Salaf Dan Jihad Fi Sabilillah ()

Bahauddin bin Fatih Aqil

Makalah ini membahas tentang salah salah satu akhlak para salafus shalih, yaitu jihad fi sabilillah. Diceritakan dalam makalah tentang pengorbanan Shuhaib radhiyallahu ‘anhum dalam berhijrah, semangat jihad Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhum dalam perang Yamamah, Sa’ad bin Khaitsamah dalam perang Badar, Ibnu Ummi Maktum yang buta namun tetap ikut serta berjihad. Demikian pula semangat jihad para sahabat dan generasi sesudahnya seperti Khalid bin Walid, Shilah dan putranya, Sa’ad bin Rabi’, dan para salafus shalih lainnya yang tidak terhingga jumlahnya. Yang semua itu merupakan suri tauladan bagi kita kaum muslimin. radhiyallahu ‘anhumiyallahu ‘anhum ajma’in.

    |

    Salaf Dan Jihad Fi Sabilillah

    ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

    Abdul Aziz bin Nashir al-Julayyil

    Baha uddin bin Fatih Aqil

    Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali

    Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad

    2014 - 1435

    السلف والجهاد فى سبيل الله

    « باللغة الإندونيسية »

    الشيخ عبدالعزيز بن ناصر الجليل

    الشيخ بهاء الدين بن فاتح عقيل

    ترجمة: محمد إقبال أحمد غزالي

    مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

    2014 - 1435

    Muqodimah

    Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. Dari Hammad bin Salamah, ia berkata: Ali bin Zaid menceritakan kepada kami, dari Ibnu Musayyab, ia berkata: ‘Shuhaib radhiyallahu ‘anhu datang berhijrah dan diikuti oleh beberapa orang, maka ia turun dari tunggangannya dan menyiapkan anak panahnya dan berkata: ‘Sungguh kamu mengetahui bahwa aku adalah salah seorang pemanah ulung, demi Allah, kalian tidak bisa sampai kepadaku sehingga aku melemparkan setiap panah yang ada padaku, kemudian aku memukul kalian dengan pedangku. Jika kamu menghendaki aku menunjukkan hartaku kepadamu dan kalian membiarkan aku pergi? Mereka menjawab: ‘Kami setuju.’ Maka tatkala ia datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « رَبِحَ الْبَيْعُ أَبَا يَحْيَى » [ أخرجه الحاكم وغيره ]

    “Perdagangan mendapat keuntungan wahai Abu Yahya.’ Dan turun ayat:

    ﴿ وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِى نَفْسَهُ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللهِ وَاللهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ ﴾ [البقرة: 207]

    Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba -Nya. (QS. al-Baqarah:207)[1]

    Dari al-Waqidy, ia berkata: Abdullah bin Nafi’ menceritakan kepada kami, dari bapaknya, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Aku melihat ‘Ammar radhiyallahu ‘anhu di hari perang Yamamah berada di atas batu besar dan ia berteriak: ‘Wahai kaum muslimin, apakah dari surga kalian berlari? Aku Ammar bin Yasir, mari datang kepadaku! Aku melihat telinganya yang telah terpotong bergerak-gerak dan ia berperang dengan gagah berani.’[2]

    Ibnul Jauzy rahimahullah berkata dalam biografi Sa’ad bin Khaitsamah radhiyallahu ‘anhu: Panggilannya adalah Abu Abdillah, salah seorang Nuqaba` Anshar, menghadiri Bai’at Aqabah yang terakhir bersama tujuh puluh orang. Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil manusia (umat Islam) menuju perang Badar, bapaknya yang bernama Khaitsamah radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya: ‘Salah seorang dari kita harus ada yang tinggal (tidak pergi), maka biarkanlah saya pergi dan tinggallah engkau bersama istrimu.’ Sa’ad enggan menerima usulan bapaknya dan ia berkata: ‘Kalau bukan urusan surga niscaya aku lebih mengutamakan engkau, sesungguhnya aku mengharapkan mati syahid pada diriku.’ Maka keduanya melakukan undian, lalu keluar bagian Sa’ad, kemudian ia berangkat dan terbunuh secara syahid di Badar. Abu Bakar bin Thahir menceritakan hal itu kepada kami. Ia berkata: al-Jauhary menceritakan kepada kami. Ia berkata: Ibnu Haiwah menceritakan kepada kami. Ia berkata: Ibnu Ma’ruf menceritakan kepada kami. Ia berkata: Ibnu Fahm mengabarkan kepada kami. Ia berkata: Muhammad bin Sa’ad menceritakan kepada kami. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi rahmat dan meridhainya, dan mengumpulkan kita dalam golongannya dan golongan para sahabatnya.’[3]

    Dari Tsabit al-Bunany, dari Ibnu Abi Laila, bahwa Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Wahai Rabb-ku, turunkanlah ayat pemberian uzur kepadaku, lalu turun ayat:

    ﴿ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ ﴾ [النساء: 95]

    yang tidak mempunyai uzur (an-Nisaa`: 95).

