimak maka dia diwajibkan membayar kafarat ẓihār di samping kewajiban mengadanya. Dimakruhkan melakukan ciuman bagi orang yang masih tergerak syahwatnya.
Diwajibkan supaya menjauhi dusta, gibah, memaki, dan mengadu domba di semua waktu, tetapi bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan lagi.
Disunahkan agar menahan diri dari perkara-perkara makruh. Bila dia dimaki oleh seseorang, ia hendaknya mengatakan: saya berpuasa.
Dianjurkan supaya menyegerakan berbuka ketika matahari telah terbukti terbenam, dan diperbolehkan berbuka dengan dasar dugaan kuat.
Dan dianjurkan supaya mengakhirkan waktu makan sahur selama belum khawatir fajar terbit. Keutamaan makan sahur akan diperoleh dengan makan atau minum walaupun sedikit.
Dianjurkan berbuka menggunakan kurma mengkal (ruṭab); jika kurma mengkal tidak didapatkan maka dengan kurma kering (tamr); jika kurma kering tidak didapatkan maka dengan air, kemudian berdoa ketika berbuka.
Siapa yang menyiapkan buka puasa bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan pahala yang semisal dengan pahalanya.
Dianjurkan di bulan Ramdan supaya memperbanyak baca Al-Qur`ān, zikir, dan sedekah. Puasa sunah yang afdal ialah puasa Daud (berpuasa selang sehari). Juga disunahkan berpuasa tiga hari setiap bulan, dan lebih diutamakan pada ayyāmul-bīḍ (tanggal 13, 14, & 15 hijriah). Begitu juga disunahkan berpuasa hari Kamis dan Senin, enam hari di bulan Syawal walaupun terpisah, dan puasa sembilan hari pertama Zulhijah terutama tanggal 9, yaitu hari Arafah.
Begitu juga puasa bulan Muharam, terutama tanggal 9 dan 10, dan dianjurkan supaya menggabung kedua-duanya. Semua amal ibadah yang disebutkan pada hari Asyura selain ibadah puasa tidak memliki dalil kuat, bahkan merupakan perkara bidah.
Dimakruhkan mengkhususkan puasa pada bulan Rajab; semua hadis tentang keutamaan puasa dan salat pada bulan Rajab adalah palsu.
Juga makruh mengkhususkan puasa pada hari Jumat, puasa satu atau dua hari lebih cepat sebelum Ramadan, dan puasa wiṣāl (bersambung tanpa berbuka).
Haram hukumnya berpuasa pada dua hari raya dan hari-hari tasyrik. Makruh hukumnya berpuasa sepanjang tahun.
Lailatulqadar adalah malam yang diagungkan serta waktu yang mustajab untuk berdoa; berdasarkan firman Allah, "Malam kemuliaan (lailatulqadar) itu lebih baik daripada seribu bulan." Para ulama tafsir menjelaskan, "Salat malam dan amal saleh di malam itu lebih baik dari salat malam selama seribu bulan yang tak ada lailatuqadarnya. Dinamakan sebagai malam qadar, karena pada malam itu ditentukan ketetapan tentang apa yang akan ada di tahun tersebut. Lailatulqadar ada di sepuluh malam terakhir, khususnya malam-malam yang gasal, terutama malam ke-27. Dianjurkan untuk berdoa dengan doa yang diajarkan oleh Nabi ﷺ kepada Aisyah raḍiyallāhu 'anhā, "Allāhumma innaka 'afuwwun karīm tuḥibbul-'afwa fa-'fu 'annī (Ya Allah! Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Pemurah, Engkau menyukai maaf, maka maafkanlah aku)." Wallāhu a'lam.
Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat-sahabat beliau.
Karya Syaikhul-Islām Muhammad bin Abdul Wahab raḥimahullāh
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Islam, berakal, tamyiz, suci (dari hadas dan najis), menutup aurat, bebas dari najis, mengetahui masuknya waktu salat, menghadap kiblat, dan berniat.
Berdiri jika mampu, takbīratul-iḥrām, membaca Al-Fātiḥah, rukuk, bangkit dari rukuk, iktidal, sujud, bangkit dari sujud, duduk antara dua sujud, tumakninah di semuanya, tertib, membaca tasyahud akhir, duduk untuk tasyahud akhir, dan lafal salam pertama.
Berbicara dengan sengaja, tertawa, makan, minum, membuka aurat, berpaling dari arah kiblat, banyak gerakan tidak berguna, dan adanya najis.
1) takbir selain takbīratul-iḥrām; 2) ucapan "sami'allāhu liman ḥamidah" bagi imam dan orang salat sendiri; 3) ucapan "rabbanā walakal-ḥamdu"; 4) bacaan tasbih ketika rukuk; 5) bacaan tasbih ketika sujud; 6) ucapan "rabbi igfir lī" ketika duduk antara dua sujud, yang wajib sebanyak sekali; 7) membaca tasyahud awal karena Nabi Muhammad selalu mengerjakannya dan memerintahkannya serta melakukan sujud sahwi ketika lupa mengerjakannya; 8) duduk untuk tasyahud awal.
Membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai siku, mengusap semua kepala, membasuh kedua kaki hingga mata kaki, secara tertib (berurutan), dan muwālāh (berkelanjutan).
Menggunakan air yang suci dan menyucikan, muslim yang mumayiz, tidak ada penghalang, air sampai ke kulit, dan masuknya waktu salat bagi orang yang terus-menerus berhadas.
Sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur, benda kotor yang keluar dari badan, hilang akal karena tidur atau lainnya, menyentuh perempuan dengan syahwat, menyentuh kubul dan dubur manusia, memandikan mayat, memakan daging unta, dan murtad dari Islam -semoga Allah melindungi kita darinya-. Wallāhu a'lam.