    Maka setelah itu ia berperang dan berkata: ‘Serahkan bendera perang kepadaku, sesungguhnya aku seorang yang buta, tidak bisa kabur (dari medan perang) dan letakkanlah posisiku di antara dua barisan.’[4]

    Hammad bin Salamah berkata: Tsabit mengabarkan kepada kami, ia berkata: Sesungguhnya Shilah rahimahullah berada dalam satu peperangan dan ia bersama anaknya, ia berkata: ‘Wahai anakku, majulah, berperanglah.’ Maka ia menyerang, berperang hingga terbunuh syahid. Kemudian Shilah rahimahullah maju lalu terbunuh syahid. Maka para wanita berkumpul di sisi istrinya, Mu’adzah. Maka ia berkata: ‘Selamat datang jika kalian datang untuk memberi ucapan selamat kepadaku, jika kalian datang bukan untuk tujuan itu maka pulanglah.’[5]

    Dari Asma` binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergerak hijrah meninggalkan Makkah, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu membawa serta semua hartanya –lima ribu atau enam ribu-, datanglah kepadaku kakekku Abu Quhafah dan ia sudah buta, ia berkata: ‘Sesungguhnya ini (Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu) telah menyakiti kalian dengan harta dan jiwanya.’ Aku menjawab: ‘Sekali-kali tidak dan ia telah meninggalkan untuk kami kebaikan yang sangat banyak.’ Lalu aku mencari batu-batu lalu kuletakkan di celah-celah rumah dan kututupi dengan kain, kemudian aku mengambil tangannya dan kuletakkan di kain, aku berkata: ‘Ini yang dia tinggalkan untuk kami.’ Ia (Abu Quhafah radhiyallahu ‘anhu) berkata: ‘Kalau memang ia meninggalkan ini untuk kalian maka tidak mengapa.’[6]

    Dari ‘Ashim bin Bahdalah rahimahullah, dari Abu Wa`il rahimahullah, ia berkata: ‘Ketika Khalid (bin Walid) radhiyallahu ‘anhu hampir wafat, ia berkata: ‘Aku mencari kematian di medan perang (sebagai syahid) namun tidak ditaqdirkan untukku seperti itu kecuali hanya meninggal di atas kasurku. Tidak ada satu amalku yang lebih kuharapkan setelah tauhid dari pada satu malam yang kulewati dan aku sedang bersiap-siap menantikan subuh, saat langit menaungiku, hingga kami menyerang orang orang kafir.’ Kemudian ia (Khalid radhiyallahu ‘anhu) berkata: ‘Apabila aku wafat maka lihatlah senjata dan kudaku, jadikanlah ia sebagai bekal dalam jihad fi sabilillah.’ Tatkala ia wafat, Umar radhiyallahu ‘anhu datang melayat jenazahnya, ia berkata: ‘Tidak mengapa keluarga Khalid radhiyallahu ‘anhu menangisi Khalid dengan air mata mereka selama tidak merobek baju dan meratapi disertai suara yang keras.’[7]

    Dari Ibnu Uyainah rahimahullah, dari Ibnu Abi Khalid, dari maula Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu, bahwa Khalid berkata: ‘Tidak ada satu malam yang dihadiahkan pengantin kepadaku melainkan lebih aku cintai malam yang sangat dingin membeku dalam satu pasukan yang bersiap siap menyerang musuh di pagi harinya.’[8]

    Dari Hammad bin Salamah rahimahullah, dari Tsabit, dari Anas radhiyallahu ‘anhu: ‘Sesungguhnya Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha memegang khanjar (jenis senjata tajam). Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Ya Rasulullah, Ummu Sulaim ini memang khanjar? Ia (Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha) berkata: ‘Ya Rasulullah, jika ada seorang musyrik yang mendekatiku niscaya aku akan merobek perutnya.’[9]

    Dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit rahimahullah, dari bapaknya, ia berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku dalam perang Uhud mencari Sa’ad bin Rabi’ radhiyallahu ‘anhu. bersabda kepadaku:

    ‘Jika engkau melihatnya, sampaikanlah salamku kepadanya, dan katakan kepadanya: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadamu: ‘Bagaimana engkau mendapatkan dirimu?’ Maka aku berkeliling di antara orang orang yang terbunuh, aku menemukannya saat napas terakhirnya, dan ditubuhnya ada tujuh puluh luka sayatan pedang. Lalu aku mengabarkan kepadanya. Ia berkata: ‘Sampaikan salamku kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepadamu, katakan kepada beliau: ‘Ya Rasulullah, aku menemukan aroma surga.’ Dan katakan kepada kaumku kalangan Anshar: ‘Tidak ada maaf bagimu di sisi Allah subhanahu wa ta’ala jika ada ujung pisau yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (maksudnya, sampai membunuh atau melukai beliau). Lalu ia menghembuskan nafas terakhirnya. Semoga Allah meridhainya.[10]

    Dari Abdullah bin Mu`awiyah al-Jumahy, ia berkata: Abdul Aziz bin Qusmaly menceritakan kepada kami, ia berkata: Dhirar bin ‘Amr menceritakan kepada kami, dari Abu Rafi’, ia berkata: ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengerahkan pasukan ke arah Romawi, maka mereka (bangsa Romawi) menawan Abdullah bin Huzafah radhiyallahu ‘anhu dan membawanya kepada raja mereka, mereka berkata: ‘Sesungguhnya orang ini termasuk sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Ia (raja) berkata kepadanya: ‘Apakah engkau mau masuk agama Kristen dan aku memberikan kepadamu setengah kerajaanku? Ia berkata: ‘Jika engkau memberikan kepadaku semua kerajaan yang engkau miliki dan semua kerajaan Arab niscaya aku tidak akan kembali dari agama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam walau sekejap matapun.’ Ia (raja) berkata: ‘Kalau begitu aku akan membunuhmu.’ Ia menjawab: ‘Terserah engkau.’ Maka ia menyuruh untuk menyalibnya dan ia berkata kepada para pemanah: ‘Bidikkan panah dari jarak dekat pada badannya.’ Dan ia memberikan tawaran lagi kepadanya, dan ia (Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu) menolak, maka ia menurunkannya. Lalu ia meminta panci besar yang kemudian dituangkan air padanya hingga panas membakar. Dan ia memanggil dua orang tawanan dari kaum muslimin, lalu ia menyuruh salah seorang darinya lalu dilemparkan kedalamnya, dan ia (raja) menawarkan agama Kristen kepadanya, dan ia menolak. Kemudian ia menangis. Lalu dikabarkan kepada raja bahwa ia menangis, maka ia mengira bahwa sesungguhnya ia sedang bersedih, maka ia berkata: ‘Apakah gerangan yang membuat engkau menangis? Ia berkata: ‘Ia hanyalah satu jiwa yang dilemparkan sesaat lalu pergi. Maka aku menginginkan bahwa jiwaku sejumlah rambutku yang dilemparkan di api karena Allah Shubhanahu wa ta’ala.’ Maka orang yang zhalim itu berkata: ‘Apakah engkau mau mengecup kepalaku dan aku melepaskan engkau? Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya: ‘Dan semua tawanan? Ia menjawab: ‘Ya.’ Maka ia mengecup kelapanya. Dan ia (Abdullah bin Hudzafah radhiyallahu ‘anhu) datang (setelah dilepaskan) bersama para tawanan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu, lalu menceritakan semuanya kepadanya. Maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Sudah sepantasnya setiap muslim mengecup kepala Ibnu Hudzafah dan saya memulainya, maka ia mengecup kepalanya.[11]

    Dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit dan Ali bin Zaid, dari Anas radhiyallahu ‘anhu: ‘Sesungguhnya Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu membaca ayat:

    ﴿ انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالاً ﴾ [التوبة: 41]

    Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan ataupun merasa berat, ... (QS. at-Taubah:41)

    Ia berkata: ‘Allah Shubhanahu wa ta’ala menyuruh kita berangkat, -Dia menyuruh kita, orang tua dan kaum muda, siapkanlah untukku.’ Anak-anaknya berkata: ‘Semoga Allah Shubhanahu wa ta’ala memberi rahmat kepadamu, sesungguhnya engkau telah berperang di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan di masa Umar radhiyallahu ‘anhu, dan kami berperang sekarang sebagai pengganti engkau. Ia (Anas radhiyallahu ‘anhu) berkata: ‘Maka ia berperang di lautan, lalu wafat, maka mereka tidak menemukan pulau untuk menguburkannya kecuali setelah tujuh hari, maka jasadnya tidak berubah.’[12]

    Dari Khalid bin Abdullah, dari Muhammad bin Amr, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata: ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Keluar satu pasukan dari kaum muslimin dan aku adalah pemimpin mereka hingga kami singgah di Iskandariyah. Salah seorang pembesar mereka berkata: ‘Datangkanlah seorang laki-laki kepadanya, aku ingin berbicara dengannya dan ia berbicara denganku.’ Aku berkata: ‘Tidak ada yang keluar menemuinya selain aku. Maka aku keluar ditemani penerjemah dan seorang penerjemah bersamanya, hingga diletakkan dua mimbar.’ Ia bertanya: ‘Siapakah kalian? Aku menjawab: ‘Kami adalah bangsa arab, dari ahli syirik dan kekerasan, kami adalah pengurus Baitullah. Kami adalah manusia yang paling sempit wilayah nya dan paling rakus dalam kehidupan. Kami memakan bangkai dan darah. Sebagian kami menyerang yang lain. Kami telah menjalani hidup terburuk yang pernah dialami umat manusia. Hingga keluar (diutus) pada kami seorang laki-laki yang bukan terbesar dari kami pada saat itu dari sisi kemuliaan dan bukan pula yang paling kaya. Ia berkata: ‘Aku adalah utusan Allah Shubhanahu wa ta’ala kepada kalian.’ Ia menyuruh kami sesuatu yang tidak pernah kami kenal dan melarang kami dari apa apa yang ada pada kami. Maka kami mendustakannya dan menolaknya. Sehingga datang kepada kami satu kaum yang bukan dari kami (maksudnya kaum Anshar), mereka berkata: ‘Kami membenarkan engkau dan kami memerangi orang yang memerangi engkau, maka ia (Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam) keluar (hijrah) kepada mereka, dan memeranginya. Lalu ia mengalahkan kami. Ia memerangi bangsa arab di sekitarnya maka ia mengalahkan mereka. Jikalau bangsa Arab yang di belakangku mengetahui kehidupan yang ada padamu niscaya tidak ada seorang pun kecuali datang kepadamu.’ Maka ia tertawa, kemudian berkata: ‘Sesungguhnya rasul kamu adalah benar. Sungguh telah datang kepada kami para rasul sama seperti itu dan kami mengamalkannya, sehingga muncul para raja pada kami, maka mereka mengamalkan (mengatur negara) dengan hawa nafsu mereka, meninggalkan perintah para nabi mereka. Maka jika kamu melaksanakan perintah nabimu niscaya tidak ada seorang pun yang memerangi kalian kecuali kamu akan mengalahkannya. Dan apabila kamu melakukan seperti yang kami lakukan, lalu kamu meninggalkan perintah nabimu, niscaya kamu tidak lebih banyak jumlahnya dan tidak lebih kuat dari pada kami.’[13]

    Dan dari biografi Abu Aqil Abdurrahman bin Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu –dia seorang veteran perang Badar dan menghadiri semua peperangan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ibnu Jauzy rahimahullah meriwayatkan dari Ja’far bin Abdullah bin Aslam, ia berkata: ‘Tatkala di hari perang Yamamah dan manusia berbaris, orang yang pertama kali terluka adalah Abu Aqil, dia terkena anak panah yang menancap di antara dua pundaknya dan ulu hatinya. Maka panah dikeluarkan dan di awal siang dan ia dibawa ke perkemahan. Maka tatkala berkecamuk peperangan, kaum muslimin berlarian dan melewati perkemahan mereka, sedangkan Abu Aqil terbaring lemah karena lukanya, terdengarlah teriakan Ma’an bin Ady radhiyallahu ‘anhu: ‘Wahai kaum Anshar! Takutlah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, takutlah kepada -Nya dan seranglah musuh kalian.’ Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Maka bangkitlah Abu Aqil ingin mendatangi kaumnya, aku berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya ia (Ma’an) berkata: 'Wahai kaum Anshar! Tidak termasuk orang yang terluka.’ Abu Aqil radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Aku termasuk kaum Anshar dan aku memenuhi penggilan sekalipun harus merangkak.’ Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Maka Abu Aqil meneguhkan jiwanya dan mengambil pedang dengan tangan kanannya, kemudian ia berseru: ‘Serangan seperti hari perang Hunain, berkumpullah, semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla memberi rahmat kepada kalian, majulah! Maka kaum muslimin memasang perangkap terhadap musuh mereka hingga kaum muslimin menggempur musuh mereka di perkebunan, maka berkecamuklah peperangan di antara kami dan mereka.

    Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Maka aku melihat Abu Aqil yang sudah terpotong tangannya dan terluka di pundaknya kemudian jatuh dan tersungkur di atas tanah, ia terluka dengan empat belas luka, yang membawanya kepada kematian. Selain beliau dari pihak musuh Allah Shubhanahu wa ta’ala pun ada yang terbunuh yaitu Musailamah. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Maka aku berdiri di samping Abu Aqil dan ia terbaring di akhir napasnya, aku berkata: ‘Wahai Abu Aqil! Ia menjawab: ‘Labbaik, -dengan suara lemah lagi pelan- untuk siapakah kemenangan?’ Aku berkata: ‘Bergembiralah, musuh Allah Shubhanahu wa ta’ala sudah terbunuh (Musailamah).’ Maka ia mengangkat telunjuknya ke langit sembari memuji Allah Shubhanahu wa ta’ala kemudian wafatlah dia.

    Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Lalu aku mengabarkan kepada Umar radhiyallahu ‘anhu semua ceritanya setelah aku datang (ke Madinah). Maka ia berkata: ‘Semoga Allah Shubhanahu wa ta’ala memberi rahmat kepadanya, ia senantiasa terus berusaha mendapat mati syahid dan mencarinya, sekalipun ia –seperti yang engkau ketahui- termasuk sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terbaik dan terdahulu masuk Islam.[14]

    Dari biografi Watsilah bin Asqa` radhiyallahu ‘anhu: dari Muhammad bin Sa’ad, ia berkata: ‘Watsilah radhiyallahu ‘anhu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shalat Subuh bersama beliau, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai shalat, beliau berpaling dan menyalami sahabatnya. Tatkala dekat dengan Watsilah, beliau bertanya: ‘Siapakah gerangan engkau? Maka ia mengabarkan kepada beliau, beliau bersabda: ‘Apakah gerangan yang menyebabkan kedatanganmu? Ia menjawab: ‘Saya datang untuk melakukan bai’at.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Pada sesuatu yang engkau sukai dan engkau benci? Ia menjawab: ‘Ya.’ Beliau bertanya: ‘Pada sesuatu yang engkau mampu? Ia menjawab: ‘Ya.’[15]

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersiap siap pada saat itu menuju Tabuk, maka Watsilah keluar menemui keluarganya, lalu ia bertemu bapaknya, Asqa’, maka tatkala ia melihat kondisinya, ia bertanya: ‘Apakah engkau telah melakukannya (maksudnya masuk Islam)? Ia menjawab: ‘Ya.’ Bapaknya berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan berbicara denganmu selamanya.’ Lalu ia mendatangi pamannya, memberi salam kepadanya, ia (pamannya) bertanya: ‘Apakah engkau telah melakukannya? Ia menjawab: ‘Ya.’ Ia berkata: Maka ia (pamannya) mencelanya dengan celaan yang lebih ringan dari bapaknya, dan ia berkata: ‘Tidak semestinya engkau mendahului kami dalam perkara ini.’ Saudari Watsilah radhiyallahu ‘anhu mendengar pembicaraannya lalu keluar menemuinya dan memberi salam kepadanya dengan salam Islam. Watsilah radhiyallahu ‘anhu bertanya: ‘Dari manakah salammu ini, wahai saudariku? Ia menjawab: ‘Aku mendengar perkataanmu dan perkataan pamanmu, lalu aku masuk Islam.’ Ia berkata: ‘Siapkanlah untuk saudaramu perbekalan orang yang mau berperang, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah siap safar. Maka ia (saudarinya) menyiapkan perbekalannya lalu ia menyusul Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah berangkat menuju Tabuk, masih tersisa beberapa orang dan mereka hampir selesai bersiap siap dan safar. Maka ia berseru di pasar Bani Qainuqa`: ‘Siapa yang mau membawa saya maka untuknya bagianku (jika mendapat ghanimah). Ia berkata: Dan aku adalah seorang laki-laki yang tidak mempunyai tunggangan untuk berangkat. Ia berkata: Lalu Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu memanggilku seraya berkata: ‘Aku membawamu satu waktu di waktu malam dan satu waktu di waktu siang, maka bagianmu untukku.’ Watsilah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Ya.’ Watsilah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Semoga Allah Shubhanahu wa ta’ala membalas kebaikanmu.’ Sungguh ia benar benar membawaku, menambah kepadaku (dari yang dijanjikannya), aku makan bersamanya dan ia mengangkat (barang bawaan) untukku. Sehingga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu kepada Ukaidir bin Abdul Malik di Daumatul Jandal, Ka’ab ikut serta dalam pasukan Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu dan aku ikut serta bersamanya, maka kami mendapatkan harta fay yang sangat banyak. Lalu Khalid radhiyallahu ‘anhu membaginya di antara kami. Maka aku mendapat enam ekor unta yang muda, lalu aku menggiringnya hingga aku mendatangi kemah Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu, aku berkata: ‘Keluarlah, semoga Allah Shubhanahu wa ta’ala memberi rahmat kepadamu, lihatlah unta unta muda milikmu, ambilah!’ Maka ia keluar sambil tersenyum seraya berkata: ‘Semoga Allah Shubhanahu wa ta’ala memberi berkah kepadamu, tidaklah aku membawamu dan aku ingin mengambil sesuatu darimu (maksudnya saya ikhlas membawamu, tanpa pamrih).[16]

    Dari Abdullah bin Qais Abu Umayyah al-Ghifary radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Kami berada dalam satu peperangan lalu datanglah musuh mereka, tiba-tiba ada yang berteriak di tengah manusia, lalu mereka bergerak cepat ke barisan mereka. Tiba tiba ada seorang laki-laki di depanku, kepala kudaku di sisi ujung kudanya, ia berbicara kepada dirinya dan berkata: ‘Wahai jiwaku, bukanlah engkau menyaksikan peperangan ini dan ini? Lalu engkau berkata kepadaku: ‘Istrimu dan anak anakmu,’ lalu aku taat kepadamu dan aku pulang? Bukankah engkau menyaksikan peperangan ini dan ini? Lalu engkau berkata kepadaku: ‘Istrimu dan anak anakmu,’ lalu aku taat kepadamu dan aku pulang? Demi Allah, sungguh aku memalingkan engkau kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala pada hari ini, Dia mengambilmu (syahid) atau membiarkanmu (selamat).’ Aku berkata: ‘Sungguh aku akan mengawasi dia pada hari ini.’ Lalu aku mengawasinya, pasukan Islam menyerang musuh mereka maka ia berada di barisan pertama. Kemudian musuh menyerang kaum muslimin maka barisan mereka terbuka, maka ia berada di barisan penjaga (pertahanan). Kemudian pasukan Islam menyerang musuh mereka, maka ia berada di barisan depan. Kemudian musuh menyerang dan pertahanan pasukan Islam terbuka maka ia berada di barisan penjaga (pertahanan). Ia berkata: ‘Demi Allah, itulah kebiasaannya sehingga akhirnya aku melihatnya tersungkur (syahid), maka aku menghitung di tubuhnya dan kudanya terdapat sebanyak enam puluh tusukan atau lebih.[17]

    Dari Ibnu Mubarak, dari as-Sirry bin Yahya, ia berkata: ‘Ala bin Hilal menceritakan kepada kami bahwa seorang laki-laki berkata kepada Shilah: ‘Wahai Abu Shahbaa`! Sesungguhnya aku melihat bahwa aku diberikan satu syahid dan engkau diberikan dua syahid. Ia berkata: ‘Engkau akan mati syahid, aku dan anakku.’ Maka tatkala di hari Yazid bin Ziyad, bangsa Turky menghadang mereka di Sijistan, mereka kocar-kacir. Shilah berkata (kepada anaknya): ‘Wahai anakku, pulanglah kepada ibumu.’ Ia (sang anak) berkata: ‘Wahai bapakku, engkau menghendaki kebaikan untuk dirimu dan menyuruh aku pulang? Ia berkata: ‘Majulah,’ maka ia maju, lalu berperang hingga ia terluka, maka Shilah melepaskan anak panah –ia seorang pemanah ulung- untuk mempertahankan dirinya, hingga mereka (musuh) meninggalkannya, kemudian ia berperang hingga terbunuh syahid.’[18]

    Al-Ashma’y rahimahullah berkata: Tatkala Qutaibah bin Muslim mengatus barisan untuk menghadapi pasukan Turky, dan kondisi mereka sangat mengkhawatirkannya, ia bertanya tentang Muhammad bin Wasi’. Ada yang menjawab: ‘Ia di sana, di sayap kanan merapikan anak panahnya, mengarahkan telunjuknya ke atas langit.’ Ia (Qutaibah rahimahullah) berkata: ‘Jemari itu lebih kusukai dari pada seratus ribu pedang terkenal dan anak muda yang kuat.’[19]

    Haiwah rahimahullah berkata kepada sebagian pejabat Mesir: ‘Wahai fulan, janganlah engkau kosongkan negara kita dari senjata. Kita berada di antara kaum Qibthy (Kristen Mesir), kita tidak tahu kapan mereka melanggar perjanjian. Di antara bangsa Habsyi (Etheopia), kita tidak tahu kapan mereka mengepung kita. Di antara bangsa Romawi, kita tidak tahu kapan mereka menduduki wilayah kita. Dan bangsa Barbar, yang kita tidak tahu kapan melakukan pemberontakan.[20]

    Dari Muhammad bin Imran, dari Hatim al-Asham rahimahullah, ia berkata: ‘Kami bersama Syaqiq dan kami berbaris menghadapi musuh yaitu bangsa Turky, pada suatu hari yang aku tidak melihat kecuali kepala-kepala yang terputus, pedang-pedang yang memenggal dan tombak-tombak yang menusuk. Ia (Syaqiq rahimahullah) berkata kepadaku: ‘Bagaimana engkau melihat dirimu, apakah ia seperti malam pengantin? Aku menjawab: ‘Tidak, demi Allah.’ Ia berkata: ‘Aku melihat diriku seperti itu.’ Kemudian ia tidur di antara dua barisan di atas perisainya hingga mendengkur. Lalu seorang pasukan Turky menangkapku, lalu membaringkan aku untuk disembelih. Ketika ia mencari pisau dari sepatunya, tiba-tiba datang anak panah liar yang membunuhnya.’[21]

    Adz-Dzahaby rahimahullah berkata dalam biografi Abu Bakar an-Nablusy rahimahullah: Abu Dzarr al-Hafizh rahimahullah berkata: ‘Abu ‘Ubaid (Syi’ah) memenjarakannya dan menyalibnya karena berpegang terhadap sunnah. Aku mendengar ad-Daraquthny rahimahullah menyebutkannya, menangis dan berkata: ‘Ia berkata saat dikuliti:

    ﴿ كَانَ ذَلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا ﴾ [البقرة: ٩١]

    Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh). (QS. al-Isra`:58)

    Abul Faraj Ibnu Jauzy rahimahullah berkata: ‘Jauhar, pimpinan pasukan Abu Tamim penguasa Mesir (Syi’ah) menahan Abu Bakar an-Nablusy, dan ia tinggal di rumah gubuk. Ia (Jauhar) berkata kepadanya (Abu Bakar rahimahullah): ‘Sampai berita kepada kami bahwa engkau berkata: ‘Apabila seorang laki-laki mempunyai sepuluh anak panah, ia harus melemparkannya satu anak panah kepada bangsa Romawi dan kepada kami sembilan anak panah.’ Ia berkata: ‘Aku tidak mengatakan hal ini, akan tetapi aku berkata: ‘Apabila seseorang mempunyai sepuluh anak panah, ia harus melemparkannya kepadamu sembilan anak panah dan melemparkan yang kesepuluh juga kepada kalian, sesungguhnya kalian sudah mengubah agama Allah Shubhanahu wa ta’ala, membunuh orang-orang shalih, dan kalian mengaku mendapat nur ilahiyaah.’ Maka ia menghunuskan pedang kemudian memukulnya, kemudian ia menyuruh seorang Yahudi untuk mengulitinya.[22]

    Adz-Dzahaby rahimahullah mengutip dalam biografinya terhadap Nuruddin Zinky rahimahullah, Majduddin Ibnu Atsir rahimahullah berkata dalam kutipan Sibth Jauzy darinya: ‘Nuruddin tidak pernah memakai sutra dan tidak pula emas, dan melarang orang menjual arak di negerinya. Aku berkata: Ia memakai jubah khalifah dan kalung emas. Ia berkata: ‘Ia banyak puasa dan wirid di malam dan siang hari, dan banyak main bola, maka orang fakir mengingkarinya, lalu ia menulis surat kepadanya: ‘Demi Allah, aku tidak bermaksud bermain, dan sesungguhnya kita berada di celah (kota yang dikelilingi benteng). Bisa jadi mendengar suara kuda-kuda berputar untuk menyerang dan berlari kabur sudah terbiasa.’ Dan dihadiahkan kepadanya sorban dari Mesir yang berlapis emas, maka ia memberikannya kepada Ibnu Hamawih, Syaikh Shufi, lalu mengirim dengan seribu dinar.[23]

    Adz-Dzahaby rahimahullah berkata tentang dia: Quthb an-Naisabury berkata kepadanya: Demi Allah, janganlah engkau menjerumuskan dirimu dalam bahaya. Jika engkau terluka dalam peperangan, tidak tersisa lagi seorang dari kaum muslimin kecuali ikut terbunuh.’ Ia berkata: ‘Siapakah yang dipuji hingga dikatakan seperti ini? Allah Shubhanahu wa ta’ala telah menjaga negeri sebelum aku, tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia.’[24]

    Dari Abdurrahman bin Maghra ad-Dausy, dari seorang laki laki dari Khuza’ah, ia berkata: ‘Tatkala manusia berkumpul di Qadisiyah, Khansa binti ‘Amr radhiyallahu ‘anha memanggil ke empat orang putranya, ia berkata: ‘Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian masuk Islam secara tunduk dan kalian berhijrah. Demi Allah, tidak tumbuh satu negeri dengan kalian, bukan kemarau panjang yang menyebabkan kalian meninggalkan negeri dan tidak pula sikap tamak yang merendahkan kalian. Demi Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia, sesungguhnya kalian adalah putra seorang laki-laki, sebagaimana kalian adalah putra seorang wanita. Aku tidak berkhianat kepada bapak kalian, tidak mempermalukan paman kalian, aku tidak merubah nasab kalian, tidak menginjak kehormatan kalian. Apabila tiba besok hari –insya Allah- maka berangkatlah untuk memerangi musuh kalian seraya memohon pertolongan kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala, memohon petunjuk. Apabila kalian melihat peperangan telah menampakkan betisnya (sudah dimulai) maka datangilah medan perang dan seranglah tentaranya, niscaya kalian mendapat keberuntungan dengan selamat dan kemenangan serta kemulian di negeri yang kekal.

    Maka berangkatlah para pemuda tersebut dari sisinya dan mereka taat terhadap perintahnya serta memahami nasihatnya. Maka tatkala mereka bertemu musuh, yang pertama berlari seraya berkata:

    Wahai saudara-saudaraku, sesungguhnya orang tua (ibu) memberi nasihat

    Ia memberi minuman kepada kita saat mengajak kita kemarin

    Nasihat yang terang dan jelas

    Maka hadapilah peperangan yang sedang berkecamuk

    Sesungguhnya kamu menemukan di sisi teriakan

    Dari keluarga sasan (pelatih anjing) anjing-anjing yang menggonggong

    Sungguh yakin darimu dalam peristiwa peperangan

    Maka kamu di antara hidup yang shalih

    Atau syahid yang mensapatkan ghanimah keuntungan

    Kemudian yang berikutnya berlari mengikutinya seraya berkata:

    Demi Allah, kita tidak durhaka kepada ibu satu huruf pun

    Dia telah menyuruh kita sebagai rasa cinta, belas kasih

    darinya, kebaktian yang tulus dan kasih sayang

    Maka segeralah ke medan perang yang sedang berkecamuk

    Sehingga kamu menghalangi keluarga Kisra

    Dan kamu membuka terhadap mereka dari pertahanan kamu

    Sesungguhnya kita melihat kekurangan dari mereka sebagai kelemahan

    Dan membunuh mereka merupakan kemenangan dan kemuliaan.

    Kemudian berlari yang berikutnya mengikutinya seraya berkata:

    Engkau bukanlah untuk Khansa`, bukan untuk Akhzam,

    Bukan untuk `Amr yang mempunyai keluhuran/ketinggian yang terdahulu

    Jika engkau tidak ziarah (mendatangi) pada keluarga Jama’ suku bangsa Ajam (non Arab)

    Kumpulan keluarga Abu Sasan golongan Rustum (pemimpin pasukan Persia)

    Dengan segala pujian bertemu dha’ghami (gemuruh perang)

    Berlalu di atas hiruk pikuk kerumunan manusia yang sangat banyak

    Bisa jadi kemenangan yang segera atau ghanimah,

    Atau untuk kehidupan di jalan yang mulia

    Engkau mendapat keuntungan padanya dengan bagian yang agung.

    Kemudian berlari yang berikutnya seraya berkata:

    Sesungguhnya orang tua (ibu) memiliki keteguhan dan kekuatan

    Pandangan yang pas dan pendapat yang benar

    Dia telah menyuruh kita dengan kebenaran dan petunjuk

    Sebagai nasihat darinya dan kebaktian terhadap anak

    Maka songsonglah peperangan sebagai tambahan bekal

    Bisa jadi sebuah kemenangan dan menguasai negeri

    Atau kematian yang mewarisi hidup kekal untuk selamanya

    Di surga Firdaus dalam kehidupan yang menyenangkan.

    Maka mereka semua berperang hingga akhirnya Allah Shubhanahu wa ta’ala memberikan kemenangan terhadap kaum muslimin dan mereka diberikan ghanimah dua ribu, maka mereka datang lalu meletakkannya di pangkuannya (Khansa`, ibu mereka). Maka ia (Khansa`) membaginya di antara mereka segenggam-segenggam, maka tidak meninggalkan seorang pun dari pemberiannya satu dirham.[25]

    [1] Siyar A’lam Nubala` 2/23. Hadits tersebut diriwayatkan al-Hakim dalam Mustadrak 3/397, Thabaqat Ibnu Sa’ad 3/171, dan ath-Thabrani dalam al-Kabir 8/43, dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 1/151-152.

    [2] Siyar A’lam Nubala` 1/422.

    [3] Shifat Shafwah 1/468.

    [4] Siyar A’lam Nubala` 1/364.

    [5] Siyar A’lam Nubala` 3/498.

    [6] Siyar A’lam Nubala` 2/290.

    [7] Siyar A’lam Nubala` 1/381

    [8] Siyar A’lam Nubala` 1/375

    [9] Siyar A’lam Nubala` 2/304

    [10] Siyar A’lam Nubala`1/319.

    [11] Siyar A’lam Nubala`1/14

    [12] Siyar A’lam Nubala`2/34

    [13] Siyar A’lam Nubala`3/70-71.

    [14] Sifat Shafwah 1/466-467.

    [15] Lihat: Thabaqat Ibnu Sa’ad 1/232.

    [16] Sifat Shafwah 1/674-676.

    [17] Shifat Shafwah 4/421.

    [18] Siyar A’lam Nubala 3/499.

    [19] Siyar A’lam Nubala 6/121.

    [20] Siyar A’lam Nubala 6/405.

    [21] Siyar A’lam Nubala 9/314

    [22] Siyar A’lam Nubala 16/146.

    [23] Siyar A’lam Nubala 20/535.

    [24] Siyar A’lam Nubala 20/525.

    [25] Sifat Shafwah 4/385-387.